(Vibiznews – Property) – Melewati masa pandemi yang sudah hampir tiga tahun ini, ekonomi Indonesia telah berhasil menunjukkan fase pemulihannya. Banyak pihak menyebutkan sebagai salah satu pemulihan ekonomi yang terbaik di dunia. Bersama itu, industri properti di Indonesia sepertinya sudah semakin mengarah ke kondisi normal, seiring dengan pulihnya perekonomian pasca pandemi Covid-19. Dengan mobilitas masyarakat yang sudah kembali normal, maka tren pembelian properti kembali dilirik oleh para konsumen akhir serta investor.
Namun demikian, di tengah harapan atas pemulihan, hari-hari ini kita diperingatkan dengan isyu akan datangnya resesi global. Banyak negara maju diprediksi kembali tertekan kontraksi ekonomi dan sejumlah negara berkembang mengalami kesulitan tajam dalam perekonomiannya. Sementara itu, di tengah isyu global ini, banyak yang menilai bahwa Indonesia tidak akan sampai terseret kepada resesi. Artinya, bagi industri properti yang punya hubungan langsung, prospek properti di Indonesia, di tahun 2023, tetap cerah.
Properti di Masa Pandemi
Pada waktu tekanan ekonomi global terjadi di masa pandemi, Indonesia sempat mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi selama empat triwulan, dari triwulan II-2020 sampai dengan triwulan I-2021. Setelah itu, ekonomi Indonesia masuk fase pemulihan dengan ekspansi pertumbuhan yang mencapai level sebelum pandemi.
Pertumbuhan Tahunan Ekonomi Indonesia: Q3 2019 – Q2 2022
Pada periode pelambatan pertumbuhan, hal tersebut berdampak negatif ke berbagai sektor ekonomi di Indonesia, termasuk sektor properti. Sebagian besar harga properti seperti rumah dan apartemen, perkantoran hingga kawasan industri mengalami penurunan yang cukup tajam. Hal ini disebabkan penurunan permintaan terhadap properti seiring dengan meningkatnya kehati–hatian masyarakat dan pelaku dunia usaha dalam melakukan pengeluaran di tengah pandemi.
Di satu sisi, penurunan harga properti menguntungkan bagi sebagian masyarakat yang tetap membutuhkan properti sebagai kebutuhan primer. Terlebih dengan sejumlah program relaksasi dari pemerintah dan perbankan, seperti penawaran penurunan suku bunga dan kemudahan transaksi, cukup banyak menarik minat masyarakat untuk bertransaksi properti.
Di tengah tekanan kontraksi ekonomi, properti tetap juga menjadi pilihan investasi ditopang dengan adanya promosi serta relaksasi kebijakan dari pemerintah untuk pemulihan ekonomi. Didukung dengan relaksasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan kebijakan uang muka 0% dari perbankan, ditambah sejumlah promo dan insentif dari pengembang itu telah mengangkat permintaan properti khususnya hunian dari masyarakat.
Di samping itu, permintaan properti perumahan semakin terangkat dengan tren work from home (WFH) yang kian meningkat oleh pembatasan sosial pada sektor perkantoran. Minat masyarakat semakin terpacu untuk memiliki hunian atau rumah yang bukan hanya nyaman untuk beristirahat, tapi juga nyaman untuk melakukan berbagai aktivitas bekerja dari rumah.
Data yang ada sempat menunjukkan adanya tren peningkatan permintaan pasar landed house atau rumah tapak di periode pandemi belakangan ini. Rumah tapak dengan dua hingga tiga kamar tidur disebut merupakan tipe yang paling diminati masyarakat.
Sementara itu, sejumlah pengembang juga terus berupaya melakukan inovasi, termasuk dalam meluncurkan produk baru dilengkapi dengan berbagai strategi marketing, misalnya menerapkan teknologi berbasis online seperti virtual tour 360, yang ternyata disambut baik oleh konsumen properti.
Pemulihan Sedang Berlangsung
Untuk tahun 2022 sudah terlihat tren pemulihan properti di Indonesia. Dengan semakin berkurangnya pembatasan mobilitas masyarakat (PPKM) serta banyak bisnis kembali beroperasi normal di perkantoran sebagai tanda pemulihan ekonomi, pasar perumahan menunjukkan geliat yang positif. Beberapa data menunjukkan dari terdapatnya kenaikan tingkat nilai penjualan rumah di kawasan Jabodetabek sekitar 30% di semester I-2022 secara tahunannya. Dengan pasar teraktif berada di kawasan Tangerang.
Sementara itu, hasil survey perumahan Bank Indonesia terakhir (SHPR triwulan II-2022), yang dilakukan pada 16 kota besar di Indonesia, menunjukkan terdapatnya kenaikan harga dan penjualan residensial atau properti perumahan sampai sekitar 30%.
Sumber: BI, SHPR Tw II-2022
Bank Indonesia menyebutkan bahwa penjualan properti residensial primer Triwulan II-2022 secara tahunan terpantau tumbuh meningkat. Hal ini terindikasi dari penjualan properti residensial yang tumbuh positif sebesar 15,23% (yoy) pada Triwulan II-2022, setelah terkontraksi pada triwulan sebelumnya sebesar -10,11% (yoy). Perbaikan perkembangan penjualan pada Triwulan II2022 didorong oleh membaiknya seluruh penjualan tipe rumah, terutama tipe besar yang tumbuh sebesar 29,86% (yoy). Selain itu, peningkatan penjualan tipe rumah kecil dan menengah masing-masing tercatat sebesar 14,44% (yoy) dan 12,25% (yoy) dari yang triwulan sebelumnya terkontraksi sebesar -8,27% (yoy) dan -18,28% (yoy).
Tren kenaikan permintaan dan penjualan properti ini, terutama untuk segmen perumahan, nampaknya akan berlanjut terus, sampai juga kepada tahun depan 2023. Hal tersebut sejalan dengan pemulihan ekonomi Indonesia dan tingginya kebutuhan dasar masyarakat atas hunian.
Prospek 2023 dan Tantangan Inflasi
Industri properti di Indonesia tidak jatuh secara dalam di tengah tekanan ekonomi, seperti yang telah terlihat pada masa pandemi. Saat ini ancamannya adalah kemungkinan munculnya resesi global di tahun 2023. Namun demikian banyak pihak tetap optimis bahwa Indonesia tidak akan kena resesi. Pertumbuhan ekonomi tetap cenderung stabil di sekitar angka 5% per tahunnya.
Prakiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 menurut IMF (pada Oktober 2022) adalah 5%, World Bank memprakirakan (pada akhir September) stabil di 5,1%, serta ADB memasang angka (September) sebesar 5%. Pemerintah RI dalam APBN 2023 (pada Agustus 2022) menaruh angka optimis pertumbuhan ekonomi 2023 sebesar 5,3%. Artinya ini, di tengah tekanan resesi ekonomi global, pemulihan ekonomi Indonesia akan terus berlangsung. Dan ini tentunya berdampak positif kepada outlook bisnis dan industri properti di tahun 2023.
Dalam hal permintaan masyarakat, kebutuhan akan rumah pertama merupakan suatu real demand di Indonesia. Saat ini backlog kebutuhan rumah sebagai kebutuhan dasar masih sangat tinggi, sekitar 12 juta rumah. Sementara secara umum dewasa ini rata-rata pembangunan rumah baru masih di kisaran 500 ribu sampai dengan 800 ribu unit rumah per-tahun.
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berupaya dapat membangun program 1 juta rumah per tahunnya. Untuk tahun 2022, Kementerian PUPR menyatakan optimistis untuk bisa menyalurkan program 1 juta rumah lebih dari target pada tahun ini.
Dalam hal ini dapat secara sederhana dikalkulasikan, bila tercapai pembuatan rumah rata-rata per tahun 1 juta rumah, masih butuh 12 tahun kebutuhan rumah ini akan terpenuhi. Selain itu, menurut Kementerian PUPR, Indonesia juga mengalami pertumbuhan 600.000 keluarga setiap tahunnya. Maka, dengan tambahan generasi selanjutnya tersebut bisa lebih dari 15 tahun kebutuhan rumah baru terpenuhi.
Artinya, permintaan rumah baru akan tetap merupakan kebutuhan primer masyarakat Indonesia. Di tahun 2023, prospek permintaan rumah akan tetap kuat. Apalagi saat ini pemulihan ekonomi Indonesia sedang terus berlangsung, maka dapat dikatakan bahwa permintaan properti, terutama untuk segmen perumahan, akan terus mendominasi pertumbuhan industrinya.
Tantangan untuk bisnis dan industri properti di 2023 terutama adalah inflasi dan kenaikan suku bunga. Dua hal tersebut sebenarnya merupakan tantangan ekonomi di seluruh dunia. Inflasi telah melaju tinggi di Amerika, misalnya, mencapai level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Pihak the Federal Reserve telah secara agresif menaikkan suku bunganya untuk memerangi laju inflasi tinggi ini, dan sejauh ini belum berhasil. Sementara itu, tingkat inflasi di Indonesia per September 2022 tercatat sebesar 5,95% (yoy), merupakan level tertinggi dalam sekitar 7 tahun terakhir.
Bank Indonesia pada Oktober ini telah menaikkan suku bunga acuannya BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps atau 0,5% menjadi 4,75%. BI sudah menaikkan suku bunga acuan dalam 3 bulan beruntun sejak Agustus 2022. Kenaikan suku bunga acuan BI sepanjang 2022 mencapai 1,25% dari level 3,5%, yang merupakan level terendah sepanjang sejarah dan sudah bertahan dalam tempo 18 bulan. Ini akan berdampak kepada kenaikan suku bunga KPR tentunya.
Tantangan kenaikan harga, termasuk bahan baku industri, akan mendongkrak harga properti perumahan. Sementara itu, kenaikan suku bunga KPR akan memperlambat konsumsi melambat, termasuk dalam belanja atau membeli rumah.
Di tahun 2023, menurut penulis, permintaan properti perumahan secara umum masih akan kuat, namun menghadapi sedikit pelambatan sehubungan dengan kenaikan harga bangunan dan suku bunga KPR. Pihak developer tentunya perlu mencari celah peluang dan inovasi dalam menghadapi tekanan inflasi ini.
Bagaimanapun, sejalan dengan kuatnya daya tahan ekonomi Indonesia untuk melanjutkan fase pemulihannya di tahun 2023, bisnis dan industri properti di tahun 2023 akan tetap prospektif. Bagi konsumen ini merupakan timing yang cukup tepat untuk membeli, sebelum kenaikan harga berlanjut lagi. Bagi investor merupakan saat yang bijak untuk berinvestasi karena sedang dalam tren pemulihan. Bagi developer merupakan waktu yang baik, memanfaatkan sedang tersedianya sejumlah program subsidi Pemerintah untuk mendukung pemulihan ekonomi yang berdampak kepada penyediaan hunian bagi masyarakat.
Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting