Memasuki tahun yang baru, ekonomi Indonesia telah melewati salah satu periode yang penuh gejolak di tahun 2015. Presiden Jokowi menyebutkan bahwa kemungkinan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun yang lalu akan sedikit lebih rendah dari tahun 2014, tetapi melewati tantangan dan gejolak ekonomi global banyak Negara lain yang mengalami penurunan ekonomi yang lebih parah. Seperti apa?
Tahun 2015 oleh sejumlah lembaga dan media internasional disebutkan sebagai tahun yang penuh gejolak (turbulent), ketidakpastian, bahkan juga disebutkan tahun krisis. Mengapa? Di tahun inilah satu negara besar yang diharapkan untuk menjadi motor pertumbuhan ekonomi global, yaitu China, mengalami kemerosotan dalam pertumbuhan ekonominya, menjadi sekitar 7% dari yang biasanya double digit pada beberapa tahun sebelumnya. Kemungkinan untuk akhir tahun 2015 pertumbuhan ekonomi China hanya akan mencapai sekitar 6,8% menurut prediksi IMF. Laju pertumbuhan manufakturnya, yang diukur dengan index Caixin PMI Manufacturing, terpantau juga mengalami kontraksi sepanjang tahun, dan bukannya ekspansi.
Ekonomi Global Tertekan
Salah satu dampak yang ditimbulkan dari pelambatan ekonomi China adalah penurunan permintaan komoditas, sehingga semakin menekan turunnya harga komoditas global yang melorot ke level terendahnya dalam 5 tahun terakhir. Kenaikan tensi geopolitik di kawasan Timur Tengah, seperti pemutusan hubungan diplomatik Arab Saudi dengan Iran saja, tidak sanggup untuk mendongkrak harga minyak dan juga harga komoditas-komoditas lainnya. Semuanya berada di level rendah.
Di akhir tahun 2015, Federal Reserve, akhirnya, menaikkan suku bunganya sebesar 25 bp setelah selama hampir satu dekade bertahan di level “near zero”, pada 0.25%, terhitung sejak kasus subprime mortgage. Sepanjang tahun pasar telah diwarnai ketidakpastian akan kapan dan berapa kenaikan suku bunga the Fed bakal dilaksanakan. Setiap kali ada isyu terkait, maka mata uang dollar bergerak makin kuat secara global. Rupiah pun terpukul ke level terendah 17 tahunnya. Demikian juga mata uang-mata uang banyak Negara berkembang lainnya. Babak belur dipukul keperkasaan dollar.
Ekonomi Amerika, yang belakangan menunjukkan penguatannya, sehingga the Fed berani untuk memulai siklus baru untuk menormalkan (baca: menaikkan) suku bunganya, terpantau masih belum stabil progress-nya. Pertumbuhan ekonominya diperkirakan akan berkisar 2,6%. Kita juga perlu melihat sampai berapa jauh penguatan dollar akan berlanjut karena tentunya akan memukul kinerja ekspor negeri Paman Sam ini.
Kawasan lain, seperti Eropa, jelas masih dalam krisis yang berkepanjangan. Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara zona Eropa yang di bawah 1%, nyatanya kawasan ini telah membebani laju ekonomi global. Dapat dikatakan negara-negara yang selama ini pernah menjadi motor ekonomi dunia seperti Jepang, Jerman, Perancis, Belanda periode ini hanya akan menikmati pertumbuhan rendah sekitar 1,5-1,8% saja.
IMF belum lama ini harus memangkas angka perkiraan pertumbuhan ekonomi global tahun 2015 menjadi sebesar 3,1%, ini lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2014 lalu yang sebesar 3,4%. Singkatnya dapat disebutkan bahwa tahun 2015 ekonomi global telah mengalami gejolak, ketidakpastian, dan karenanya tertekan laju pertumbuhannya.
Penurunan harga komoditas global telah merosot tajam di tahun 2015, di mana sejumlah komoditas bahan baku utama seperti baja dan bijih besi, mengalami penurunan sampai melorot 80% dari harga puncaknya pada empat tahun yang lalu. Ini menimbulkan dampak kerugian besar bagi sejumlah perusahaan pertambangan dan negara-negara berbasis komoditas seperti Rusia dan Brazil yang sebelumnya –seperti Indonesia- menikmati keuntungan dari booming harga komoditas selama 5 tahun.
Rusia mengalami kontraksi ekonomi (pertumbuhan ekonomi negatif) yang parah, sekitar 3,5%. Brazil, yang bersama Rusia pada beberapa tahun lalu digadang-gadang sebagai salah satu calon kuat negara ekonomi maju di dunia, dengan sebutannya sebagai negara anggota “BRICS”, tahun 2015 mengalami kontraksi ekonomi setidaknya 1,6%, bahkan bisa lebih. Kondisi korupsi yang parah di sana ikut menggoncangkan kestabilan pemerintahan dan perekonomian masyarakatnya saat ini. Anggota BRICS lain, seperti Afrika Selatan mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi tahunannya ke level 2% saja. Pemicunya juga terutama karena anjloknya harga komoditas global.
Melewati Tantangan
Tantangan yang dihadapi dihadapi Jokowi bersumber dari internal maupun eksternal, tidak hanya persoalan ekonomi juga persoalan politik, namun bila melihat kembali ke belakang, secara bertahap tantangan demi tantangan dapat diatasi. Pengesahan revisi APBN 2015 oleh DPR diganggu oleh polemik pemilihan Kapolri. Belum lagi gunung birokrasi yang harus dibereskan karena memperlambat belanja pemerintah. Tekanan ekonomi global, secara eksternal membuat sentiment terhadap negara berkembang yang memburuk dan mengakibatkan keluarnya modal asing yang terbesar dalam tiga dekade terakhir.
sumber: Nikkei Asian Review
Dibandingkan tahun 1998 atau 2008, krisis kali ini merupakan tantangan yang berbeda secara makro ekonomi. Indonesia harus berbenah, perlu adanya perubahan poros ekonomi konsumsi ke investasi. Industrialisasi untuk menggenjot ekspor perlu dipacu, hal ini penting dilakukan untuk mencegah proses deindustriliasi yang sedang terjadi. Tahun 2000 hingga 2004, 66 persen dari total ekspor Indonesia berasal dari produk manufaktur dan 34 persen dari produk primer. Saat ini sudah terbalik produk primer melesat menjadi 51 persen sedangkan ekspor produk manufaktur menjadi 49 persen.
Jokowi mengatasi persoalan ekonomi dengan mengeluarkan paket kebijakan stimulus ekonomi yang dinilai banyak pihak sudah tepat, Indonesia menuju pada kebijakan makro ekonomi yang memacu produktivitas dan investasi.
Untuk menghasilkan buahnya, perlu waktu dan memang melalui krisis global ini, semboyan Jokowi “tiada hari tanpa kerja keras!” merupakan jalan mewujudkannya. Ditengah tantangan yang dihadapi, kerja keras Jokowi mulai menunjukan hasil.
Menurut catatan BKPM, bahwa arus modal asing (Foreign Direct Investment/FDI) yang masuk Indonesia pada kuartal ke tiga 2015 mengalami peningkatan hingga 18,1% (y-o-y) menjadi Rp 92,5 tiliun (mendekati USD 6,85 miyar) dibanding kuartal yang sama tahun lalu. Hal ini menunjukan kepercayaan yang besar dari dunia internasional terhadap Indonesia. Sementara investasi domestik (Domestic Direct Investment/DDI) mengalami peningkatan 14,9% menjadi Rp 47,8 triliun, pada periode yang sama, atau secara kumulatif total realisasi investasi mencapai Rp 400 triliun hingga kuartal ke tiga 2015.
sumber : BKPM
Tahun 2015, berbagai proyek infratruktur mulai dijalankan, seperti pembangunan PLTU Batang, Jawa Tengah, dimulainya pembangunan tol Trans Sumatera, jalur rel kereta api antara Makassar hingga Parepare mulai dibangun, proyek MRT Lebak Bulus hingga Bundaran HI sedang berjalan, serta banyak proyek infrastruktur lainnya sedang dijalankan. Tahun ini pabrik pupuk terbesar di Asia Tenggara berlokasi di Bontang Kalimantan juga mulai beroperasi.
Prestasi dan Prospek Ekonomi
Dengan pertumbuhan ekonomi yang hampir 5%, Indonesia sebenarnya sudah berada di atas rata-rata pertumbuhan dunia. Bahkan juga dapat disebutkan berada di seputar lima negara tertinggi pertumbuhan ekonomi di dunia, di antara China, India, Vietnam, dan Filipina. Sebagai negara yang tadinya mengandalkan komoditas dalam pertumbuhannya, pencapaian ekonomi Indonesia sedemikian layak disebut sebagai suatu prestasi, apalagi bila dibandingkan nasib sejumlah negara berbasis komoditas lainnya.
Presiden Jokowi menyampaikan kepada media belum lama ini, bahwa sebelumnya banyak kalangan yang meragukan kinerja pemerintahan Kabinet Kerja, terutama pada realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), salah satunya sektor penerimaan pajak negara yang diprediksi paling besar 80 persen dari target. Namun nyatanya, di akhir 2015 pendapatan negara mencapai 84,7% atau Rp1.491 triliun, sedangkan penerimaan pajak mencapai 83% atau Rp1.235,8 triliun. Di tengah tekanan ekonomi global yang berat, pencapaian demikian pantas diapresiasi sebagai juga prestasi dari pemerintahan pimpinan Presiden Joko Widodo dan Kabinet Kerjanya.
Sementara itu, Indonesia dewasa ini malah sering disebutkan sebagai calon negara berpendapatan triliun dolar di Asia (Asia’s next trillion-dollar economy) untuk bergabung dalam barisan bersama dengan China, Jepang, India, Australia dan Korea Selatan dalam dua tahun ke depan. Dari GDP sebesar US$870 miliar saat ini diproyeksikan akan menjadi sekitar US$1,14 triliun di tahun 2017. Sejumlah lembaga ekonomi internasional, di antaranya dari IHS, pada tahun lalu memperkirakan GDP Indonesia di tahun 2023 akan melampui GDP Australia, karena akan menjadi dua kali lipat besarnya pada sekitar US$2,1 triliun.
Signal Kemajuan
Di tengah turbulent ekonomi global dan bahkan berbagai pandangan skeptis mengenai perkembangan ekonomi Indonesia, rupanya upaya Jokowi sudah tepat untuk mendorong ekonomi dengan menarik investasi asing ke Indonesia dan mendorong pembangunan infrastruktur terutama pelabuhan, jalan dan ketersediaan listrik.
Demikian juga upaya insentif pajak bagi industri pioneer di bidang energy, transportasi laut dan proses hasil pertanian, sekalipun belum berbicara jumlah investasi yang masuk, namun telah membangun minat dan perhatian asing untuk berinvestasi di negara yang memiliki potensi penduduk dan sumber daya alam melimpah ini.
Tidak kalah pentingnya adalah kemudahan perizinan telah memberikan signal kemajuan. Program perizinan terpadu (PTSP) yang diluncurkan pada awal tahun 2015 telah menerbitkan 17.238 izin, atau secara rata-rata 1.436 izin setiap bulannya. Bahkan terobosan pemerintah untuk memulai proyek PLTU investasi Jepang di Batang dengan kapasitas 2×1.000 MW yang sebelumnya telah mangkrak 4 tahun sejak 2012, sangat meningkatkan kepercayaan investor asing di Indonesia.
Dua signal kemajuan yang jelas terlihat dari upaya-upaya ini adalah, pertama Indonesia menunjukkan negara yang siap untuk menerima arus investasi asing, kedua adalah investor friendly sangat terlihat dalam sikap pemerintahan Jokowi.
Founder and Chairman of Vibiz Consulting
Vibiz Consulting Group