AI Dapat Menekan Inflasi, Tapi Bisa Picu Krisis Pasar Tenaga Kerja Global

207
Bank Bisa Optimal Memanfaatkan GenAI, Namun Apa Risikonya?
Sumber: digitalbank.id

(Vibiznews-Economic) Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini bukan lagi sekadar teknologi masa depan tetapi AI sudah menjadi kekuatan ekonomi yang mulai mengubah lanskap inflasi, produktivitas, hingga struktur tenaga kerja global. Di satu sisi, AI menjanjikan efisiensi luar biasa yang dapat menekan biaya dan menurunkan harga barang. Namun di sisi lain, teknologi ini juga berpotensi menimbulkan gelombang pengangguran baru yang tak kalah besar dibandingkan era globalisasi tiga dekade lalu.

Menurut Chen Zhao, Kepala Strategi Global di Alpine Macroeconomics, revolusi AI saat ini telah melahirkan apa yang ia sebut sebagai “jobless profit boom” yakni lonjakan laba tanpa peningkatan tenaga kerja. Fenomena ini, kata Zhao, akan membawa ekonomi global menuju era baru yang ditandai oleh inflasi rendah dan tingkat pekerjaan yang rendah.

“Kemungkinan besar kejutan yang akan muncul adalah inflasi yang turun di bawah 2% pada akhir tahun depan,” ujar Zhao dalam laporannya. “Namun tantangannya, siapa yang akan tetap memiliki pekerjaan di tengah ekonomi yang semakin digerakkan oleh AI?”

Efisiensi Besar, Inflasi Menurun

Pandangan Zhao sejalan dengan banyak ekonom dan pelaku industri yang melihat potensi AI sebagai kekuatan disinflasi global. Peningkatan produktivitas yang besar memungkinkan perusahaan menghasilkan lebih banyak output dengan biaya yang lebih kecil, mendorong turunnya harga secara sistemik.

Skenario ini dapat membawa inflasi Amerika Serikat kembali ke kisaran 2% atau bahkan lebih rendah, setelah bertahun-tahun berada di atas target The Federal Reserve. Inflasi saat ini masih berkisar di angka 3%, namun kemajuan pesat di bidang otomatisasi, data analitik, dan model bahasa besar (large language models) dapat mempercepat penurunan harga secara struktural.

Jika tren ini berlanjut, The Fed mungkin akan terdorong untuk menurunkan suku bunga acuannya guna menjaga pertumbuhan konsumsi. Meski terdengar ideal, inflasi yang terlalu rendah juga membawa risiko tersendiri. The Fed sendiri secara eksplisit menargetkan inflasi di sekitar 2% level yang cukup rendah untuk menjaga daya beli, namun cukup tinggi untuk memastikan roda ekonomi dan pasar kerja tetap berputar.

Suara Para Optimis: AI Sebagai Kekuatan Disinflasi

Optimisme terhadap peran AI dalam menekan harga juga disuarakan oleh beberapa nama besar di dunia keuangan dan teknologi. Sam Altman, CEO OpenAI, mengatakan dalam forum Morgan Stanley bahwa efek disinflasi dari AI masih sangat diremehkan oleh banyak analis dan investor.

Sementara itu, Rick Reider, Direktur Pelaksana Senior di BlackRock, menyebut AI sebagai “mesin efisiensi terbesar sepanjang sejarah ekonomi modern.”

“Jika tujuan teknologi selalu untuk melakukan lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit, maka AI adalah terobosan yang memungkinkan manusia melakukan jauh lebih banyak dengan jauh lebih sedikit,” tulis Reider dalam sebuah posting blog.

Menurutnya, teknologi ini akan menjadi katalis utama bagi era baru efisiensi global, di mana biaya produksi menurun tajam, produktivitas meningkat, dan harga-harga cenderung stabil atau bahkan turun.

Namun, keuntungan besar bagi inflasi dan laba perusahaan ini tidak datang tanpa korban. Di sisi lain dari grafik efisiensi itu, terdapat jutaan pekerja yang berpotensi tergantikan oleh algoritma dan robot pintar.

Efek Samping: Gelombang Pengangguran Baru

Fenomena ini sudah mulai terlihat. Amazon baru-baru ini mengumumkan PHK terhadap 14.000 pekerja korporat, meski laba perusahaan terus meningkat. Perusahaan menjelaskan bahwa AI telah membuat operasi mereka lebih efisien, memungkinkan lebih sedikit orang untuk menghasilkan lebih banyak output.

“Ini contoh nyata bagaimana teknologi digunakan untuk menggantikan manusia,” kata Zhao. “Anda menciptakan lebih banyak keuntungan dengan jumlah tenaga kerja yang sama, atau bahkan lebih sedikit.”

Zhao membandingkan situasi saat ini dengan gelombang globalisasi pada 1990-an dan 2000-an, ketika jutaan pekerjaan manufaktur di Amerika Serikat hilang akibat pemindahan produksi ke luar negeri. Globalisasi kala itu memperkaya korporasi dan menurunkan harga barang konsumsi, namun menghancurkan prospek ekonomi bagi banyak pekerja kerah biru.

Kini, ancaman serupa menghantui pekerja kerah putih baik dari analis keuangan, staf administrasi, hingga jurnalis—yang banyak tugasnya bisa diotomatisasi oleh AI.

“Guncangannya bisa sangat cepat dan sangat dalam,” ujar Zhao. “Kita bisa melihat perpindahan tenaga kerja dalam skala besar yang perlu ditangani secara sistematis.”

Tidak Semua Harga Akan Turun

Namun tidak semua ekonom setuju bahwa AI akan menekan inflasi secara bersih. Beberapa faktor justru berpotensi mengimbangi efek disinflasi tersebut. Misalnya, kenaikan tarif impor yang diterapkan di berbagai negara untuk melindungi industri domestik, atau lonjakan permintaan energi akibat meningkatnya jumlah pusat data AI yang haus listrik.

Analisis Bloomberg baru-baru ini menemukan bahwa harga listrik grosir meningkat hampir empat kali lipat di wilayah dekat fasilitas komputasi AI berskala besar. Hal ini bisa menjadi tekanan inflasi baru di sektor energi, yang kemudian menular ke rantai pasok lain.

Selain itu, sebagian anggota Komite Kebijakan Federal Reserve menilai risiko inflasi masih cukup tinggi, sehingga bank sentral sebaiknya tidak tergesa-gesa menurunkan suku bunga. Mereka khawatir penurunan suku bunga terlalu dini dapat kembali memicu inflasi jika ekspektasi harga belum sepenuhnya stabil.

Masa Depan Ekonomi AI: Harapan dan Ketimpangan

Sejarah menunjukkan bahwa setiap revolusi teknologi besar dari mesin uap hingga komputer pribadi—pada akhirnya meningkatkan standar hidup manusia. AI kemungkinan akan mengikuti pola yang sama, menciptakan pertumbuhan produktivitas yang berkelanjutan dan menurunkan biaya hidup secara struktural.

Namun, periode transisi menuju era baru tersebut bisa sangat menyakitkan, terutama bagi masyarakat di negara maju yang sudah menghadapi kesenjangan ekonomi lebar. Mereka yang tidak memiliki keterampilan digital tinggi berisiko tertinggal dan kehilangan daya saing.

“Dalam jangka panjang, AI akan membuat ekonomi lebih efisien dan makmur,” kata Zhao. “Tetapi untuk mencapai ke sana, kita mungkin harus melalui masa penyesuaian yang berat dengan jutaan pekerjaan yang hilang dan distribusi keuntungan yang sangat tidak merata.”

Dengan kata lain, AI berpotensi menjadi penyelamat inflasi, namun sekaligus pengganggu besar bagi pasar tenaga kerja global. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah teknologi ini akan mengubah ekonomi, tetapi seberapa siap dunia menghadapi konsekuensinya.