Bergabungnya antara permintaan yang meningkat dengan defisit dan tindakan keras di Filipina membuat nikel menjadi salah satu komoditas yang paling dicari saat ini, demikian menurut UBS Group AG, yang mengatakan bahwa dampak penuh dari shutdowns tambang di negara Asia Tenggara tersebut baru dapat dirasakan pada tahun depan ketika nilai ekspor gagal untuk ditingkatkan.
Harga nikel naik ke level tertinggi dalam setahun pada tanggal 10 Agustus lalu, saat ini berkembang spekulasi bahwa tindakan keras Filipina yang dipimpin oleh Presiden Rodrigo Duterte akan mengganggu pasokan nikel dunia. Para analis memperkirakan dampak kebijakan Filipina ini baru akan terasa di awal tahun 2017 mendatang.
Nikel naik sebanyak 0,9 persen menjadi $ 10.400 per ton di London Metal Exchange dan berada di $ 10,310 di 08:23 di London. UBS memperkirakan harga di $ 11,023 tahun depan, $ 13.228 pada tahun 2018 dan $ 19.621 pada tahun 2020.
Presiden Duterte telah berjanji untuk menutup setiap tambang yang tidak sesuai dengan standar internasional, Filipina menghasilkan sekitar seperlima dari pasokan nikel dunia, dan menjadi pemasok utama Tiongkok untuk bijih besi setelah Indonesia melarang pengiriman bahan baku yang belum diolah pada awal 2014.
Tanda-tanda dampak tindakan keras itu mulai memuncak. DMCI Mining Corp mengatakan pada hari Senin bahwa perusahaan ini sudah merumahkan ratusan pekerja musiman dari perusahaan yang beroperasi di provinsi Palawan dan Zambales akibat tindakan penangguhan yang pemerintah Filipina lakukan.
Di Tiongkok , produksi stainless steel, yang digunakan dalam peralatan dapur naik 7 persen menjadi 11,6 juta ton pada semester pertama, menurut Beijing Informasi Antaike Development Co.