Menyorot Milenial Sebagai Pasar Potensial Properti, Antara Tantangan dan Peluang

1614

(Vibiznews – Property) – Kalau melihat kepada data resmi, dari BPS dan Bappenas, populasi penduduk dalam rentang usia 18-38 tahun jumlahnya sekitar 90 juta jiwa, dengan porsi sekitar 34,45% dari total penduduk Indonesia. Kelompok usia yang disebut dengan generasi milenial ini yang menjadi potensi besar pasar properti hunian, baik sekarang ini maupun di masa depan.

Untuk tahun 2019 ini diperkirakan demand atau permintaan pasar properti akan didominasi hampir 80%-nya dari kalangan milenial, yang secara segmentasi masuk kelompok menengah ke bawah, dengan harga hunian kurang dari Rp 1 miliar.

Dari sejumlah survei yang pernah dilakukan, penghasilan rata-rata kaum milenial ini berada di antara Rp6 juta – Rp7 juta per bulan. Artinya mereka berpotensi dapat membeli properti seharga Rp200 jutaan – 300 jutaan, dengan cicilan Rp2 juta – Rp2,5 juta per bulan.

 

Secara demand, ini merupakan kelompok yang besar, dan karenanya disebut sebagai pasar potensial. Namun demikian, ada sejumlah tantangan yang membuat tidak mudah untuk menggarap segmen ini di pasar properti.

Beberapa tantangannya, antara lain:

  • Daya beli terbatas. Bagaimanapun, kaum milenial ini secara umum terhitung sebagai tenaga kerja lini pertama, atau bagi sebagian lagi yang lebih berusia masuk di lini manajer menengah. Dengan penghasilan rata-rata yang sekitar Rp6 juta – Rp7 juta per bulan itu tidak banyak produk properti yang dapat disasar, khususnya di perkotaan. Suatu survey pernah menyebutkan bahwa sebagian besar milenial ini hanya mampu membeli sekitar 3 persen dari rumah yang ada di Jakarta.

Akibatnya, kebanyakan generasi milenial saat ini, khususnya di kota besar, lebih memilih tinggal di rumah kost atau apartemen sewa. Atau juga, yang lainnya, masih tinggal bersama orang tua.

  • Kondisi harga pasar yang tinggi. Kenyataanya untuk saat ini, kebanyakan pengembang swasta masih menyediakan pasokan rumah atau apartemen yang berharga di atas Rp1 miliar.

Tingginya harga hunian di Jakarta terpicu oleh harga lahan tanah yang sudah sangat tinggi. Harga unit apartemen tipe studio di Jakarta saat ini sudah setara dengan harga rumah tapak di pinggiran Jabodetabek. Sementara itu, rumah tapak yang tingkat cicilannya sesuai dengan kemampuan keluarga milenial umumnya berada di lokasi pinggiran Jabodetabek. Sedangkan pasar konsumen milenial ini lebih mencari lokasi kawasan di dalam kota atau setidaknya yang di pinggiran Jakarta.

  • Mismatch antara permintaan vs penawaran. Dua kondisi di atas mengindikasikan adanya gap antara permintaan dengan penawaran di sektor properti. Terjadi mismatch demand and supply. Terdapat ketidaksembangan antara permintaan dan kondisi end-user milenial dengan produk properti hunian yang banyak ditawarkan di pasar. Kondisi ini yang perlu dibangun solusi bersama, jika tidak backlog besar perumahan akan semakin membengkak dari tahun ke tahun.

 

  • Pegeseran gaya hidup. Generasi milenial masa kini disebutkan lebih mengedepankan pengeluaran pendapatannya kepada hal yang bersifat konsumtif dan yang memberikan experience baru, seperti pengeluaran untuk gadget, ngopi bersama, atau perjalanan wisata. Namun kurang mau berinvestasi dalam memiliki hunian sendiri.

Pergeseran life style tersebut membuat minat milenial terhadap kepemilikan hunian tidak sekuat generasi sebelumnya, baik generasi X maupun baby boomers. Apalagi mungkin bagi mereka yang orangtuanya sudah cukup mapan secara finansial dan tempat tinggal. Sementara, di kelompok generasi sebelumnya, kepemilikan hunian biasanya menjadi target pertama setelah masuk lapangan pekerjaan, dan sebelum mulai membangun keluarga.

 

Bagaimanapun, kelompok milenial merupakan pangsa pasar yang gemuk. Cepat atau lambat permintaan untuk hunian dari angkatan ini akan mendominasi pasar. Dengan demikian, industrilah yang harus beradaptasi terhadap perubahan pasar dari sisi demand ini. Para pengembang yang kiranya perlu berinovasi dalam pasokan produknya. Demikian juga dari sisi pendanaannya, dari sektor perbankan. Kreativitas baru ditantang untuk dimunculkan saat ini.

Berikut adalah sejumlah peluang yang digarap dan dikerjakan pelaku pasar properti, seperti yang tersirat di permukaan sektor industri belakangan ini.

  • Kreativitas sektor perbankan. Perbankan pastinya sudah menyorot peta pasar dan potensi pada segmen milenial ini. Kebutuhan terhadap uang muka dan cicilan yang lebih rendah ditanggapi. DP diberikan kemudahan, ditambah tenor yang jangka lebih panjang. Untuk manajemen risikonya biasanya bank mensyaratkan nasabah yang sudah punya penghasilan tetap.

Dari informasi media diperoleh, misalnya Bank Mandiri yang saat ini sudah menawarkan produk KPR Milenial dengan suku bunga 6,5 persen fixed selama 5 tahun, dengan tenor sampai 25 tahun. Khusus untuk milenial dengan payroll melalui Bank Mandiri, disebutkan bisa beli rumah tanpa perlu membayar uang muka atau down payment (DP). Proses persetujuan KPR Milenial ini pun terhitung cepat, hanya dalam waktu 20 menit dengan persyaratan KTP dan NPWP.

Sementara itu, Bank BNI juga telah mengeluarkan program “BNI Griya Gue”. Disebutkan ada sejumlah kemudahan untuk menjawab kebutuhan milenial. Misalnya, suku bunga ringan dan tenor hingga 25 tahun, serta fleksibilitas fitur angsuran suka-suka, di mana cicilan akan menjadi lebih ringan di awal kredit dan disesuaikan dengan penghasilan.

Di pihak lain, Bank BTN telah meluncurkan produk “KPR Gaeesss” untuk segmen milenial yang memiliki penghasilan tetap per bulan, baik karyawan swasta, ASN, TNI Polri termasuk pegawai BUMN/BUMD. KPR ini memberikan pilihan tenor kredit yang panjang yaitu 20 tahun untuk KPA, dan 30 tahun untuk KPR. Benefits yang ditawarkan, antara lain, biaya proses KPR yang dimasukkan dalam plafon kredit dan nasabah tidak perlu mengendapkan dananya di rekening, dengan suku bunga kredit 8,25 persen fixed selama 2 tahun. Selain itu, Uang Muka atau DP yang dibutuhkan minimal 1 persen, khususnya untuk debitur KPR rumah pertama.

  • Inovasi pengembang. Pengembang atau developer jelasnya diminta pasar milenial ini untuk lebih inovatif dalam berbagai aspek, mulai dari design, harga, term pembayaran yang bisa cash bertahap, dan yang lainnya.

Developer dewasa ini ditantang untuk dapat menyediakan produk properti yang sesuai dengan daya beli milenial. Hunian juga diharapkan sesuai dengan preferensi design mereka. Mereka biasanya tidak terlalu membutuhkan space hunian yang luas, maunya yang praktis namun memiliki fasilitas yang lengkap. Misalnya, untuk apartemen tidak perlu ruang tamu, dan ruang pantry yang secukupnya saja, karena generasi ini banyak beraktifitas di luar hunian. Kabarnya, unit apartemen tipe studio dengan luas 9 – 18 m2 saat ini yang menjadi favorit dari mayoritas milenial perkotaan ini.

  • Edukasi enduser. Menarik untuk diamati juga, bahwa para pelaku industri properti menangkap bahwa para konsumen enduser milenial ini perlu juga diedukasi. Maksudnya agar milenial tidak hanya konsumtif saja, tetapi juga pada waktu yang sama harus memandang properti sebagai investasi hari depan.

 

Sekali lagi, kelompok milenial merupakan pangsa pasar properti yang gemuk. Di tengah tantangan, masih banyak peluang. Inovasi dan kreatifitas yang beradaptasi terhadap target pasar ini yang perlu diutamakan untuk saat ini.

 

Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting Group

Editor: Asido

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here