(Vibiznews – Economy) – Ekonomi Singapura diperkirakan akan memasuki resesi pada kuartal ketiga 2019 karena dampak dari perang dagang AS-Cina terus mengguncang negara Asia Tenggara tersebut setelah pertumbuhan kuartal kedua dikonfirmasikan jatuh pada minus 3,3 persen.
Angka PDB yang dirilis pada hari Selasa (13/8) merupakan penurunan besar dari pertumbuhan 3,8 persen pada tiga bulan pertama 2019, dan ini disebutkan sebagai pertumbuhan kuartalan terburuk yang tercatat dalam tujuh tahun terakhir, demikian rilis dari South China Morning Post (13/8).
Secara yoy, ekonomi Singapura hanya tumbuh 0,1 persen, turun dari 1,1 persen dalam kuartal pertama, menandai tingkat pertumbuhan ekonomi yang paling lambat sejak krisis keuangan global pada 2008.
Adapun sektor yang berkinerja terburuk adalah manufaktur, yang mengalami kontraksi 3,1 persen, serta perdagangan grosir dan eceran, yang turun 3,2 persen.
“Singapura adalah penanda untuk perlambatan perdagangan global,” kata Asia-Pacific economist di perusahaan asuransi Coface. “Dengan segala yang kita lihat, sangat mungkin bahwa akan ada resesi di kuartal ketiga tahun ini.”
Sementara itu, Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura (MTI) mengatakan penurunan itu “sebagian karena meningkatnya konflik perdagangan AS-Cina dalam beberapa bulan terakhir”. Ekonomi China dilaporkan mengalami pertumbuhan ekonomi terendah pada kuartal kedua juga, sebesar 6,2 persen. Ini parallel dengan kemerosotan ekonomi Singapura.
“(Perang dagang) ini bisa sangat merusak bisnis global dan kepercayaan konsumen, dengan implikasi yang merugikan perdagangan global dan pertumbuhan ekonomi global,” MTI menyatakan.
“Kedua, perlambatan ekonomi Tiongkok yang lebih curam dari perkiraan dapat dipicu oleh tarif tambahan yang diberlakukan oleh AS. Ini pada gilirannya dapat menyebabkan penurunan tajam dalam permintaan impor Tiongkok dan secara negatif memengaruhi pertumbuhan kawasan. ”
Singapura, seperti diketahui, ekonominya sangat tergantung pada perdagangan. Negara peringkat kedua setelah Luksemburg dalam rasio perdagangan terhadap PDB, dan sering dijadikan referensi indikator kinerja negara-negara lain.
Jika pertumbuhan triwulanan Singapura tetap negatif pada kuartal ketiga tahun ini, itu berarti negara kota tersebut telah memasuki resesi secara teknis (technical recession). Skenario ini tampak semakin mungkin terjadi. Singapura kerap digambarkan sebagai “kenari di tambang batu bara” bagi perekonomian Asia dan global. Negara yang sangat bergantung pada perdagangan.
Adapun Sian Fenner dari Oxford Economics dalam sebuah catatan penelitian menuliskan, masih belum adanya kemungkinan perang dagang antara AS dan China mereda, ekspor dan berbagai hal yang berkaitan dengan perdagangan bakal mengalami resesi di kuarta III-2019.
Analis Vibiz Research Center melihat bahwa dengan berkepanjangannya perang dagang AS – China, dan juga bisa melebar antara AS dengan Eropa, menyebabkan ancaman resesi global semakin nyata. Investment bank global seperti Goldman Sachs di antaranya telah memperingatkan ancaman risiko resesi yang bisa datang lebih cepat dalam 12 bulan ke depan. Dan mengingat Singapura adalah negara tetangga yang sangat dekat dengan kita, Indonesia perlu waspada agar tidak terjangkit ancaman resesi.
Walaupun demikian, perbedaan besar antara ekonomi kita dengan Singapura adalah ekonomi Indonesia lebih dimotori kekuatan konsumsi domestik, sementara tetangga kita itu sangat bergantung dengan perdagangan internasional. Ketahanan ekonomi dalam negeri ini yang harus diperkuat. Dan ini merupakan potensi untuk menangkal efek domino resesi dari negeri tetangga. Tetap optimis!
Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting
Editor: Asido