Digitalisasi Bisnis Properti, dari Disrupsi Menjadi Peluang

2804

(Vibiznews – Property) – Era digital sudah tiba. Pada hari ini mungkin agak sulit bagi sebagian kita untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari tanpa keterlibatan teknologi digital. Ada ratusan ribu atau mungkin lebih pengemudi ojek yang sudah menggantungkan hidupnya pada Gojek dan Grab saat ini. Dan jutaan konsumen harian telah menjadi pemakai aktifnya di berbagai kota, bahkan sampai meluas ke Negara-negara tetangga di Asia Tenggara.

Di tempat lain, kelompok warung kelontong tergabung dalam industri pemain digital seperti Tokopedia, Lazada, blibli, dan Kudo. Ada pula para pemilik dan pengusaha warung dan warteg yang menggunakan aplikasi, di antaranya Wahyoo dan Warung Pintar.

Demikian pula, dengan bisnis penjual sayur eceran dan pedagang sayur grosir yang terhubung efisien dengan Kedaisayur. Bahkan petani di pedesaan pun juga bisa meningkatkan penghasilannya dengan memotong mata rantai distribusi, terhubung dengan Tanihub, RegoPantes dan Sayurbox. Juga, kelompok nelayan yang kini terhubung dengan platform seperti Pasarlaut dan Nelayan aruna.

Milenial dan Disrupsi Properti

Teknologi digital telah menjadi koneksi yang sangat efisien antara pembeli dengan penjual, antara pemasok dengan pemakai, antara demand dengan supply. Di satu sisi, merupakan suatu efisiensi proses bisnis. Tetapi di sisi lain, ini menjadi pengganggu atau disrupsi besar terhadap proses bisnis yang mungkin telah mapan berpuluh tahun lamanya.

Bicara sektor industri properti, nampaknya sektor inipun tidak luput dengan disrupsi digital dewasa ini. Dahulu untuk menjual properti para agen properti atau broker harus bersusah payah menyebarkan brosur dan menyelenggarakan berbagai event. Sekarang mereka hanya perlu beriklan di marketplace dan memanfaatkan media sosial.

Sementara itu, keberadaan segmen milenial itu sendiri merupakan disrupsi pada industri properti. Pelemahan penjualan produk-produk properti yang berkepanjangan sejak tahun 2015 banyak diperkirakan karena gaya hidup milenial yang sekarang cenderung menginginkan dunia kerja yang mobile, yang membuat mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Praktisnya juga, milenial lebih senang menyewa kamar atau apartemen ketimbang membelinya.

Munculnya sejumlah platform sewa hunian yang kian menjamur seperti Travelio, Jendela360 dan Spacestock mungkin bisa menjadi indikasi mengenai pergeseran prioritas kepemilikan hunian dari beli ke sewa bagi golongan milenial.

Ini ditambah lagi dengan pergeseran prioritas milenial untuk lebih bertamasya atau traveling yang dipermudah dengan apps semacam Traveloka dan tiket.com. Serta juga gaya hidup ngopi atau kongkow bersama yang difasilitasi menjamurnya aneka coffee shop serta aplikasi semacam Kopi Kenangan, Kopi Kejar yang nampaknya menggeser prioritas milenial dalam membeli hunian.

Sementara itu, saat milenial tertarik untuk membeli aset properti, kelompok konsumen baru ini, kaum milenial yang asli digital dan paham teknologi disinyalir semakin online untuk segala sesuatunya, mulai dari pencarian properti hingga tahap pembeliannya.

Menurut suatu survey yang dikutip Entrepreneur – Middle East (20/08) dari “National Association of Realtors Research Group’s Real Estate in a Digital Age Report” ditemukan bahwa 99% dari milenial mencari di situs web untuk pembelian properti, dengan hanya 56% saja yang mengunjungi open house. Hampir semuanya menemukan rumah mereka melalui perangkat seluler. Foto dan informasi daring tentang properti lebih penting bagi milenial, dan hampir setengahnya melaporkan bahwa tur virtual sangat penting dalam pengambilan keputusan mereka.

Millenial juga disebutkan mencari cara baru dalam berinvestasi di properti. Misalnya, melalui crowd funding, dan mencari cara untuk menghindari interaksi melalui perantara. Selanjutnya, platform fintech baru semakin gencar menawarkan opsi investasi dalam dana, yang memungkinkan investor untuk berinvestasi pribadi dan memiliki beragam portofolio aset real estat.

Membangun Peluang lewat Digital

Dari sini kita bisa melihat bahwa teknologi digital ini harus dimanfaatkan dan diaplikasikan dalam bisnis –termasuk sektor properti. Bila tidak, bisnis ini akan semakin lesu di mata para pengembang lama.

Digitalisasi pasar properti sebenarnya berakar pada evolusi big data dan data analytics yang canggih, yang memungkinkan perusahaan properti mendapatkan wawasan yang belum pernah terjadi sebelumnya tentang perilaku dan aspirasi pelanggan.

Model digital dalam bisnis properti telah mengubah cara tradisional dalam beriklan dan pemasaran juga. Dengan situs web yang lebih mobile-friendly dan inisiatif berbasis internet lainnya, pengembang dapat menawarkan proses pencarian dan pembelian properti yang lebih sederhana dan mudah.

Perusahaan yang telah memilih untuk memanfaatkan data ini dan berinovasi, diyakini adalah mereka yang berhasil membuat kemajuan dalam penjualan propertinya, apapun tantangan pasar yang ada.

Salah satu pengembang di Indonesia yang bertransformasi di era digital dan mungkin dapat diambil sebagai contoh adalah Forest Development, perusahaan properti yang berupaya memaksimalkan jurus digital serta membuat rumah yang disukai kalangan milenial.

Managing Director Forest Development, Steve Suryadinata, belum lama lalu membagikan kisah suksesnya dalam mendongkrak penjualan properti. “Sampai 2017, kita boleh dibilang sempat turun drastis penjualannya. Kami kemudian melakukan branding dan memanfaatkan teknologi digital, hingga 2018 bisa menjual 4 kali lipat,” ujarnya kepada media baru-baru ini (19/08).

Menurutnya, kalangan milenial agak sulit dirayu untuk membeli rumah. Buat mereka membeli rumah tidak penting, selain juga tidak suka menabung. Tapi itu dulu, katanya, sebelum pihaknya memanfaatkan kemajuan teknologi.

Perusahaan disebutkan melakukan transformasi digital. Tidak hanya mengandalkan penjualan offline. Juga melakukan analisis digital untuk memperoleh preferensi konsumen, yang didapatkan menginginkan rumah yang modern tetapi dengan harga terjangkau.

Dengan teknologi digital pengembang ini dapat melakukan kolaborasi dengan tim arsitek dari Inggris dan Australia, ahli konstruksi dari Swedia dan Denmark, dan konsultan teknis dari berbagai negara di dunia, serta melakukan riset untuk mengetahui kebutuhan pasar secara lebih mendalam.

Dengan informasi digital juga bahan bangunan dapat diperoleh di harga yang lebih murah. Sehingga dapat memberikan penawaran produk akhir dengan harga yang bersaing, dengan tipe yang sesuai ekspektasi konsumen milenial.

Ditambahkan, pengembang sebelum memulai tahap penjualan, melakukan riset untuk mengetahui kebutuhan calon pembeli, misalnya dalam mendesign rumah. Faktor kenyamanan seperti tingkat kelembaban, suhu udara dan sebagainya diperhatikan. Dengan teknologi monitoring yang dapat mengukur semua faktor kenyamanan tersebut, unit properti di Forest Hill disebutkan dapat tetap sejuk meski tanpa AC.

 

Kita tidak dapat menghindari era teknologi digital hari ini dan besok yang akan semakin intensif. Teknologi tentunya akan terus berkembang, dan ekspektasi konsumen akan terus berubah sejalan dengan semakin pintarnya juga perangkat teknologi. Tantangan nyata bagi industri properti hari ini adalah seberapa cepat bisnis dapat beradaptasi dan berubah dengan memanfaatkan aplikasi teknologi untuk kepentingan pengalaman konsumen.

Ini merupakan suatu pendekatan customer-centric yang berbasis digital. Anda siap?

Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting

Editor: Asido

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here