Ekonomi Digital, Primadona Masa Depan Ekonomi Indonesia

579

Hari-hari ini penggunaan transaksi belanja secara online telah menjadi semakin melekat bagi kita sehari-harinya. Kita dapat memesan tiket hotel, pesawat, kereta api, pakaian, sampai makanan dan ojek via online. Dengan perangkat digital di tangan, masyarakat Indonesia semakin terbiasa berbelanja dengan efisien dan murah secara online atau daring (dalam jaringan).
Pertumbuhan transaksi bisnis daring (e-commerce) di Indonesia dikabarkan mencapai 71 persen di tahun 2013, melampaui China yang menyentuh angka 61 persen, demikian menurut lembaga pemasaran eMarketer. Nilai transaksi e-commerce di Indonesia tahun 2013 diperkirakan sekitar Rp 18 triliun.
Angka lebih fantastis lagi pernah diprediksi oleh Boston Consulting Group (BCG), bahwa pada tahun 2015 ini nilai transaksi e-commerce di Indonesia diperkirakan mencapai 10 miliar dolar AS atau lebih dari Rp 100 triliun. Hal ini, menurut Boston Consulting, dikarenakan tiga faktor yang mendorong, yaitu pengguna Internet yang diperkirakan mencapai 149 juta orang, popularitas sosial media, dan penetrasi telepon seluler yang bisa menjadi peranti akses Internet. Di samping itu, Boston Consulting memprediksi, ledakan e-commerce akan terjadi pada 2020 di mana jumlah kelas menengah di Indonesia akan mencapai 141 juta orang atau naik dua kali lipat dibandingkan 2011.
Barangkali persisnya berapa transaksi nilai e-commerce di Indonesia pada akhir tahun 2015 baru akan bisa diperoleh nanti. Ada yang sebutkan sekitar Rp 50 triliun, lalu ada yang sebutkan Rp 100 triliun. Malah dari Kementerian Kominfo saja telah memerkirakan nilai angka Rp 126 triliun ketika masih di tahun 2012.
Gambaran ini memberikan suatu potret menarik dalam pigura perekonomian Indonesia. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang sedang melambat, yang dikabarkan telah menyentuh sampai kepada sektor retail yang biasanya memiliki daya tahan lebih panjang terhadap tekanan siklus ekonomi, ada segmen perdagangan yang justru sedang melesat secara signifikan. Itulah dia belanja secara digital. Ini bagian dari pergerakan ekonomi digital, yang belakangan kerap disebut dengan isitilah “d’economy”.

Dinamika di Negara Tetangga
Pergerakan dinamis ekonomi digital dapat tercermin antara lain dari apa yang terjadi di China. Negeri dengan volume perdagangan raksasa ini menemui kenyataan menarik. Wall Street Journal merilis headline bagaimana perusahaan consumer goods Unilver Plc yang telah tiga dasawarsa menikmati pertumbuhan stabil dari hasil keajaiban ekonomi China, kali ini penjualannya anjlok tajam. Dalam dua kuartal terakhir ini (Q4 2014 dan Q1 2015) perusahaan mengumumkan kejatuhan nilai penjualan sebanyak 20 persen secara berturut-turut (WSJ Asia Edition, 15 Juni 2015). Ratusan juta konsumennya disebutkan telah berpindah dari toko-toko retail ke belanja online di China.
Apakah hanya Unilever saja? Tidak. Perusahaan consumer dunia sekelas Nestle SA, juga Colgate-Palmolive Co dikabarkan telah mengalami kelebihan stock akhir-akhir ini sejalan dengan dinamika pasar retail China yang sedang bergerak semakin ke belanja daring ini.
Di media yang sama, disebutkan tentang ekonomi yang berubah akibat perdagangan via internet, yaitu Vietnam. Disebutkan bahwa dengan penetrasi internet mencapai 44% dari seluruh penduduknya maka belanja secara digital telah semakin mewarnai aktivitas perdagangan dalam negeri komunis dengan 90 juta penduduknya ini. Di jalan-jalan berseliweran kurir belanja daring antara lain Lazada.com dan Hot-deal.vn (WSJ Asia Edition, 15 Juni 2015). Seperti Indonesia, penduduk Vietnam juga merupakan pengguna aktif social media, yang bertumbuh setahun terakhir 41 persen, salah satu yang tercepat di dunia.

Potensi dan Tantangan
Bicara tentang social media, Indonesia juga adalah biangnya. Istilahnya disebut bahwa ada jauh lebih banyak cuitan (Tweets) yang dikirim dari kota Jakarta dibandingkan dari kota manapun di atas planet bumi ini. Jakarta adalah ibu kota dunianya Twitter. Tidak hanya itu, pengguna Facebook di Indonesia juga sangat banyak, hanya nomor #2 di dunia setelah Amerika Serikat.
Alasan bahwa masyarakat Indonesia begitu gandrung untuk ‘terhubung’ adalah sejalan dengan profil demografi Indonesia yang didominasi oleh angkatan muda yang semakin melek teknologi digital. Pada saat bersamaan masyarakat yang berorientasi konsumtif juga membengkak, melampaui jumlah penduduk negara-negara tetangga. McKinsey telah pernah memerkirakan angka 45 juta di tahun 2012 yang diproyeksikan akan menjadi 135 juta di tahun 2030. Suatu pasar besar konsumsi yang sangat potensial dan yang lekat erat dengan ekonomi digital.
Tetapi untuk “d’economy” benar mewarnai dinamika pertumbuhan ekonomi Indonesia tentulah tidak mudah. Keterbatasan konektivitas, infrastruktur dan jaringan ICT di Indonesia saat ini masih merupakan tantangan besar. Perusahaan dunia Huawei pada April 2015 lalu merilis Global Connectivity Index (GCI) yang membandingkan konektivitas, penggunaan ICT, serta transformasi digital dan ICT pada 50 negara di dunia. Indonesia ternyata baru bercokol di peringkat ke-41, di bawah kawasan tetangga seperti Filipina (peringkat 35), Malaysia (peringkat 28), dan Thailand (peringkat 31). Kita, untungnya, sedikit lebih baik dari Vietnam yang di urutan ke 45. Dalam peringkat penetrasi Internet, dengan segala teknologi 3G dan broadband, Indonesia masih tergolong negara dengan penetrasi Internet rendah, yaitu 16.72%, jauh tertinggal dari Malaysia dengan 40.25%, Singapura dengan 80.73%, bahkan Vietnam dengan 42.97%. Hal ini menunjukkan masih perlunya perluasan infrastruktur yang berkaitan dengan IT dan telekomunikasi di Indonesia.
Namun demikian pemerintah Jokowi – JK saat ini telah memasang target konektivitas yang cukup ambisius dan signifikan juga. Dalam RPI (Rencana Pitalebar Indonesia), ditargetkan akan sebanyak 135 kota dan kabupaten sudah terkoneksi pada tahun 2019. Presiden Joko Widodo dalam kesempatan peresmian Sulawesi, Maluku, Papua Cable System (SMPCS), di Manokwari pada 10 Mei 2015 yang lalu juga menyentil agar sektor e-commerce bisa segera diwujudkan seiring dengan tuntasnya infrastruktur pitalebar yang terbentang dari Barat hingga Timur Indonesia.
Selain masalah keterbatasan konektivitas, infrastruktur dan jaringan ICT di Indonesia, tantangan lain yang harus dihadapi adalah masalah metode pembayaran. Di Indonesia sebenarnya sudah ada layanan online payment yang tersedia, misalnya Doku dan Ipaymu, akan tetapi metode pembayaran untuk transaksi pembelian online masih didominasi oleh metode pembayaran offline. Diketahui hanya ada sekitar 4 persen pelanggan online yang menggunakan online payment, sisanya metode pembayaran dilakukan secara offline misalnya dengan layanan cash on delivery. Hal ini berkaitan dengan rendahnya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap keamanan data dalam transaksi online. Survei dari Nielsen pada tahun 2014, menunjukkan sebanyak 60 persen pembeli online mengatakan mereka tidak percaya untuk memberikan informasi mengenai kartu kreditnya secara online. Selain faktor keamanan data, rendahnya penggunaan online payment juga disebabkan oleh masih banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak memiliki rekening bank. Vela Asia Online Shopper Survey 2013 menunjukkan bahwa jumlah penetrasi kartu debit dan kartu kredit di Indonesia baru sebesar 20 persen.
Tantangan lainnya adalah mengenai delivery atau pengiriman barang. Biaya pengiriman barang yang masih relatif mahal dan juga dukungan infrastruktur transportasi yang belum memadai, turut menghambat masyarakat Indonesia untuk berbelanja online. Mengatasi hal tersebut, banyak pemain e-commerce yang menjalin kerjasama dengan dengan penyedia layanan logistik dalam layanan pengiriman mereka.

Masa Depan Ekonomi Indonesia
Populasi penduduk Indonesia yang besar, didominasi oleh angkatan muda dan produktif serta berdaya beli cukup, yang tinggal di kawasan kepulauan yang besar, dengan budaya yang gandrung terhubung; itu semua adalah potensi pasar ekonomi digital yang sangat besar. Potensi luar biasa ini yang sebenarnya berpeluang menembus kelambanan pertumbuhan ekonomi sektor real dewasa ini. Ada akselerasi transaksi di sini. Ada tantangan untuk bagaimana secara kreatif dan inovatif memenuhi kebutuhan dan permintaan konsumen. Semua terhubung secara digital. Maka dapat disebutkan bahwa d’economy di Indonesia adalah ekonomi kreatif dan ekonomi inovatif.
Peningkatan transaksi digital kiranya bukannya menggerus volume pasar real di segmen konvensional, seperti yang mungkin dikuatirkan oleh sebagian pihak. Ini bicara tentang efek multiplikasi (multiplier effect) di pasar ketika roda perputaran bisnis dapat bergerak secara lebih cepat dan dengan distorsi antara pemintaan dan penawaran yang lebih minimum karena produk yang telah ter-display sebelumnya secara digital.
Teknologi digital sedang mendominasi gaya hidup masyarakat hari ini. Ekonomi yang inovatif di masa depan adalah ekonomi digital. D’economy! Kita harus siap melaksanakannya di tengah potensi besar penduduk Indonesia. Siapkan diri mengembangkan “d’economy”, salah satu primadona masa depan ekonomi Indonesia.

 

bernhard1Bernhard Sumbayak

Founder and Advisor
Vibiz Consulting

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here