(Vibiznews – Economy) – Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini merilis suatu kabar baik untuk ekonomi Indonesia, bahwa ekonomi Indonesia tumbuh tinggi pada triwulan II 2022, mencapai 5,44% (yoy), jauh di atas capaian triwulan sebelumnya 5,01% (yoy). Pertumbuhan ekonomi yang mengesankan ini terjadi di tengah risiko pelemahan ekonomi global dan tekanan inflasi yang meningkat, serta melampaui sejumlah estimasi, seperti polling Reuters yang memasang angka 5,13% (yoy).
BPS juga menyorot kinerja ekonomi ini bahwa secara y-on-y laju pertumbuhan triwulan 2-2022 sudah lebih tinggi daripada sebelum pandemi. Hal ini menandakan pemulihan ekonomi yang berlangsung sejak triwulan 2-2021 terus berlanjut dan semakin menguat.
Faktor Pendukung Pertumbuhan
BPS menyebutkan bahwa sepanjang triwulan 2-2022 kinerja perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh faktor domestik dan global:
• Secara global, gangguan rantai pasok dunia berdampak pada kenaikan harga komoditas unggulan Indonesia dan memberikan windfall terhadap kinerja ekspor.
• Secara domestik, pelonggaran mobilitas penduduk dan momen hari raya Idulfitri mendorong ekspansi konsumsi masyarakat sekaligus menjadi stimulus peningkatan suplai.
Lebih jauhnya lagi, dari sisi pengeluaran maka sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan kedua ini adalah industri pengolahan, disusul dengan transportasi pergudangan, dan perdagangan. Ini juga merupakan indikasi pemulihan yang baik karena dengan salah satu motor utama pertumbuhannya industri pengolahan, yang kita ketahui memiliki dampak turunan dan dorongan kepada sektor-sektor ekonomi lainnya.
Selain itu, dari sisi produksi, data BPS menunjukkan Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 21,27%. Sementara dari sisi pengeluaran, Komponen Ekspor Barang dan Jasa mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 19,74 persen.
Dengan demikian, terlihat bahwa akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia telah ditopang oleh permintaan domestik yang terus meningkat, terutama konsumsi rumah tangga, dan kinerja ekspor yang tinggi sebagai dampak windfall kenaikan harga komoditas global.
Peningkatan konsumsi rumah tangga ini yang tumbuh 5,5% (yoy) pada triwulan II bergerak sejalan dengan lebih longgarnya mobilitas masyarakat, termasuk di masa hari raya yang lalu. Ini menunjukkan tingkat permintaan domestik semakin solid dalam pemulihan ekonomi Indonesia.
Ke depannya, Menteri Keuangan (Menkeu) mengatakan pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat di Indonesia harus terus dijaga, terutama faktor-faktor pendukung dari sisi domestik, seperti konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah (Kemenkeu, 8/8).
Selain itu, team penulis memandang windfall kenaikan harga komoditas global tetap perlu dicermati dan diantisipasi karena nantinya bisa saja ada perubahan arah atau berakhir. Kita mengetahui bahwa harga komoditas ini pergerakannya dinamis dan perubahannya bisa demikian cepat. Dengan demikian faktor windfall sebaiknya bukan merupakan komponen utama untuk prospek pendapatan Indonesia jangka panjangnya.
Hal lain adalah tantangan inflasi global yang sedang melanda dunia di tengah kenaikan harga komoditas. Ini juga sudah memberi tekanan pada inflasi konsumen (IHK) dalam negeri, sehingga perlu dikendalikan. Untuk itu, team penulis mendukung untuk Bank Indonesia lebih mengetatkan kebijakan moneternya secara bertahap dalam waktu ke depan ini.
Rating yang Stabil
Kestabilan arah pemulihan ekonomi Indonesia di tengah gejolak dunia sudah dilihat dan diakui beberapa rating agency (lembaga pemeringkat) global. Setidaknya tiga pemeringkat internasional sepakat mempertahankan posisi Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada level investment grade dengan outlook stabil.
Belum lama ini, Japan Credit Rating Agency, Ltd. (JCR) mempertahankan peringkat RI tersebut, dengan pertimbangan, antara lain:
• Prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat seiring permintaan domestik yang membaik; JCR memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia melampaui 5% pada 2022, terutama didukung konsumsi swasta, investasi dan peningkatan ekspor. Hal ini didorong oleh kenaikan harga komoditas.
• Utang pemerintah yang terkendali. JCR memperkirakan utang pemerintah akan menurun secara gradual seiring perbaikan postur fiskal. Hal ini didukung peningkatan penerimaan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik dan harga komoditas yang meningkat.
• Daya tahan eksternal yang didukung oleh akumulasi cadangan devisa yang setara dengan 6,6 bulan impor.
Sebelumnya juga, Fitch Rating mempertahankan peringkat Sovereign Credit Rating RI tetap BBB+ (investment grade) dengan pertimbangan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah yang baik serta rasio utang Pemerintah terhadap PDB yang rendah.
Demikian pula, Standard & Poor’s (S&P) memberikan pernyataan yang kurang lebih sama atas peringkat Indonesia. Hal ini dapat disebut sebagai kekuatan ekonomi Indonesia. Menteri Keuangan sendiri menyatakan belum lama ini kepada media (16/8), hanya 30 negara yang mendapatkan rating upgrade, termasuk Indonesia. Sementara ada 161 negara yang rating-nya downgraded karena kondisi fiskal yang memburuk dan outlook yang negatif.
Lihat juga: https://www.vibiznews.com/2022/08/02/peringkat-ri-tetap-bbb-dengan-outlook-stabil/
Rasio Utang Luar Negeri
Para pemeringkat kelas dunia ini, di antaranya, menyoroti rasio utang Pemerintah terhadap PDB yang dinilai sebagai masih rendah, serta berpotensi akan menurun secara gradual. Ini mengesankan bahwa utang luar negeri Indonesia sebenarnya berada dalam posisi aman.
Belakangan ini sempat diramaikan bagaimana utang luar negeri RI terus meningkat dan mencapai angka tinggi. Bagaimana sebenarnya kita melihat tentang posisi dan kesehatan utang luar negeri Indonesia?
External Debt Indonesia: Q2 2019 – Q1 2022
Utang luar negeri Indonesia mengalami peningkatan sebagian besar terjadi sejak tahun 2020 karena adanya pandemi Covid-19 yang menimbulkan krisis kesehatan, krisis sosial serta krisis kemanusiaan. Penarikan utang terutama dialokasikan untuk mendukung belanja prioritas Pemerintah dan terus mendorong akselerasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Namun demikian, kalau melihat tren yang ada, utang luar negeri ini telah cenderung menurun dalam tiga kuartal terakhir.
Data Bank Indonesia terakhir (Agustus 2022) juga menyebutkan bahwa Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Juni 2022 menurun. Posisi ULN Indonesia pada triwulan II 2022 tercatat sebesar 403,0 miliar dolar AS, turun dibandingkan dengan posisi ULN pada triwulan sebelumnya sebesar 412,6 miliar dolar AS.
Perkembangan tersebut disebabkan oleh penurunan posisi ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) maupun sektor swasta. Secara tahunan, ULN triwulan II 2022 terkontraksi 8,6% (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada triwulan sebelumnya yang sebesar 3,4% (yoy).
Bank Indonesia juga menyebutkan bahwa ULN Indonesia pada bulan Juni 2022 tetap terkendali, tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap terjaga pada triwulan II di kisaran 31,8%, menurun dibandingkan dengan rasio pada triwulan sebelumnya sebesar 33,8%.
Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap sehat, ditunjukkan oleh ULN Indonesia yang tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang, dengan pangsa mencapai 86,7% dari total ULN.
Lihat juga: https://www.vibiznews.com/2022/08/15/utang-luar-negeri-indonesia-triwulan-ii-2022-menurun/
Kita ketahui bersama, bahwa sejak pandemi banyak negara di dunia harus menaikkan portfolio utang luar negerinya. Setidaknya dewasa ini ada sekitar 25 negara yang memiliki rasio utang luar negeri terhadap PDB yang di atas 90%. Sementara itu, di kalangan negara-negara G20, Indonesia termasuk kelompok terendah dalam rasio utangnya terhadap PDB.
Demikian pula, bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di ASEAN, misalnya. Menteri Keuangan dalam pertemuan G20 di Bali belum lama ini menyebut angka rasio utang terhadap PDB negara-negara seperti Malaysia yang sebesar 69,25%, Thailand 62,68%, serta Filipina sebesar 60,04%.
Dengan demikian, rasio utang luar negeri terakhir yang sekitar 31,8% (triwulan II 2022) dapat dikatakan relatif rendah dibandingkan banyak negara di dunia dewasa ini. Serta ini juga jauh di bawah ketentuan UU Nomor 17/2003 yang mengatur batasan maksimal rasio utang pemerintah adalah 60%.
Penutup
Data pertumbuhan ekonomi triwulan kedua tahun 2022 menunjukkan Indonesia semakin kuat dalam jalur pemulihan ekonominya, sekaligus menjauhi ancaman resesi yang sedang menekan banyak negara di dunia belakangan ini.
Rasio utang luar negeri Indonesia yang terjaga serta cadangan devisa kita yang memadai merupakan ketahanan eksternal yang dapat menahan gejolak dari luar negeri, terutama dalam hal kenaikan inflasi global dan menurunnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia.
Ke depannya team penulis cukup optimis untuk melihat berlanjutnya laju pemulihan ekonomi Indonesia. Hal ini terutama dengan pertimbangan -dan harapan- berikut ini:
- Konsumsi masyarakat harus dipertahankan sebagai motor pertumbuhan ekonomi. Di saat tekanan eksternal meningkat, maka ketahan ekonomi domestik dari konsumsi ini yang harus dipertahankan dan dikuatkan. Sudah terlihat bahwa mobilitas masyarakat menjadi pemicu kuatnya tingkat konsumsi. Oleh sebab itu, Pemerintah perlu berhati-hati untuk tidak mudah mengubah aturan mobilitas masyarakat ini.
- Masalah pasokan global nampaknya akan berlanjut di dunia, serta juga keterbatasan energi dan komoditas. Dengan demikian harga komoditas di level atas masih akan terus bercokol untuk periode ini, yang berpeluang memberikan kinerja positif bagi ekspor komoditas utama Indonesia. Walaupun untuk harga komoditas ini tetap perlu diantisipasi pergeseran trennya.
- Utang luar negeri yang telah dikelola selama ini untuk alokasi sektor produktif, seperti pembangunan infrastruktur, serta dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), sudah dapat ditinjau lagi untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap asing. Kita bisa belajar banyak dari sejumlah negara hari ini yang ekonominya terpuruk karena ketergantungan utang pada negara asing.
Team penulis melihat bahwa untuk tahun 2022 ini bisa diproyeksikan angka cukup optimis untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia di rentang 5,2% – 5,5%. Ini akan menjadi angka yang cukup menyolok nantinya, ketika sebagian besar ekonomi dunia justru sedang mengalami pelambatan bahkan kontraksi.
Bernhard Sumbayak, Founder and Chairman Vibiz Group
Alfred Pakasi, MP Vibiz Consulting