Baru-baru ini, Bank Indonesia (BI) merilis data posisi utang luar negeri Indonesia untuk akhir 2015. Tercatat bahwa Singapura masih menempati posisi teratas sebagai negara pemberi utang Indonesia. Sementara, dari organisasi lembaga, International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau anak usaha Bank Dunia yang menempati posisi pertamanya. Selain itu, tercatat bahwa utang luar negeri Indonesia secara keseluruhan per November 2015 tumbuh 3,2 persen year on year (YoY), menjadi sebesar US$304,6 miliar atau sebesar Rp4.241 triliun. Sejumlah kalangan kemudian menilai bahwa ini sudah berada di level “lampu kuning”. Apakah memang demikian?
Dari sisi urutan kreditur teratas, utang Singapura, per November 2015, adalah sebesar USD 57,1 miliar atau setara dengan Rp 792,5 triliun. Utang Indonesia dari IBRD adalah USD 14,2 miliar atau setara Rp 197,1 triliun. Posisi kedua dan ketiga masing-masing adalah Jepang dengan USD 31,4 miliar serta China sebesar USD 12,6 miliar. Dilihat dari organisasi, ADB memberikan pinjaman senilai USD 8,7 miliar dan IMF sebesar USD 2,7 miliar. Demikian menurut data dari Statistik Utang Luar Negeri rilis dari Bank Indonesia, Januari 2016.
Utang Menanjak dan Perbandingannya
Data terkini memang menunjukkan kenaikan utang luar negeri Pemerintah yang cukup signifikan. Salah satu indikator yang biasa dipakai adalah rasio utang luar negeri terhadap PDB (debt-to-GDP ratio). Di akhir tahun 2015, utang pemerintah total adalah sebesar Rp3.089 triliun (sekitar US$222.2 miliar), atau 27 persen dari PDB Indonesia. Ini berarti menanjak dari posisi setahun sebelumnya –di akhir 2014- debt-to-GDP ratio yang masih sebesar 24,7 persen (Rp2.608.8 triliun).
Bank Indonesia (BI) disebutkan memandang perkembangan utang luar negeri terakhir ini sebagai yang perlu terus diwaspadai risikonya terhadap perekonomian, walau masih cukup sehat.
Kalau dilihat sejak dari era Krismon, yang dikenal juga sebagai Asian Financial Crisis, pada tahun 1998-99, rasio debt-to-GDP Indonesia sebenarnya telah membaik secara signifikan, dari level di atas 150 persenan menjadi berkisar antara 26-29 persen dalam beberapa tahun belakangan ini. Dibandingkan dengan banyak negara lainnya di dunia pun rasio utang di Indonesia termasuk kelompok tiga terendah di dunia, selain Mexico dan Rusia.
Negara berkembang yang mencatatkan utang tertinggi antara lain Hungaria tercatat memiliki utang 226 persen dari PDB, disusul Malaysia sekitar 222 persen dari PBD, dan China sekitar 218 persen dari PDB. China dikabarkan telah mencatatkan pertumbuhan utang yang signifikan dalam tujuh tahun terakhir. Namun demikian, utang pemerintahnya masih lebih terjaga di sekitar posisi 41 persen.
Bagaimana dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, khususnya untuk rasio utang pemerintah terhadap GDP? Singapura justru tercatat sebagai pemerintah di ASEAN dengan rasio utang terbesar. Sementara itu, Indonesia tetap yang paling rendah rasio utang pemerintahnya dibandingkan dengan yang lainnya.
Tingkat keamanan dari utang Indonesia yang dipercaya masih manageable dapat dilihat dari sejumlah indikator. Misalnya, rata-rata jatuh tempo utang pemerintah saat ini adalah 9,7 tahun. Itu kategori yang aman. Kemudian, porsi utang dalam denominasi rupiah telah naik ke angka 52,6 persen dari total utang pemerintah, yang mengandung arti bahwa risiko volatilitas mata uang rupiah mengecil dalam portfolio utang saat ini. Di samping itu, sebagian besar, atau tepatnya 86,2 persen dari total utang dikenakan suku bunga tetap (fixed interest rate), yang artinya aman dari gejolak perubahan suku bunga global.
Hindarkan Crowding Out Effect
Utang pemerintah mempunyai efek sampingan yang dikenal sebagai “Crowding Out Effect”, di mana belanja publik tidak mampu mendorong konsumsi sektor swasta, karena utang pemerintah yang bersumber dari pembelian surat utang pemerintah oleh dana dari swasta akan mengurangi kemampuan konsumsi dan investasi swasta. Selain itu, utang pemerintah yang di sisi positifnya adalah untuk memberi stimulus ekonomi tetapi di sisi negatifnya akan meningkatkan suku bunga pinjaman, yang selanjutnya berakibat menurunkan profitabilitas investasi swasta.
Oleh sebab itu benar apa yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sekarang ini, bahwa utang pemerintah terus dijaga dan harus diarahkan ke sektor produktif. Bahkan perlu terus diberikan sweetener bagi para investor asing baik berupa insentif pajak, kepastian regulasi maupun kemudahan-kemudahan untuk melakukan investasi langsung pada sektor produktif di Indonesia, hal ini akan lebih sehat daripada terus meningkatkan pinjaman pemerintah.
Kreditur Kita, Debitur Besar
Negara kreditur kita terbesar, Singapura, ternyata memiliki rasio utangg pemerintah terhadap GDP yang tinggi, 99,30 persen. Bahkan kreditur besar kita, Jepang, tercatat memiliki rasio utang yang termasuk salah satu tertinggi di dunia, sekitar 230 persen. Amerika, sementara itu, di posisi tinggi juga, pada rasio 102,98 persen. Sepertinya para kreditur utama Indonesia adalah debitur utang besar kelas dunia, sementara Indonesia sendiri sebenarnya adalah pengelola utang yang piawai sehingga mampu menahan laju porsi utang luar negerinya pada posisi yang relatif aman.
Barangkali di antara pembaca jadi bertanya, mengapa para debitur besar, seperti Singapura, Jepang, Amerika ini sepertinya tidak terlalu dikuatirkan secara global akan posisi outstanding utang mereka ini? Jawabnya adalah utang mereka tetap dinilai stabil karena penggunaan utang luar negeri pada sektor-sektor yang produktif. Kuncinya adalah pemanfaatan utang secara produktif.
Dalam hal ini, agaknya status utang Pemerintah Indonesia dapat dikategorikan relatif sehat karena selain rasionya yang rendah, juga sebagian besar utang dewasa ini telah dimanfaatkan dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur yang produktif, sehingga memungkinan pertumbuhan ekonomi yang akan terus berjalan dan meningkat.
Kesimpulannya memang utang luar negeri Indonesia, walaupun ada peningkatan, tetap tidak dapat dikategorikan berbahaya. Masih aman, bahkan akan semakin produktif dampaknya dalam perekonomian di tahun ini dan selanjutnya. Patut diapresiasi, karenanya, kinerja dari Kementerian Keuangan.
Founder and Chairman of Vibiz Consulting
Vibiz Consulting Group