(Vibiznews – Properti) – Tidak lama lagi, pada April 2019 mendatang, pemilu serentak termasuk pemilihan Presiden akan segera dilaksanakan. Situasi politik sudah memanas belakangan ini. Kemungkinannya akan semakin panas lagi mendekati hari-H, terutama pilpres mendatang ini. Memasuki tahun politik ini, bagaimana dengan prospek industri dan bisnis properti di Indonesia?
Ada beberapa pandangan dari para pelaku pasar properti terkait prospek di tahun 2019 ini. Yang pertama, pandangan bahwa even pemilu sudah hal yang biasa di sini. Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sudah biasa menyelenggarakan aneka pemilu, dari pilkada serentak sampai ke pilpres. Hampir setiap tahun ada pemilu di berbagai kota dan daerah.
Pandangan ini tetap optimis terhadap prospek properti, mengingat masih tingginya angka kebutuhan rumah yang belum terpenuhi atau backlog. Terutama lagi untuk kebutuhan rumah bagi segmen menengah ke bawah.
Pandangan kedua, melihat gejolak politik sebagai sumber ketidakstabilan (instability). Karena ini dipandang berisiko tinggi bagi pebisnis properti. Dalam kondisi seperti ini, pilihannya adalah undur dari bisnis properti. Mungkin membesarkan bisnis-bisnis lainnya, atau maintain yang ada dulu, tetapi menghindari adanya pertumbuhan (growth) atau ekspansi baru.
Pandangan ketiga, sedikit lebih moderat dari yang kedua, adalah mengambil sikap “wait and see”. Pelaku pasar akan sangat perhatian (conscious) terhadap perkembangan dan situasi politik yang ada dan memilih jalan aman. Di sini, pebisnis properti akan tetap menjaga pertumbuhan, tetapi dalam laju yang lebih lambat. Konservatif, tetapi enggan kehilangan momen pertumbuhan.
Real Demand
Sebagaimana diketahui, Indonesia dewasa ini sedang mengalami bonus demografi, yaitu sejak 2012 dengan banyaknya penduduk di usia produktif. Hal ini akan berakhir diperkirakan pada 2042 mendatang. Dengan demografi demikian, kita mendapatkan banyak tenaga kerja produktif yang tentunya membuat kebutuhan hunian semakin meningkat.
Data resmi menunjukkan jumlah masyarakat yang masih belum memiliki rumah sampai tahun 2016 (backlog) mencapai 11,4 juta unit. Sementara itu, rata-rata, sekitar 800.000 unit per tahun muncul pertambahan permintaan rumah baru sebagai tempat tinggal. Backlog ini dapat dipahami semakin membengkak dari tahun ke tahun. Ini merupakan permintaan sejati (real demand) terhadap properti tempat tinggal (residential).
Hal lainnya, dalam satu survey pernah dilontarkan bahwa lebih dari separuh penduduk di usia milenial saat ini belum memiliki rumah sendiri. Kebanyakan masih tinggal bersama dengan orang tua. Inipun merupakan dorongan kuat terhadap permintaan rumah tinggal, terutama jenis rumah tapak. Tetapi juga berkembang belakangan ini permintaan untuk apartemen tinggal, terutama di kota-kota besar.
Data terkini dari BI menunjukkan, sekalipun banyak sektor kredit yang mengalami pelambatan pertumbuhan, tetapi untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan KPA serta kredit real estat tercatat justru mengalami akselerasi pertumbuhan, yang masing-masing dari 13,9% yoy dan 13% pada Oktober 2018 menjadi 14% (yoy) dan 13,7% yoy pada November 2018. Mungkin ini satu-satunya segmen kredit yang tetap bertumbuh tambah kuat di periode akhir tahun 2018.
Dengan demikian dapat terlihat di sini, permintaan pasar terhadap kredit properti masih kuat. Ada tetap demand properti yang kuat di tahun politik 2019 ini. Masalahnya, betulkah gejolak politik tidak berpengaruh sama sekali? Sepertinya tidak demikian.
Adanya pandangan-pandangan pelaku pasar yang konservatif sampai pesimis itu dapat mewakili kenyataan pasar bahwa dinamika politik berpengaruh kepada permintaan properti. Paling tidak untuk properti perkantoran, komersial dan industri, pasti terpengaruh dengan pertumbuhan yang lebih lambat. Data terakhir juga menunjukkan laju pelambatan penyaluran kredit konstruksi di sejumlah daerah. (https://vibiznews.com/2019/01/07/pertumbuhan-kredit-melambat-tetapi-permintaan-properti-masih-tumbuh/)
Pelambatan pertumbuhan bisnis properti agaknya memang bakalan terjadi di tengah gejolak politik, apalagi bila situasinya nanti memanas.
Paska Pilpres
Rescheduling konstruksi bisnis properti baru, atau ekspansinya, kemungkinan sedang dan akan terus terjadi. Sampai selesainya pilpres di bulan April ini.
Lalu, setelah pemilihan presiden usai, akankah bisnis properti menggeliat kembali? Memang ada yang berasumsi demikian, bahkan optimis akan terjadi lompatan pertumbuhan setelah properti tiarap sejenak.
Tetapi, nampaknya apa yang akan terjadi paska pilpres akan tergantung juga dari pemerintahan nanti. Logisnya, bila rezim pemerintahan baru nanti mengambil posisi kebijakan yang berubah atau berbeda besar dari kebijakan pemerintahan sekarang, ada kemungkinan industri ini akan melanjutkan posisi wait and see-nya. Dengan perkataan lain, pelambatan pertumbuhan properti akan bertambah panjang (prolong).
Pendekatan kebijakan baru membuka kemungkinan adanya instabilitas baru. Mungkin sampai nanti adanya ekulibrium baru. Dan ini bukan yang diinginkan oleh pelaku pasar sektor properti, yang mengedepankan unsur stabilitas jangka panjang sebagai bagian dari fundamental pertumbuhan.
Namun, bila pemerintahan nanti adalah kepanjangan dari pemerintah sekarang yang pro pertumbuhan lewat infrastruktur dan konstruksi, maka kemungkinan bisnis properti yang menggeliat kembali –bahkan melompat- lebih mungkin terjadi.
Tahun ini, dan tahun-tahun berikutnya, justru akan menjadi peluang baru dengan telah berdirinya banyak proyek infrastruktur yang tentunya berkorelasi positif kuat terhadap industri properti. Pasokan yang semakin kuat, beserta permintaan real yang ada di pasar, dalam siklus pertumbuhan ekonomi yang makin solid –karena berbasis infrastruktur yang masif- akan dapat memunculkan prospek cerah baru bagi bisnis properti Indonesia ke depannya. Semoga.
Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting Group
Editor: Asido