Tarif Terbaru Trump: Senjata Dagang untuk Mengakhiri Perang Rusia-Ukraina

527

(Vibiznews-Economy) Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengeluarkan ancaman tarif yang mengejutkan dunia. Kali ini, Trump menargetkan Rusia dengan ancaman pemberlakuan tarif impor hingga 100% jika negara tersebut tidak segera mencapai perdamaian dengan Ukraina dalam waktu 50 hari ke depan.

Ancaman tersebut disampaikan Trump dalam pertemuannya dengan Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, di Gedung Putih pada hari Senin. “Kami akan menerapkan tarif yang sangat berat jika tidak ada kesepakatan dalam 50 hari,” kata Trump, menegaskan pendekatannya yang keras terhadap Rusia.

Langkah ini menandai perluasan kebijakan dagang AS di bawah Trump, yang sejak awal kepemimpinannya terkenal menggunakan tarif sebagai alat tekanan politik dan ekonomi kepada negara-negara mitra maupun rival geopolitiknya.

Perdagangan AS-Rusia yang Terjun Bebas

Data perdagangan terbaru menunjukkan bahwa hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Rusia telah melemah drastis sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022. Berdasarkan data resmi pemerintah AS:

  • Nilai impor AS dari Rusia pada tahun 2024 hanya mencapai USD 3 miliar, turun tajam dari USD 29,7 miliar pada 2021 sebelum invasi.
  • Total nilai perdagangan bilateral turun menjadi USD 3,5 miliar pada 2024, dibandingkan dengan USD 36 miliar pada 2021.

Penurunan hampir 90% tersebut mencerminkan dampak efektif dari sanksi dan pembatasan ekonomi yang diberlakukan AS dan sekutunya untuk melemahkan kemampuan finansial Rusia dalam mendanai operasi militernya di Ukraina. Sektor ekspor utama Rusia, yakni minyak mentah dan gas alam, menjadi target utama pembatasan, sehingga memukul perekonomian negara tersebut yang sangat bergantung pada energi.

Tarif sebagai Alat Multi-Fungsi Trump

Sepanjang karier politiknya, Presiden Trump kerap menggunakan tarif sebagai senjata kebijakan luar negeri, melampaui fungsi tradisionalnya untuk melindungi industri domestik. Dalam beberapa tahun terakhir, Trump telah menggunakan tarif untuk berbagai tujuan, seperti:

  • Menekan China dalam perundingan perang dagang pada periode pertama kepresidenannya.
  • Mengancam Meksiko dengan tarif impor jika tidak memperketat perbatasan untuk mencegah imigrasi ilegal.
  • Memberlakukan tarif pada produk baja dan aluminium dari Uni Eropa, Kanada, dan negara-negara lainnya demi mendorong renegosiasi kesepakatan dagang.
  • Menggunakan ancaman tarif untuk memerangi penyelundupan fentanil dari negara-negara Asia.

Kini, Trump menambahkan tujuan geopolitik baru dalam daftar tersebut: mendorong tercapainya perdamaian antara Rusia dan Ukraina. Langkah ini menunjukkan transformasi tarif menjadi instrumen multi-fungsi yang tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga strategis dan diplomatis.

Secondary Tariffs: Memperluas Tekanan ke Negara Pembeli Minyak Rusia

Selain tarif langsung terhadap Rusia, Trump juga menyatakan akan menerapkan “secondary tariffs”, yakni sanksi kepada negara-negara yang membeli minyak dari Rusia.

Gedung Putih kemudian mengklarifikasi bahwa konsep secondary tariffs ini berarti negara manapun yang tetap membeli minyak Rusia dapat dikenakan penalti atau tarif tambahan oleh Amerika Serikat. Strategi ini mirip dengan pendekatan sanksi sekunder yang pernah diterapkan AS terhadap Iran, yang efektif menghalangi banyak negara untuk membeli minyak Iran karena takut kehilangan akses ke sistem keuangan AS.

Jika diterapkan penuh, kebijakan ini berpotensi mengganggu pasar energi global secara signifikan. Saat ini, pembeli utama minyak Rusia adalah China dan India, yang terus meningkatkan pembelian dengan harga diskon sejak Eropa menghentikan impor minyak Rusia sebagai bagian dari sanksi mereka.

Dampak bagi Pasar Energi Global dan Hubungan Dagang

Para analis pasar energi menilai ancaman tarif baru AS akan menambah lapisan risiko geopolitik di pasar minyak global. Mengingat Rusia adalah salah satu produsen minyak terbesar di dunia, pembatasan tambahan terhadap ekspor minyaknya akan mempengaruhi stabilitas pasokan global, terutama di tengah potensi pemangkasan produksi lanjutan oleh OPEC+ untuk menjaga harga tetap tinggi.

Selain itu, ancaman secondary tariffs kepada negara pembeli minyak Rusia berpotensi meningkatkan ketegangan dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dan India. Kedua negara tersebut saat ini sudah menghadapi tekanan diplomatik AS terkait isu Laut China Selatan, perdagangan teknologi, dan hubungan pertahanan dengan Rusia. Jika Trump benar-benar memberlakukan sanksi sekunder, hal ini dapat memicu retaliasi dan menambah keretakan dalam hubungan dagang global.

Tujuan Geopolitik di Balik Kebijakan Tarif

Langkah Trump tersebut mencerminkan strateginya dalam memanfaatkan leverage ekonomi untuk mendorong perubahan kebijakan negara lain, termasuk rival utama AS. Dengan perdagangan AS-Rusia yang sudah minimal, ancaman tarif 100% ini mungkin tidak berdampak besar pada ekonomi Rusia secara langsung. Namun, ancaman secondary tariffs dapat meningkatkan tekanan internasional kepada Moskow karena pembeli minyak utamanya dapat mengurangi transaksi untuk menghindari risiko sanksi AS.

Selain itu, Trump ingin menunjukkan kepada pemilih domestik bahwa ia tetap konsisten menggunakan “pendekatan keras” dalam kebijakan luar negeri. Strategi ini dinilai efektif dalam meningkatkan popularitasnya, terutama di kalangan pemilih yang mendukung kebijakan proteksionisme dan dominasi AS di panggung global.

Analisis Respon Rusia dan Tarif Sekunder AS

Hingga saat ini, pemerintah Rusia belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait ancaman tarif Trump. Namun, para analis menilai Rusia akan semakin mendekatkan diri ke China dan India jika ancaman tersebut terealisasi. Di sisi lain, implementasi secondary tariffs juga memiliki tantangan hukum dan diplomatik, mengingat banyak negara dapat menggugat kebijakan ini melalui WTO atau forum internasional lainnya sebagai bentuk “ekstrateritorialitas sanksi AS” yang dinilai melanggar kedaulatan ekonomi negara lain.

Dengan ancaman tarif terbaru ini, Presiden Trump menegaskan bahwa tarif tetap menjadi senjata andalan kebijakan luar negeri dan ekonominya. Bagi pasar, ancaman ini menambah risiko geopolitik baru di tengah ketidakpastian global yang sudah tinggi akibat konflik Rusia-Ukraina, persaingan AS-China, dan ketegangan di Timur Tengah.

Investor energi, analis kebijakan, dan pelaku pasar global kini menunggu bagaimana Rusia dan negara-negara pembeli minyaknya akan merespons. Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, dampaknya akan bukan hanya pada hubungan dagang bilateral AS-Rusia saja, melainkan berpotensi menambah tantangan bagi pertumbuhan ekonomi global pada semester ke dua 2025.