Penurunan Tingkat Kemiskinan di Masa Pandemi; Apa Tantangan Berikutnya?

Sejalan dengan berjalannya pemulihan ekonomi Indonesia yang berpengaruh kepada masyakarakat ekonomi bawah, penduduk miskin pun berkurang. September 2021 dan Maret 2022 tren pengurangan penduduk miskin semakin signifikan.

1268
Kemiskinan
Vibizmedia Photo - Photo by Bernhard Sumbayak, suasana pasar malam rakyat di Cipanas

(Vibiznews – Economy) – Belum lama ini, rilis data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan terdapatnya penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia khususnya di masa pandemi ini.

Hal tersebut merupakan perbaikan indikator ekonomi Indonesia, karena pandemi yang memasuki tahun ketiga ini sebelumnya telah memberikan tekanan pada tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di berbagai negara termasuk Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2022 sebanyak 26,16 juta orang atau turun 1,38 juta orang dari data Maret 2021 yang sebanyak 27,54 juta orang.

Kemiskinan
Sumber: BPS, Juli 2022

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep ini mengacu pada Handbook on Poverty and Inequality yang diterbitkan oleh Worldbank. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Baca juga :Kemiskinan dan Sejumlah Masalah Ekonomi Indonesia Berhasil Ditekan, Seperti Apa?

Tabel di atas menunjukkan bahwa segera setelah pandemi Covid-19 di Indonesia, jumlah penduduk miskin bertambah. Puncaknya pada data September 2020, dengan jumlah orang miskin mencapai 27,55 juta orang, atau bertambah 2,77 juta orang dibandingkan posisi sebelum pandemi pada September 2019.

Sejalan dengan berjalannya pemulihan ekonomi Indonesia yang berpengaruh kepada masyakarakat ekonomi bawah, penduduk miskin pun berkurang. Pada data Maret 2021 penurunannya mulai terlihat walau masih terbatas. Namun di September 2021 dan Maret 2022 tren pengurangan penduduk miskin semakin signifikan. Tren ini diharapkan berlanjut pada periode-periode selanjutnya.

Indonesia: Annual Growth Rate Q2 2019 – Q1 2022

Source: Trading Economics

 

Ketimpangan Rendah

Bagaimana dengan perkembangan tingkat ketimpangan pendapatan? Sebagaimana dilaporkan BPS, dengan adanya pandemi secara umum berdampak kepada peningkatan ketimpangan pendapatan, terutama bagi mereka yang tinggal di perkotaan seperti yang terlihat dari perkembangan Gini Ratio berikut ini.

Kemiskinan
Sumber: BPS, Juli 2022

Secara nasional, kenaikan ketimpangan pendapatan sebagai akibat dari pandemi di Indonesia dapat dikatakan cukup terbatas. Hal tersebut terlihat dari perkembangan Gini Ratio, dari 0,381 pada saat sebelum pandemi (September 2019) menjadi 0,384 pada Maret 2022. Berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, distribusi pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah sebesar 18,06 persen. Hal ini berarti pengeluaran penduduk pada Maret 2022 berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah.

Bila dilihat lebih detail, maka ketimpangan di pedesaan tidak terpengaruh dengan adanya pandemi, malah membaik dari sisi datanya. Sebelum pandemi Gini Ratio pedesaan adalah 0,315, dan setelah pandemi menjadi 0,314. Sedikit lebih baik. Namun di perkotaan ketimpangan pendapatan bertambah, dari 0,391 di September 2019 menjadi 0,403 pada Maret 2022 setelah pandemi. Secara umum dapat dikatakan bahwa kenaikan ketimpangan pendapatan di era pandemi ini cukup terbatas, walau memang belum sepenuhnya kembali pada posisi pra pandemi.

Pemerintah sendiri dalam Nota Keuangan 2022 menyasar pencapaian tingkat kemiskinan sebesar 8,5-9,0% untuk tahun 2022, sementara tingkat ketimpangan (Gini Ratio) ditargetkan sebesar 0,376-0,378, posisi yang lebih baik dari masa sebelum pandemi.

 

Tingkat Pengangguran Membaik

Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia juga sedang menunjukkan perbaikan walaupun masih belum kembali pada level pra pandemi.

Kemiskinan
Sumber: BPS, Mei 2022

Data BPS di atas menunjukkan bahwa ada sekitar 7,5 juta penduduk usia kerja yang terdampak dengan Covid-19. Namun demikian, telah terlihat perbaikan dengan adanya penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dari 6,26% di Februari 2021 menjadi 5,83% pada Februari 2022.

 

Upaya Pemerintah – Bantalan Ekonomi

Selama masa pandemi, Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menyalurkan program perlindungan sosial sebagai bantalan ekonomi masyarakat. Dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terus ditambah hingga menjadi Rp744,7 triliun untuk anggaran tahun 2022. Selain tetap melanjutkan Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, dana desa, dan kartu prakerja pemerintah memberikan tambahan program berupa bansos tunai, diskon listrik, bantuan beras Bulog, kartu sembako PPKM, subsidi kuota internet, perluasan kartu prakerja, dan bantuan subsidi upah.

Persentase penyaluran bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) Tahap I Maret 2022 sebesar 97,2% meningkat dibandingkan September 2021 yang sebesar 96,8%. Persentase penyaluran bantuan sosial Sembako Januari-Maret 2022 sebesar 98% meningkat dibandingkan Juli-September 2021 yang sebesar 89%. (Sumber: Kemenko PMK, 1 Mei 2022).

Adapun Realisasi Anggaran Perlindungan Sosial hingga Maret 2022 telah mencapai 81 Triliun, di mana Rp77,9 Triliun melalui belanja pemerintah pusat, sementara 3,1 triliun melalui transfer ke daerah melalui BLT-Dana Desa. (Sumber: Kemenkeu, Maret 2022).

Upaya-upaya tersebut telah berhasil menahan tekanan bertambahnya tingkat kemiskinan maupun tingkat ketimpangan. Sejalan dengan pemulihan ekonomi Indonesia maka mobilitas dan roda perekonomian masyarakat bawah dapat bergerak lagi sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan.

World Bank dalam rilisnya (Indonesia Economic Prospects: Financial Deepening for Stronger Growth and Sustainable Recovery, June 2022) menyebutkan bahwa peningkatan permintaan domestik sejak akhir tahun 2021 telah menolong pemulihan sektor swasta, terutama UMKM yang sangat menderita di masa pandemi. Berbagai survei antara bulan Juni 2020 dan Agustus 2021 menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan kembali beroperasi lagi sejak ditutup selama tahap awal pandemi pada bulan Juni 2020, tetapi pada bulan Agustus 2021 masih banyak yang beroperasi di bawah kapasitas.

Selama periode tersebut, UMKM kerap mengalami penurunan penjualan. Sebagian besar mengimbanginya dengan menurunkan jam kerja atau upah karyawan, dibandingkan dengan pemutusan hubungan kerja. Perusahaan yang berorientasi ekspor bernasib jauh lebih baik daripada perusahaan berorientasi dalam negeri. Pariwisata dan sektor jasa dengan kontak erat sangat menderita, sementara perusahaan yang mampu mengadopsi teknologi digital juga lebih tangguh, demikian menurut publikasi World Bank tersebut.

 

Tantangan di Depan

Dari sisi global, di tengah terkendalinya pandemi Covid-19, tantangan dan risiko global bergeser ke arah peningkatan harga komoditas, memanasnya tensi geopolitik, serta percepatan pengetatan moneter AS. Selain itu, disrupsi suplai yang tak berkesudahan, serta meningkatnya inflasi dan keterbatasan likuiditas global semakin menambah downside risk terhadap prospek perekonomian global.

Meski proyeksi pertumbuhan global sedang terkoreksi signifikan, outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup kuat. World Bank memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2022 dan 2023 masing-masing sebesar 5,1% dan 5,3%. Sementara itu, IMF memprediksi Indonesia akan tumbuh 5,4% dan 6,0% di periode yang sama.

PMI Manufaktur Indonesia pada bulan Mei dirilis melanjutkan ekspansi meski melambat dibandingkan bulan sebelumnya. Namun demikian, konsumsi masyarakat semakin kuat dan mendukung pemulihan ekonomi. APBN 2022 hingga akhir Mei mencatatkan peningkatan surplus akibat kinerja pendapatan yang baik.

Kementerian Keuangan menilai pemulihan ekonomi domestik masih akan dibayangi tantangan dan risiko global, sehingga peran APBN sebagai shock absorber sangat diperlukan, dengan tetap memperhatikan kesehatan APBN agar tetap sustainabel dan kredibel, demikian rilis dari Kemenkeu (23/6/2022).

Salah satu indikator ekonomi penting yang memiliki dampak besar pada tingkat kemiskinan masyarakat adalah inflasi.

Sumber: BPS, Juli 2022

Tekanan inflasi global terlihat bergerak mempengaruhi inflasi domestik. Tingkat inflasi Indonesia tercatat menanjak pada Juni 2022. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, inflasi secara tahunan mencapai level tertinggi sejak Juni 2017, atau tertinggi dalam 5 tahun terakhir, di 4,35% (yoy).

Sementara itu, IKRT (Indeks Konsumsi Rumah Tangga) yang mengukur perkembangan harga barang dan jasa yang dibayar konsumen di pedesaan, juga menunjukkan peningkatan menjadi 5,21% pada bulan Juni 2022.

Bila melihat lebih jauh, data BPS menunjukkan bahwa kenaikan komoditas yang terkait dengan rumah tangga masyarakat telah menjadi penyumbang utama atas kenaikan inflasi belakangan ini.

Sumber: BPS, Juli 2022

Penyumbang inflasi, baik di kota maupun di desa, terutama berasal dari kenaikan harga minyak goreng. Bila tahun 2021 harga minyak goreng kemasan berada di sekitar Rp14.000 per liter, lalu naik menjadi sekitar Rp25.000 per liternya pada Maret – April 2022, tergantung juga mereknya. Namun pada Juli 2022, terpantau sudah ada penurunan harga minyak goreng kemasan menjadi sekitar Rp17.000 per liter. Ini mendekati harga curah yang di Rp14.000 per liternya.

Selain itu, masih ada sejumlah komoditas kebutuhan pokok yang juga telah mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan sepanjang tahun 2022 ini, misalnya cabai merah besar, bawang merah, telur ayam, dan cabai rawit merah.

Bagaimana pun, kenaikan harga-harga tersebut dengan sendirinya berdampak langsung pada bertambahnya beban pengeluaran masyarakat. Ini menjadi tantangan yang dapat mengganggu tren penurunan tingkat kemiskinan pada era pandemi di Indonesia.

 

Penutup

Penulis berpandangan bahwa momentum pemulihan ekonomi Indonesia harus dijaga, dipertahankan, dan dikuatkan. Jika tidak, kemajuan belakangan ini dengan penurunan tingkat kemiskinan serta perbaikan pada tingkat ketimpangan akan tertahan dan berisiko memburuk kembali. Di tengah adanya risiko stagflasi ekonomi global, yakni pertumbuhan ekonomi yang tertahan dengan tingkat inflasi yang tinggi, dan bahkan mengarah kepada kembalinya resesi dunia, pemulihan ekonomi diharapkan tetap berlangsung.

Untuk itu, mobilitas masyarakat harus tetap dibuka agar ekonomi, permintaan dan penawaran pada kelompok masyarakat bawah tetap bergerak. UMKM tetap perlu menjadi fokus perhatian pemerintah agar roda ekonomi masyarakat tetap bergerak dinamis dan maju.

Dengan kita menyadari bahwa jumlah pelaku usaha UMKM mencapai lebih dari 90% jumlah pelaku usaha di Indonesia. Sedangkan daya serap tenaga kerja UMKM sebanyak 117 juta pekerja atau sekitar 97% dari daya serap tenaga kerja dunia usaha. Pemerintah perlu terus menjaga daya tahan dan daya juang UMKM.

Di pihak lain, kita sadari juga bahwa masalah inflasi sangat sensitif dengan kemiskinan. Bila inflasi pada sektor kebutuhan pokok mengakibatkan harga-harga sulit terjangkau khususnya bagi masyarakat golongan miskin, maka pemerintah perlu melakukan subsidi atau bahkan operasi pasar untuk mencukupi kebutuhan pokok ini. Bila kebutuhan pokok tidak lagi terjangkau maka sangat mungkin untuk terjadi kerusuhan massa, penjarahan dan konflik sosial seperti yang terjadi di beberapa negara belakangan ini.

Pemulihan ekonomi Indonesia belakangan ini telah didominasi oleh konsumsi rumah tangga, dan itu digerakkan oleh faktor mobilitas masyarakat yang semakin baik. Itu sebabnya, dinamika mobilitas masyarakat serta pengendalian inflasi pantas menjadi agenda utama dalam menekan lebih jauh tingkat kemiskinan dan tingkat ketimpangan ekonomi kita.

 

Bernhard Sumbayak, Founder and Chairman Vibiz Group

Alfred Pakasi, MP Vibiz Consulting