Pergeseran Geopolitik dan Resiliensi Perekonomian Indonesia

Dunia kini bergerak menjadi berbeda, dengan sekutu dipilih bukan karena logika pasar, tetapi karena aliansi strategis. Negara yang tidak membangun kekuatan domestiknya akan tersingkir. Hal ini berarti secara implisit menantang kita apakah Indonesia akan menunggu atau bertindak?

501
Resiliensi Ekonomi Indonesia

(Vibiznews – Kolom) “Kita semua memahami bahwa dunia berubah luar biasa pasca Perang Dunia Kedua,” ujar Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati saat membuka paparannya tentang dinamika geopolitik global. Ia menekankan bahwa fragmentasi dan tekanan global kini menjadi faktor utama dalam pengambilan kebijakan ekonomi, bukan lagi sekadar pertimbangan makro biasa.

Saat itu, negara-negara Eropa porak-poranda dan harus dibangun kembali. Maka muncul tekad bersama, terutama di negara-negara Barat, untuk menciptakan institusi global seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia guna membangun kembali peradaban pascaperang.

Namun kini, institusi-institusi global tersebut menjadi kurang efektif—atau bahkan tidak efektif—karena shareholder utamanya, terutama Amerika Serikat, justru tidak lagi percaya pada institusi yang mereka sendiri lahirkan. Maka muncul sistem baru yang bersifat unilateral. Rule-based order yang dikenal sejak Perang Dunia Kedua kini menjadi tidak pasti.

Di sisi lain, muncul blok-blok baru seperti BRICS, serta kebijakan ekonomi yang semuanya cenderung tidak pasti. Intensitas persaingan pun menjadi sangat tajam. Insting setiap negara sekarang adalah melindungi domestiknya.

Menkeu Sri Mulyani Masuk Dalam Forbes 50 Over 50 Asia 2023 Ekonomi Indonesia
Sumber: Kemenkeu

Kebijakan ekonomi menjadi inward-looking: My country first, America first, China first, Indonesia first, dan seterusnya. Karena lingkungan eksternal tidak bisa diandalkan, maka satu-satunya cara adalah menjaga kepentingan nasional.

Ia menekankan bahwa dalam dunia seperti ini, negara-negara berkembang — termasuk Indonesia — harus cerdas dan lincah. “Kalau kita tidak cepat adaptasi, kita akan jadi collateral damage dari pertarungan besar itu.”

Namun, Indonesia tidak boleh pesimistis. “Dalam situasi seperti ini, justru kita harus melihat peluang. Dunia sedang berubah, dan kalau kita bisa melihat arah angin lebih awal, kita bisa mengambil posisi yang strategis.”

Sri Mulyani menekankan perlunya Indonesia mengembangkan supply resilience. Negara ini tidak bisa hanya bergantung pada satu atau dua mitra dagang. Diversifikasi pasar, penguatan industrialisasi dalam negeri, dan percepatan transformasi digital menjadi strategi utama.

“Kita tidak bisa hanya mengandalkan harga komoditas. Kalau kita ingin menjadi negara maju, kita harus punya strategi yang tangguh menghadapi dunia yang berubah.”

Ia menutup bagian ini dengan peringatan bahwa geopolitik bukan lagi semata-mata urusan menteri luar negeri. “Ini sekarang urusan semua orang — termasuk kita, para pembuat kebijakan fiskal.”

Tarif perdagangan yang diimplementasikan Amerika Serikat dan dampaknya

Sri Mulyani secara lugas menggambarkan bagaimana kebijakan tarif terbaru yang dikeluarkan oleh Presiden Trump telah mengubah lanskap perdagangan global hanya dalam waktu dua bulan. Mulai dari tarif 10% hingga 25% atas Kanada, Meksiko, dan Tiongkok, hingga eskalasi kebijakan balasan dari negara-negara mitra dagang utama, dunia kini terjebak dalam ketidakpastian ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kebijakan ini bukan hanya soal perdagangan, tetapi juga menggambarkan transisi dari pendekatan ekonomi berbasis teori ke pendekatan pragmatis dan transaksional. Seperti disampaikan Sri Mulyani, “Ilmu ekonomi tidak berguna hari-hari ini,” merujuk pada keputusan yang tidak lagi mengikuti prinsip-prinsip ekonomi konvensional, melainkan dorongan politik jangka pendek.

Tarif resiprokal yang diberlakukan terhadap 60 negara didasarkan pada tujuan menutup defisit perdagangan AS secara langsung, tanpa memperhitungkan efek jangka panjangnya. Tiongkok merespons dengan tajam, bahkan langsung memicu kepanikan di pasar keuangan global.

Kemenkeu Terbitkan PMK 4/2025 Tingkatkan Layanan Kiriman Barang Impor dan Ekspor
Sumber:Kemenkeu

Dengan ketegangan antara AS dan Tiongkok yang kian memburuk, muncul pertanyaan besar, apakah perdagangan global kini akan bergeser ke arah trade diversion? Negara-negara seperti Vietnam, Bangladesh, Thailand, dan bahkan Indonesia mulai dilirik sebagai alternatif destinasi ekspor dan investasi. Namun persaingan antar negara dalam mendapatkan posisi strategis ini sangat ketat, terutama karena struktur tarif yang juga berbeda-beda. Filipina, Malaysia, Korea Selatan, dan India memiliki tarif lebih rendah daripada Indonesia, yang berarti risiko kalah saing tetap tinggi.

Resiliensi Perekonomian Indonesia

Sri Mulyani menjelaskan bahwa meskipun situasi global penuh tekanan, perekonomian Indonesia tetap menunjukkan ketahanan yang mengesankan.

Investor portofolio merespons negatif terhadap kebijakan Tiongkok. Hari pertama pembukaan bursa, dan kita sudah melihat bahwa pada sesi kedua indeks Indonesia turun hingga di bawah 8%, tepatnya 7,7%. Banyak negara mengalami koreksi pasar saham yang sangat dalam sejak 2 April hingga 8 April, bahkan hingga 14%. Beberapa, bisa sampai 25% lebih.

Baca juga : PT Central Finansial X – Bursa Aset Kripto Pertama di Dunia

Nilai tukar kita juga mengalami tekanan. Gubernur Bank Indonesia telah menyampaikan beberapa langkah antisipatif bahkan sebelum pembukaan hari ini. Alhamdulillah, nilai tukar rupiah sudah bisa turun di bawah Rp17.000. Namun dinamika ini—baik harga saham, nilai tukar, maupun obligasi dan surat berharga lainnya—ibarat shock absorber. Saat terjadi guncangan, respons pasar adalah bentuk penyesuaian yang wajar, dan kita harus terbiasa melihatnya. Tapi itu tidak berarti kita mengalihkan perhatian dari fondasi ekonomi yang harus tetap dijaga.

Tekanan di pasar keuangan global memang tinggi belakangan ini, tapi bukan hal baru. US Treasury yield baik yang dua tahun maupun sepuluh tahun sedikit melemah karena dianggap sebagai safe haven. Namun indeks dolar juga melemah, menunjukkan bahwa kepercayaan penuh terhadap dolar mulai menurun. Sementara itu, indeks volatilitas meningkat. Tapi dibandingkan saat COVID, kenaikannya masih bisa dikelola. Ini menunjukkan bahwa meskipun alarm berbunyi, kita harus tetap hati-hati, tanpa panik.

Moody’s Menilai Ekonomi Indonesia Tetap Resilien Didukung Pertumbuhan Ekonomi yang Stabil
Sumber: Bank Indonesia

JP Morgan dan Goldman Sachs telah menyatakan bahwa kemungkinan Amerika mengalami resesi kini naik ke 60%, dari sebelumnya di bawah 50%. Dengan outlook seperti itu, tak heran harga komoditas menurun karena demand diprediksi turun jika resesi terjadi.

Harga minyak sekarang berada di kisaran USD 64–65, sementara APBN kita menggunakan asumsi USD 100 per barel. Ini berarti subsidi bisa lebih rendah, dan moga-moga ini bisa membuat tekanan terhadap APBN kita berkurang, meskipun nilai tukar rupiah saat ini masih di atas asumsi APBN.

CPO justru membaik, yang akan meningkatkan penerimaan negara. Tembaga (copper) masih relatif bagus, namun nikel mengalami penurunan, dan batubara kini sudah di bawah USD 100 per ton. Kondisi ini tentu menuntut kewaspadaan dan strategi yang tepat.

Aktivitas manufaktur di Indonesia hingga hari ini masih menunjukkan ekspansi, walaupun tipis, di angka 50,3. Sebelumnya sempat turun, namun kini kembali naik dengan cepat. Ini menggambarkan ketahanan sektor manufaktur Indonesia.

Ekspor Indonesia, terutama sektor pertanian, tumbuh 52% secara year-on-year, sementara sektor manufaktur tumbuh 29%. Artinya, sebelum kebijakan tarif Trump diberlakukan, kondisi perdagangan kita cukup baik. Oleh karena itu, neraca perdagangan kita masih tetap terjaga dengan kondisi surplus.

Dari sisi neraca perdagangan, Amerika adalah mitra dagang terbesar kedua bagi Indonesia. Namun jika dibandingkan dengan mitra dagang terbesar pertama, yaitu Tiongkok, gap-nya tidak terlalu jauh—sekitar USD 23 miliar. Ini juga tidak berbeda banyak dibanding destinasi ekspor lainnya.

Data ini menunjukkan bahwa Indonesia punya banyak alternatif tujuan ekspor. Destinasi ekspor kita masih bisa didiversifikasi, dan ketergantungan terhadap Amerika tidak terlalu besar jika dibandingkan negara lain.

Kejadian syok seperti ini bukan hal baru dalam sejarah ekonomi kita. Kita pernah mengalaminya saat krisis minyak dan perang di tahun 1970-an, saat krisis global tahun 2008–2009, dan juga saat krisis ekonomi tahun 1997–1998.

Pelajaran dari semua krisis ini adalah bahwa pada saat terjadi guncangan, justru itu menjadi peluang untuk melakukan reformasi dan deregulasi.

Kinerja APBN

Sri Mulyani mengakhiri presentasinya dengan menyampaikan kondisi dan arah pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia menggambarkan APBN sebagai instrumen utama kebijakan fiskal yang berfungsi sebagai shock absorber ketika terjadi tekanan eksternal maupun domestik, sekaligus sebagai alat untuk mendorong transformasi struktural ekonomi.

APBN selama ini menjadi jangkar utama dan kami selalu transparan. Sampai akhir Maret, kondisi APBN menunjukkan perbaikan. Kemarin sempat muncul headline bahwa penerimaan pajak mengalami kontraksi. Pemerintah menunda press conference karena datanya masih sangat dinamis. Beberapa faktor seperti CORETAX, dan restitusi besar-besaran oleh beberapa perusahaan menyebabkan fluktuasi.

Pemerintah dan Banggar DPR Sepakati RUU APBN 2025 Dibawa ke Sidang Paripurna
Sumber: Kemenkeu

Namun, bila dilihat data Maret, penerimaan bruto pajak kita telah menunjukkan pemulihan. Januari dan Februari masih minus—masing-masing minus 13% dan minus 4%—tetapi Maret tumbuh positif sebesar 9,1%. Ini turnaround yang sangat positif.

Bila kita lihat pola empat tahun terakhir, rata-rata penerimaan pajak periode Desember–Maret tahun ini (2025) mencapai Rp179,7 triliun. Ini lebih tinggi dibanding 2024 (Rp174 triliun), 2023 saat boom komoditas (Rp167 triliun), dan 2022 pasca-COVID (Rp146 triliun). Jadi pemerintah ingin menyampaikan bahwa penerimaan pajak masih on track.

Sri Mulyani menyampikan agar jangan menciptakan keresahan yang tidak perlu. “APBN kita masih prudent dan sustainable. Presiden punya banyak program, tapi semua didesain dalam kerangka APBN yang sehat.” Ujarnya.

Dari sisi belanja pemerintah, pemerintah juga tetap on track. Sampai Maret, belanja K/L mencapai Rp196 triliun atau 16,9% dari pagu. Belanja non-K/L termasuk subsidi dan pensiun sudah mencapai Rp217 triliun. Bila dibandingkan dengan tahun lalu saat pemilu, memang ada front-loading, tapi secara keseluruhan persentasenya masih sebanding: tahun lalu 17,3%, tahun ini 15,3%.

Untuk pensiun dan THR tetap kami bayar. Belanja naik 4% dibanding tahun lalu. Subsidi pupuk misalnya, sampai Maret sudah disalurkan 1,7 juta ton—tepat waktu, sebagaimana instruksi Presiden. Tahun-tahun sebelumnya, anggaran pupuk sering datang terlambat dan hasil panen terganggu. Jadi ketepatan waktu itu sangat menentukan.

Reformasi ini berdampak besar pada kualitas pelaksanaan anggaran. Subsidi BBM, LPG 3 kg, listrik juga meningkat dari sisi volume. Artinya, APBN bekerja untuk melindungi masyarakat di masa sulit.

Transfer ke daerah juga tetap on track. Presiden menyampaikan bahwa hampir sepertiga belanja negara ditransfer ke daerah. Jadi kita harus pastikan setiap rupiah benar-benar memberikan manfaat. Dana desa, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, semua diperiksa lebih detail. Ini mungkin membuat sebagian tidak nyaman, tapi tujuannya agar setiap rupiah benar-benar sampai dan bermanfaat langsung bagi masyarakat.

Terkait pembiayaan APBN, banyak yang mempertanyakan apakah akan defisit dan berapa besarannya. Defisit APBN telah ditetapkan sebesar 2,53% dalam UU APBN 2024 (UU No. 6/2024), atau setara Rp616 triliun. Sampai sekarang, pemerintah telah menerbitkan SBN senilai Rp282 triliun. Pemerintah memang melakukan front loading, bukan karena keuangan negara bermasalah, tapi sebagai strategi untuk mengantisipasi ketidakpastian global seperti kebijakan Trump yang bisa memicu disrupsi.

Jadi pemerintah ingin memastikan APBN tetap dijaga secara pruden, transparan, dan hati-hati. Karena itu pula, seperti disampaikan oleh Menko, rating utang Indonesia tetap stabil dengan outlook yang juga stabil.

APBN adalah instrumen penting untuk membiayai program ketahanan pangan, seperti subsidi pupuk—1,3 juta ton dalam tiga bulan pertama. Ketahanan energi juga dijaga melalui subsidi BBM dan listrik. Program makanan bergizi telah menjangkau 2,6 juta penerima. Ini akan kami laporkan secara rutin.

Program pendidikan tetap dijaga, dan bahkan diperkuat dengan berbagai inisiatif baru dari Presiden. Semua itu dibiayai dalam amplop APBN yang ada, tanpa menjebol anggaran. Program kesehatan, termasuk pemeriksaan gratis, juga sudah dianggarkan. Pembangunan desa dan koperasi desa dibiayai melalui dana desa. Governance-nya sedang kita perkuat, tapi tetap dalam koridor anggaran.

Pertahanan semesta—baik untuk alutsista maupun industri pertahanan dalam negeri—juga ada dalam kerangka APBN. Penggunaan dividen BUMN sudah diperhitungkan secara matang. Pemerintah ingin menyampaikan bahwa APBN tetap menjadi jangkar kepercayaan (anchor of confidence). Ini sangat penting.

Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Menurut saya,  reciprocal tariff AS adalah kombinasi antara ide lama dan ide baru. Tahukah siapa “tariff man” yang asli? Dia adalah Alexander Hamilton. Ia menggunakan tarif untuk mendanai negara baru dan melindungi industri Amerika. Sekarang, Presiden Trump menambahkan elemen ketiga pada pendekatan ini, menggunakan tarif sebagai alat negosiasi.

Donald Trump kembali menjadikan tarif sebagai senjata utama untuk melindungi ekonomi AS. Ia mengusulkan tarif timbal balik pada negara-negara dengan defisit perdagangan besar terhadap AS. Sebagai “tariff man,” Trump percaya tarif dapat memperkuat industri dalam negeri dan menghasilkan pemasukan negara.

Indonesia Tarif
Sumber: Youtube

Tarif minimum 10% akan diberlakukan ke semua negara, termasuk mitra dagang utama. Metode penghitungan Trump sederhana—berdasarkan defisit bilateral—dan dinilai banyak ekonom sebagai pendekatan yang keliru dan tidak realistis.Trump juga mengaitkan tarif dengan isu keamanan nasional, menganggap deindustrialisasi sebagai ancaman. Pangsa manufaktur AS turun drastis sejak 1950-an, memicu kekhawatiran soal kemandirian ekonomi di masa krisis.

Selain ekonomi, tarif digunakan sebagai alat politik untuk menekan negara lain dan mengimbangi dampak pemotongan pajak. Dulu tarif adalah sumber utama pendapatan negara, kini Trump coba menghidupkannya kembali. Namun, perang dagang sebelumnya tak mengurangi defisit—ekspor hanya bergeser ke negara lain seperti Vietnam. Pasar pun bereaksi negatif, tapi Trump tetap fokus pada agenda industrinya, meski mengundang risiko global.

Jadi apa yang akan terjadi dengan tarif ke depannya? Tujuan akhir dari tarif, dan Presiden Trump selalu mengatakan ini: “Bawa pabrik Anda ke sini.” Itu solusi terbaik. Menyingkirkan tembok tarif, pindahkan fasilitas anda dari Tiongkok, dari Meksiko, dari Vietnam—bawa ke sini, ke Amerika.

Sri Mulyani tengah menyoroti fakta penting bahwa globalisasi dalam bentuknya yang lama — yang ditandai oleh efisiensi rantai pasok dan kepercayaan lintas negara — tengah surut. Dunia kini bergerak menjadi berbeda, dengan sekutu dipilih bukan karena logika pasar, tetapi karena aliansi strategis. Negara yang tidak membangun kekuatan domestiknya akan tersingkir. Hal ini berarti secara implisit menantang kita apakah Indonesia akan menunggu atau bertindak?