Seperti diketahui, hari ini (1/10) kinerja manufaktur dari negara-negara utama di kawasan Asia kembali dirilis. Merujuk pada data-data yang sudah dipublikasikan tersebut, terlihat bahwa hampir semua kinerja manufaktur di negara-negara utama Asia masih lanjutkan tren negatif, kecuali Korea Selatan (Korsel). Hal ini menjadi sebuah sinyal negatif yang akan sangat memengaruhi arah perekonomian global hingga sisa tahun 2015 mengingat kondisi ekonomi Tiongkok yang tidak kunjung pulih dan lagi-lagi ketidakpastian kenaikan suku bunga The Fed kembali terjadi. Dibawah ini adalah rilis kinerja manufaktur di beberapa negara di kawasan Asia untuk periode September 2015:
1. PMI Caixin Manufaktur Tiongkok (Skala Kecil dan Menengah) Lanjutkan Kontraksi
Survey yang dilakukan oleh pihak swasta terhadap kinerja manufaktur di perusahaan berskala kecil dan menengah Tiongkok pada bulan September lalu juga menunjukkan bahwa kinerja manufaktur Tiongkok masih terjebak pada fase kontraksi. Berdasarkan indeks PMI Caixin manufacturing yang juga dirilis hari ini (1/10) tercatat bahwa skor PMI tersebut turun ke level terendahnya dalam kurun lebih dari 6 tahun terakhir, yaitu berakhir pada level 47,2.
Sementara itu untuk rilis kinerja di sektor jasa, juga terlihat se-“iya” dengan rilis pemerintah, terpantau bahwa pertumbuhan di sektor jasa Tiongkok pada bulan September lalu berhasil bertahan pada fase ekspansi meskipun berbagai sentimen mengakibatkan kinerja di sektor ini tarik menarik. Sejauh ini pemerintah Tiongkok memang hanya mengandalkan sektor jasa untuk menopang roda perekonomiannya yang kian melambat. (Lihat juga: Kinerja Manufaktur Tiongkok Versi Pemerintah Meradang)
Seperti diketahui, bahwa saat ini pemerintah Tiongkok memang sedang berusaha mengubah driver ekonominya dari yang semula berbasis industri dengan orientasi ekspor beralih ke basis konsumsi. Tentu saja masa transisi saat ini adalah masa-masa sulit karena tentunya harus didukung dengan iklim ekonomi dan bisnis yang kondusif agar daya beli masyarakat tidak tergoncang. Pasalnya hingga September lalu sudah puluhan juta rakyat Tiongkok yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Lihat juga: Kinerja Manufaktur Skala Kecil dan Menengah Tiongkok Menurun)
2. PMI Manufaktur Tiongkok (Skala BUMN) Sentuh Kinerja Terburuk Dalam 6 Tahun
Hari ini (1/10) rilis resmi kinerja manufaktur Tiongkok periode September 2015 kembali dipublikasikan oleh 2 (dua) pihak yaitu pemerintah melalui Kantor Statistiknya dan survey swasta yang tertuang pada indeks Caixin Manufacturing. Merujuk pada kinerja manufaktur versi pemerintah, terlihat bahwa kinerja manufaktur Tiongkok pada bulan lalu masih mengalami kontraksi genap memasuki bulan keduanya berturut-turut dengan skor PMI manufaktur berakhir sebesar 49,8 dari dari yang sebelumnya tercatat sebesar 49,7.
Tapi justru sedikit berbeda dengan kinerja di bidang manufaktur, aktivitas di bidang jasa Tiongkok secara keseluruhan masih terpantau stabil. Hasil survey resmi pemerintah untuk PMI non manufaktur Tiongkok pada bulan September lalu masih bertahan pada zona ekspansi yaitu pada level 53,4 yaitu level yang sama dengan yang berhasil tercatat di bulan sebelumnya. Industri jasa Tiongkok memang menjadi titik terang tunggal bagi perekonomian Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir yang berhasil mengimbangi redupnya aktivitas di sektor pabrik.
Lihat juga: Kinerja Manufaktur Tiongkok Versi Pemerintah Meradang
3. Ekspor Anjlok Ke Level Terburuk Dalam 2 Tahun, PMI Nikkei Manufaktur Jepang Merosot
Tercatat bahwa PMI Nikkei Manufaktur Jepang pada bulan September kemarin berakhir sebesar 51,0 atau sedikit lebih dari yang tercatat di bulan Agustus yang berakhir pada skor 51,7. Meski sedikit melambat, karena indeks PMI ini masih di atas ambang 50 artinya kinerja manufaktur Jepang masih berada di zona ekspansi memasuki bulan kelimanya berturut-turut pada bulan lalu meskipun skor PMI manufaktur tersebut sekaligus merupakan perlambatan yang pertama kalinya terjadi dalam tiga bulan terakhir.
Rilis data PMI Nikkei Manufaktur Jepang ini kemungkinan akan menambah kekhawatiran para pelaku pasar tentang ketidakpastian prospek perekonomian Jepang yang kemungkinan akan kembali tarik-menarik setelah jatuh tak terduga pada bulan Agustus lalu karena tingkat produksi industrinya merosot. Dijelaskan juga bahwa indeks akhir untuk pesanan ekspor baru berakhir pada level 48,0, dimana perolehan skor tersebut mencerminkan kontraksi yang paling dalam tercatat sejak Februari 2013 silam.
Lihat juga: Manufaktur Jepang Memburuk, Ekspornya Terpuruk Dalam 2 Tahun Terakhir
4. PMI Nikkei Manufaktur Korsel Berhasil Bangkit Meski Tetap Tertahan Di Zona Kontraksi
Setelah 3 bulan mengalami kontraksi, sektor manufaktur di Korea Selatan akhirnya bangkit lagi setelah pemerintah memberikan stimulusnya untuk mengangkat ekonomi yang sempat terpukul pasca tenggelamnya kapal fery Sewol yang membuat kepercayaan konsumen dan bisnis negeri ginseng tersebut merosot. Menurut hasil survey terbaru dari Markit Economics hari Senin (1/9) menunjukkan indeks manufaktur PMI Korea Selatan meningkat untuk pertama kalinya dalam empat bulan pada bulan Agustus lalu yang tercatat 50,3. Setelah sebelumnya pada bulan Juli indeks yang mengukur kinerja sektor ini ada di level 49,3.
Dalam laporan tersebut juga menunjukkan permintaan dalam negeri meningkat setelah peluncuran produk baru, namun pesanan ekspor masih melemah karena permintaan dari Tiongok dan Jepang menurun. Oleh karena itu pertumbuhan di Q3 2014 kemungkinan akan menjadi menurun jika pemerintah tidak segera menyikapinya. Produksi di pabrik Korsel terus menurun, dan meskipun hanya fraksional, pesanan baru naik pada bulan Agustus setelah periode tiga bulan sebelumnya terjatuh. Dan pesanan ekspor baru pada bulan Agustus lalu mengalami penurunan.
Lihat juga: Kinerja Manufaktur Korea Selatan Bangkit Dari Pelemahan Selama 4 Bulan
5. Tertekan Oleh Depresiasi Rupiah, PMI Nikkei Manufaktur Indonesia Catat Kontraksi Lebih Dalam
Rilis laju inflasi Tanah Air berhasil mereda pada bulan lalu, tapi sayang tidak demikian dengan indeks manufaktur Indonesia yang justru berbalik melemah pada bulan September lalu. Kondisi tersebut tercermin pada PMI Nikkei Manufacturing Indonesia yang rilis hari ini (1/10) dan melaporkan skor PMI turun ke skor 47,4 pada September lalu dari yang semula tercatat pada level 48,4 di bulan Agustus lalu. Dengan berakhirnya skor PMI manufaktur Tanah Air masih dibawah 50 hingga September lalu maka genap sudah 12 bulan terakhir kinerja manufaktur Indonesia berada di fase kontraksi.
Indeks manufaktur Tanah Air pasalnya kembali memburuk pada September lalu setelah kenaikan dari 47,3 pada Juli menjadi 48,4 pada Agustus yang mengindikasikan perbaikan kondisi. Kondisi tenaga kerja di sektor manufaktur cukup mencemaskan ditengah pelemahan rupiah yang terus memburuk. Semua pabrik manufaktur di Indonesia berjuang untuk mendapatkan order baru di tengah kondisi perekonomian yang sulitkarena permintaan domestik lemah dan demikian juga dengan permintaan ekspor.
Lihat juga: Kinerja Manufaktur Tanah Air Tertekan Depresiasi Rupiah
Terlihat bahwa hampir seluruh kinerja manufaktur di negara-negara utama kawasan Asia menunjukkan kinerja negatif pada industri manufakturnya. Buruknya kinerja manufaktur di wilayah Asia erat kaitannya dengan perlambatan ekonomi Tiongkok yang tak kunjung mereda, akibatnya Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) akhirnya secara resmi memangkas prospek pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di Asia.
Tidak hanya itu, ADB sendiri memangkas proyeksi pertumbuhan Tiongkok hingga dibawah 7 persen yaitu menjadi 6,8 persen untuk tahun 2015 ini, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar 7,2 persen dan di bawah pertumbuhan 2014 sebesar 7,3 persen. Dia memprediksi pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia itu akan jatuh ke 6,7 persen pada 2016. Sejauh ini, meskipun permintaan konsumsi dalam negeri di Tiongkok cukup kuat, aktivitas ekonominya tetap jatuh jauh dari harapan dalam delapan bulan pertama tahun ini karena investasi dan ekspor menurun.
Prospek pertumbuhan ekonomi Asia telah terseret melambatnya pertumbuhan ekonomi di Tiongkok dan India serta pemulihan yang rendah di pasar negara maju. Pertumbuhan ekonomi pada paruh pertama 2015 lalu tercatat lebih rendah dari yang diharapkan. Pasar negara berkembang menghadapi penurunan arus modal dan depresiasi mata uang. Kecenderungan yang mungkin diperburuk oleh kenaikan suku bunga AS di masa depan.
Stephanie Rebecca/VM/BNV/ Analyst at Vibiz Research Center
Edior: Asido Situmorang