Kemiskinan dan Sejumlah Masalah Ekonomi Indonesia Berhasil Ditekan, Seperti Apa?

13778
Photo: Vibizmedia

(Vibiznews – Economy) – Satu prestasi ekonomi Indonesia yang dapat disebut fenomenal adalah tingkat kemiskinan penduduk yang berhasil terus ditekan Pemerintah Indonesia pada level satu digit, yang mencatat rekor posisi terendah baru sepanjang sejarah, yakni pada tingkat 9,22 persen per September 2019, atau setara dengan 24,79 juta orang, menurut rilis BPS belum lama ini.

Sejak tahun 2014 tingkat kemiskinan di Indonesia terus mengalami penurunan. Pada September 2014 tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 10,26% atau jumlah penduduk miskin di Indonesia pada waktu itu mencapai 28,59 juta. Artinya, angka kemiskinan saat ini jika dibanding periode itu turun 1,04 persen poin, atau sebanyak 3,8 juta orang telah keluar dari garis kemiskinan dalam 5 tahun terakhir, atau juga 0,88 juta orang terhitung sejak September 2018.

Bukan hanya penurunan tingkat kemiskinan, tingkat ketimpangan pendapatan pun dilaporkan BPS semakin membaik dalam pemerintahan dewasa ini. Gini ratio membaik di posisi 0,38, lebih kecil dari posisi Maret 2019 dan September 2018 yang masing-masing sebesar 0,382 dan 0,384.

Menurut BPS berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, distribusi pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah adalah sebesar 17,70 persen. Hal ini berarti pengeluaran penduduk pada September 2019 berada pada kategori tingkat “ketimpangan rendah”.

Sumber: BPS, Jan 2020
Sumber: BPS, Jan 2020

Prestasi pemerintah lainnya di bawah Presiden Jokowi yang patut dicatat adalah keberhasilan menekan rendah tingkat inflasi terus stabil di kisaran 3% YoY. Bahkan, data terakhir BPS menyebutkan bahwa tingkat inflasi di sepanjang tahun 2019 adalah 2,72%, merupakan rekor terendah dalam 20 tahun terakhir. Sebagaimana diketahui, di akhir 2014 atau 2 bulan setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden ke-7 RI, inflasi tercatat masih sebesar 8,36% YoY.

Gambar berikut menunjukkan begitu Jokowi memegang kendali pemerintahan, inflasi langsung dapat ditekan ke level 3,35%. Dapat dikatakan dalam dua dekade terakhir, inflasi 2019 ini, pada angka 2,72%, merupakan yang terendah.

Sumber: BPS, Jan 2020

Masalah ekonomi selanjutnya adalah tingkat pengangguran. Sisi ini pun terus mengalami perkembangan kemajuan di Indonesia. Menurut data BPS terkini (November 2019), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami penurunan sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2019. Pada Agustus 2019, TPT turun menjadi 5,28% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 5,34%. Artinya terdapat 5 orang penganggur dari 100 orang angkatan kerja di Indonesia.

Sumber: BPS, Nov. 2019

Memang jika dilihat secara secara jumlah, terjadi kenaikan angka pengangguran sebanyak 50 ribu orang per Agustus 2019 menjadi 7,05 juta orang dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 7 juta orang. Namun karena jumlah angkatan kerja meningkat, yakni dari 131,01 juta orang menjadi 133,56 juta orang, maka jumlah orang yang bekerja pun bertambah dari 124,01 juta menjadi 126,51 juta orang, dan secara rasio tetap terjadi penurunan tingkat pengangguran.

Ada isyu yang kerap dimunculkan bahwa sektor manufaktur yang padat karya semakin lemah pertumbuhannya di negeri kita. Pada kuartal kedua 2019, pertumbuhan manufaktur hanya 3,54 persen, sehingga disinyalir telah menambah jumlah pengangguran.

Isyu pelambatan pertumbuhan industri ini sebenarnya adalah masalah global dewasa ini, bukan hanya di Indonesia. Negara-negara industri seperti Amerika, Zona Eropa, dan China pun mengalami pelambatan ini. Untuk ini, pihak pemerintah tetap berupaya melakukan penerobosan melalui pemetaan penerapan industri 4.0, dengan lima sektor manufaktur yang akan menjadi andalan pada tahap awalnya, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronika, serta kimia.

Kelima sektor tersebut dipilih karena dinilai berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional, di antaranya menyumbang hingga 60% penyerapan tenaga kerja. Serta secara bersamaan telah berkontribusi 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan, dan 65% terhadap ekspor.

Penyakit dan Trade-Off?

Tingkat kemiskinan, ketimpangan, pengangguran dan inflasi dapat dikatakan sebagai empat masalah utama atau “penyakit” dalam ekonomi makro. Masalah-masalah lainnya adalah lambatnya pertumbuhan ekonomi, yang kemudian bila dikaitkan dengan siklus ekonomi memunculkan isyu lain: stagnasi sampai resesi.

Untuk Indonesia, pertumbuhan ekonominya telah diakui dunia sebagai salah satu yang tercepat atau tertinggi. Di antara negara anggota G-20, yang biasa disebut sebagai “the major economies”, Indonesia berada di peringkat kedua tertinggi pertumbuhan ekonominya setelah China. Itu melampaui pertumbuhan di kelompok negara-negara maju (developed countries) seperti Amerika Serikat, Australia, dan Korea Selatan.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi bukan merupakan isyu besar dalam manajemen ekonomi makro Indonesia. Bahkan, seyogyanya dapat disebut sebagai prestasi. Mengapa? Karena di tengah tekanan pelambatan ekonomi global saat ini, ketika berbagai lembaga internasional berprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan terus melambat, Indonesia malah berhasil mempertahankan pertumbuhan tingginya dengan stabil, di atas 5% secara konsisten. Pertumbuhan ekonomi kuartal tiga 2019 (yoy) tercatat sebesar 5,02%. Sementara, secara rata-rata sepanjang 2000-2019 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 5,27%.

GDP Annual Growth Rate Indonesia: 2014 – Q3 2019 (yoy)
Source: Trading Economics

Dalam banyak literatur teori ekonomi, disebutkan untuk memungkinkan terjadinya pemerataan distribusi kue ekonomi atau pengurangan ketimpangan, perlu kebijakan yang mendorong redistribusi pendapatan dengan jalan menurunkan tingkat pertumbuhan. Dengan perkataan lain, kerap disebut adanya “trade-off” antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan. Sepertinya sulit untuk mempertahankan keduanya, salah satunya perlu dikorbankan. Apakah pertumbuhan ekonomi atau pemerataan, tergantung yang mana pilihan kebijakan ekonomi pemerintah saat itu.

Menariknya, dan juga membanggakannya, untuk Indonesia teori trade-off ini nampaknya tidak relevan. Satu per satu masalah ekonomi bisa diatasi pemerintah dengan team teknokrat ekonominya. Ekonomi tetap bertumbuh pada fase kecepatan yang masuk jajajaran atas dunia, di saat yang sama masalah kesenjangan distribusi atau ketimpangan ekonomi serta pengangguran dapat ditekan bersama dengan laju inflasi. Bahkan tingkat kemiskinan sekarang konsisten berada di level terendah sepanjang sejarah NKRI berdiri.

Pencapaian demikian sangat layak mendapat apresiasi karena itu buah dari kerja keras tim teknokrat ekonomi Indonesia. Pimpinan BPS sendiri, Suhariyanto, dalam salah satu penyampaian rilis angka-angka penurunan kemiskinan dan ketimpangan menyebutkan: “Ini ukuran jangka panjang untuk menurunkan dan butuh effort luar biasa. Tapi kita lihat disini progress-nya luar biasa.” (Lihat juga: https://www.vibiznews.com/2019/07/16/tingkat-kemiskinan-dan-ketimpangan-di-indonesia-berlanjut-turun-prestasi-ekonomi/ )

Sementara itu di tempat lain, satu kajian akademis tentang tingkat kesenjangan Indonesia pernah dirilis beberapa waktu lalu dari satu team di Melbourne University. Judulnya cukup menarik perhatian: “Is higher inequality the new normal for Indonesia?” (Indonesiaatmelbourne, 27/11/18). Diuraikan, melihat tren empiris periode 1976-2018, dapat dibuat garis actual and hypothetical gini ratio. Lalu kesimpulannya, nampaknya kita harus bersiap untuk satu realita bahwa tingkat Gini ratio di 0,4 atau lebih besar adalah “new normal” bagi Indonesia.

Dalam hal ini, penulis jelas tidak setuju atas kajian akademis di atas. Fakta data telah menunjukkan bahwa sejak Jokowi menjadi presiden, ketika rasio gini bertengger di posisi 0,414, maka rasio ini terus turun dari periode ke periode, membentuk garis downtrend, dan terakhir di posisi 0,38 itu. Artinya, dalam 5 tahunan terakhir ini telah terdapat tren penurunan yang cukup berarti pada tingkat ketimpangan ekonomi. Untuk jangka menengah ke depan, gini ratio lebih mungkin, menurut penulis, di sekitar level 0,3, bukan 0,4. Ini juga bukan angka yang berlebihan, mengingat di Indonesia pada tahun 1999, misalnya, gini ratio pernah menyentuh level 0,308.

(Lihat juga: https://www.vibiznews.com/2016/04/21/pemerataan-pembangunan-ekonomi-indonesia-membaik-betulkah/)

Upaya yang Sudah dan Akan

Data sejumlah indikator ekonomi di atas sudah berbicara dan menjelaskan sendiri mengenai berkurangnya sejumlah masalah penyakit dalam ekonomi makro Indonesia. Mengapa bisa demikian? Apa saja yang telah dilakukan team ekonomi pemerintah untuk dapat mencatat sejumlah perbaikan indikator ekonomi tersebut?

Sejumlah upaya pemerintah telah dilakukan dan membuahkan hasil. Yang pertama dapat disebutkan adalah manajemen tingkat inflasi yang mampu ditekan rendah secara konsisten, di bawah 3,6% selama lima tahun terakhir, sebagaimana data terlihat di atas. Kestabilan harga yang konsisten rendah ini adalah kinerja yang luar biasa, karena fenomena ini bahkan belum pernah terjadi sejak era kemerdekaan, sampai tahun 2014 itu.

Inflasi yang rendah membuat daya beli masyarakat tidak tergerus. Sebagaimana diketahui, penyakit inflasi ini dapat mengurangi kemampuan beli masyarakat terutama yang berpendapatan tetap. Tetapi, bila harga-harga relatif stabil, bahkan di saat seperti hari raya pun, maka daya beli masyarakat juga akan setidaknya stabil. Kepala BPS pernah menganalisis rendahnya inflasi sebagai penyebab menurunnya tingkat kemiskinan.

Berikutnya, dapat dilihat bahwa akhirnya pembangunan infrastruktur yang masif dari pemerintahan Jokowi berdampak dan berbuah juga. Apalagi dengan pembangunan yang dimulai dari pinggiran, dari pedesaan, yang cepat atau lambat dapat menggerakkan roda perekonomian di pinggiran dan pedesaan, dan itu tentunya mengurangi kesenjangan ekonomi. Data BPS di atas menunjukkan rendahnya ketimpangan pedesaan relatif dibandingkan perkotaan.

Pembangunan infrastruktur sangat padat karya. Kesempatan kerja terbuka langsung di lokasi-lokasi lokal proyek. Sejalan dengan itu, dampak guliran ekonominya akan segera dirasakan juga oleh masyarakat setempat. Ambil contoh saja, dengan dibukanya interchange Tol Kota Pekalongan sebagai bagian dari rangkaian tol Trans Jawa, telah membawa rejeki bagi para pedagang batik di Pasar Grosir Setono. Kabarnya kenaikan omzet pedagang batik ini melonjak hingga tiga kali lipat.

Kemudian, program bantuan sosial pemerintah yang ditujukan langsung ke kelompok masyarakat miskin juga punya dampak dalam menekan ketimpangan dan kemiskinan masyarakat. Di tahun 2020 ini pemerintah berupaya mempercepat pencairan bantuan sosial (bansos) supaya ekonomi dalam negeri bisa tumbuh.

Bansos yang dicairkan berbentuk Program Keluarga Harapan (PKH), Beras Sejahtera, dan Dana Desa. Pemerintah mengalokasikan anggaran bansos mencapai Rp102,9 triliun, atau meningkat 3,3% dari outlook realisasi anggaran bansos pada APBN 2019, Rp99,6 triliun.

Sementara itu, untuk mengurangi tingkat pengangguran, pemerintah berencana untuk membuka 12,8 juta lapangan kerja baru pada periode 2020 – 2024, dan itu diyakini akan mengurangi tingkat pengangguran ke level rendah lagi, 3%—4%.

Salah satu program yang ditonjolkan adalah Kartu Pra-Kerja, sebagai kebijakan yang diberikan kepada pencari kerja atau pekerja untuk mendapatkan layanan pelatihan vokasi. Anggaran Rp10 triliun dalam APBN 2020 telah disiapkan untuk menyelenggarakan pelatihan digital dan reguler bagi masyarakat dan terutama angkatan kerja.

Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa anak muda yang ingin mendapatkan insentif dari pemerintah berupa Kartu Pra-Kerja dapat memilih jenis kursus yang diinginkan. Antara lain coding, data analytics, desain grafis, akuntansi, bahasa asing, barista, agrobisnis, hingga operator alat berat.

Bagaimana strategi selanjutnya?

Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk tahun 2020-2024, menargetkan gini rasio untuk turun lagi ke kisaran 0,36.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah disebutkan telah menyiapkan beberapa strategi, di antaranya dengan memanfaatkan perkembangan ekonomi digital dan revolusi industri ke-4. Direncanakan adanya peningkatan inklusivitas dari digital economy, yaitu dengan cara peningkatan kapasitas dan keterampilan tenaga kerja.

Kita tahu, teknologi terus bertumbuh dan mendorong terbentuknya ekonomi digital yang di antaranya nyata dengan perkembangan marak e-commerce. Kemudahan untuk memulai usaha semakin terbuka, melalui ribuan startup yang saat ini berkembang di tanah air. Ini akan dapat menyerap banyak tenaga kerja dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi, dan dampaknya bisa menekan lagi ke bawah angka gini ratio. Infonya kontribusi ekonomi digital terhadap PDB pada tahun 2018 mencapai Rp 814 triliun, sedangkan pada tahun 2025 diproyeksikan akan meningkat hingga Rp. 3.350 triliun.

https://www.blj.co.id/2020/01/16/patrick-waluyo-co-founder-northstar-group-market-startup-indonesia-paling-bagus-se-asia-tenggara/

https://www.blj.co.id/2020/01/18/joji-thomas-philip-founder-and-eic-dealstreet-asia-the-potential-in-indonesia-is-massive/

https://www.vibiznews.com/2020/01/08/listing-perdana-saham-tourindo-guide-indonesia-pgjo-di-bei-startup-rintisan-anggota-idx-incubator/

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

Melihat keberhasilan nyata hasil pembangunan ekonomi yang berkeadilan di bawah pemerintahan pimpinan Presiden Jokowi, agaknya kita layak optimis dengan prospek ekonomi Indonesia ke depannya.

Tantangan tentu saja ada. Misalnya, meningkatnya risiko pelambatan ekonomi global yang dapat memunculkan instabilitas baru di pasar komoditas, uang maupun modal. Indonesia dengan perekonomian terbukanya wajar akan dapat terkena dampaknya.

Hal lain, yang menjadi perhatian tim penulis, adalah ruwetnya dan lamanya perizinan usaha di Indonesia yang bisa merupakan ancaman besar dalam peningkatan kemajuan ekonomi, serta menghambat penambahan lapangan kerja dan pembangunan industri ke depannya.

Untuk hal tersebut, memang pemerintah telah bertekad untuk terus mempercepat masuknya investasi langsung ke Indonesia, dengan menargetkan diberlakukannya “omnibus law” yang di antaranya akan memangkas 72 regulasi usaha dalam waktu dekat ini.

Sedangkan untuk masalah kemiskinan ini, tim penulis memandang pemerintah perlu untuk lebih fokus mengingat kemiskinan dapat menimbulkan ketidakstabilan. Ketidakstabilan akibat kemiskinan akan menciptakan konflik sosial, lemahnya penegakan hukum dan keamanan. Fokus pemerintah dalam mengatasi kemiskinan ini diperlukan guna menopang kestabilan, terutama ketika terjadi goncangan ekonomi dan politik.

Bagaimanapun, sekali lagi, kita tetap layak untuk optimis. Kalau di periode hampir 5 tahun terakhir antara pertumbuhan ekonomi yang solid dengan pemerataan dapat berjalan seiring, tentu akan demikian juga prospek ke depannya. Karenanya, prediksi banyak lembaga internasional global yang meramalkan ekonomi Indonesia akan bercokol di jajaran atas dunia pada dekade antara 2030 – 2050 layak dipercaya. Dan itu berbasis kepada keberhasilan ekonomi Indonesia dewasa ini.

 

Bernhard Sumbayak, Founder and Advisor Vibiz Consulting

Alfred Pakasi, MP Vibiz Consulting

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here