(Vibiznews – Economy) – Rilis terkini dari IMF, World Economic Outlook, pada Oktober 2022 menunjukkan gambaran ekonomi dunia yang suram. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 dipangkas menjadi 2,7% dari prediksi sebelumnya yang sebesar 2,9% pada Juli lalu.
Laporan World Economic Outlook (WEO) 2022 IMF ini juga menekankan akan memburuknya prospek ekonomi global serta lonjakan inflasi pada level yang tertinggi dalam beberapa dekade terakhir yang dapat memperparah kondisi ekonomi dunia. Pelambatan ini juga terpicu sebelumnya dengan perang Rusia – Ukraina dan melambatnya pertumbuhan ekonomi China.
Gejolak Tahun 2022
Tahun 2022 didominasi, di antaranya, oleh isyu inflasi tinggi serta serba ketidakpastian. Dalam hal melejitnya tingkat inflasi sedunia, sebenarnya dimulai dari sejak paruh kedua 2021. Sejak pandemi, telah terjadi gangguan pada rantai pasokan (supply chain) di seluruh dunia, dengan adanya tekanan inflasi pada biaya produksi dan pengapalan serta kekurangan tenaga kerja. Kemudian ketika pandemic agak mereda terdapat ketidaksesuaian antara penawaran dengan naiknya permintaan barang konsumen. Perang Rusia – Ukraina menambah lagi tekanan inflasi pada kenaikan harga minyak dan gas dunia.
Gambar berikut menunjukkan melajunya tingkat inflasi konsumen (Indeks Harga Konsumen – IHK, atau CPI) terutama untuk di Amerika dan Eropa, yang mencapai level tertinggi dalam empat dekade terakhir. Tekanan inflasi ini menjalar ke seluruh dunia yang memaksa bank sentral sedunia menaikkan suku bunganya, bahkan secara agresif seperti yang dilakukan oleh Federal Reserve, European Central Bank (ECB), Bank of England (BOE), dan bank sentral global lainnya.
Inflation in U.S.A. and Europe
Source: Wikipedia
Belum lama ini, di pertengahan Oktober 2022 di Washington DC, berlangsung Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) keempat, bersamaan dengan Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Grup Bank Dunia (World Bank Group) 2022.
Pertemuan tersebut menyoroti perekonomian global yang mengalami berbagai guncangan dan tantangan. Inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan dan persisten, kondisi keuangan yang semakin ketat, perang Rusia melawan Ukraina, pandemi COVID-19 yang berkepanjangan, dan ketidaksesuaian penawaran-permintaan semakin memperlambat prospek ekonomi global.
Sementara itu, meningkatnya kekhawatiran harga pangan dan energi mengakibatkan tekanan biaya hidup di banyak negara, yang ikut serta menambah tekanan inflasi di dunia. Tantangan global yang berkepanjangan telah menyebabkan meningkatnya kerentanan utang dan menghambat jalan menuju pemulihan, yang selanjutnya berdampak pada kelompok rentan, terutama negara-negara berpenghasilan rendah dan berkembang, demikian rilis dari Bank Indonesia baru-baru ini.
Di pihak lain, Mitsubishi UFJ Financial Group, Inc. (MUFG) baru-baru ini merilis tulisan yang mengupas gejolak ekonomi global dan potensi risiko datangnya resesi dunia dengan tajuk “The Orchestrated Slow Down, Historic Tightening in the Global Economy and Markets” (MUFG, September 2022).
Pergeseran dan gejolak yang ada memunculkan beberapa “macro supercycle” yang baru, yang diwarnai dengan:
- The great instability
- Higher rates and structural volatility
- Secular reflation
- Global labor shortages
- Disruption in global supply
- Monetary and fiscal tightening
- “Reverse” currency wars
- Increased government activism and policy intervention
MUFG: The New Macro Supercycle
Secara umum, analisis MUFG menunjukkan bahwa -terutama- perekonomian dunia sedang berada dalam fase ketidakpastian dan ketidakstabilan yang besar atau signifikan. Dunia telah terseret ke dalam kontraksi ekonomi pada waktu awal pandemic, kemudian ketika terjadi pemulihan bangkit isyu inflasi tinggi secara global. Pemulihan dunia belum menunjukkan bentuknya, sudah datang tantangan stagflasi (ekonomi stagnan dan inflasi tinggi), lalu belakangan ini muncul ancaman resesi kembali.
Ketidakpastian ekonomi ini diwarnai dengan tingginya tingkat inflasi yang memaksa bank sentral global menaikkan suku bunganya, bahkan secara agresif. Terdapat pengetatan kebijakan moneter dan fiscal di sana-sini. Ini pada gilirannya menimbulkan dampak tekanan ekonomi kembali di saat pemulihan belum kuat.
Penulis juga melihat bahwa pengetatan moneter yang dilakukan the Fed telah mendorong penguatan mata uang dollar ke level 20 tahun lebih tertingginya – terhadap sekeranjang mata uang utama dunia lainnya. Mata uang dollar mulai menguat terutama sejak ekonomi Amerika menunjukkan pemulihannya di semester kedua 2021. Kemudian, dengan terus melajunya inflasi di Amerika yang mendorong the Fed semakin agresif menaikkan suku bunganya, serta ditambah tensi geopolitik yang meningkat di kawasan Ukraina, maka permintaan US dollar sebagai safe haven terus bertambah, dan membuat US dollar perkasa di dua dekade tertingginya.
USD Index: Highest 20 Years
Resesi sedang Datang?
Gejolak geopolitik, dengan perang invasi Rusia ke Ukraina telah melambungkan lagi harga gandum, energi gas, dan minyak bumi. Ini semakin mendorong tingkat inflasi negara-negara terdampak yang melaju ke level beberapa puluh tahun tertingginya. Sementara itu isyu disrupsi pada supply chain global masih merupakan masalah structural yang belum teratasi dari sejak dimulainya pandemic, hampir tiga tahun yang lalu. Perekonomian dunia menghadapi stagnasi pertumbuhan di tengah inflasi tinggi, atau disebut dengan stagflasi. Bahkan, lebih dari itu, banyak negara ditenggarai segera memasuki fase resesi ekonomi.
Global Recession Risk Rising
Bloomberg survey of economists belum lama ini menunjukkan potensi risiko resesi datang dalam 12 bulan mendatang, sampai tahun 2023. Negara ekonomi maju: Inggris, Zona Eropa, dan Amerika diprediksi punya peluang besar masuk ke dalam fase resesi. Masalahnya, ketiganya memiliki efek berantai yang kuat ke perekonomian dunia. Pelambatan pertumbuhan China belakangan ini saja telah menimbulkan distorsi ekonomi di banyak negara terkait dengannya.
Di tempat lain, rilis dari IMF, World Economic Outlook (Oktober 2022), memberikan sorotan pada tendensi penurunan ekonomi secara global. Terlihat adanya kontraksi ekonomi secara triwulanan pada China, Rusia dan Amerika dan penurunan tajam di kawasan Eropa Timur terkait dengan tensi geopolitik perang Rusia – Ukraina.
Indikasi kontraksi ekonomi dapat terlihat dari tren PMI Manufacturing sejumlah negara atau ekonomi yang mewakili, seperti: Amerika, Zona Eropa, Jepang, Inggris, Brazil, China, dan India. Grafik di atas menunjukkan pelambatan aktivitas manufaktur yang dapat mengarah kepada kontraksi ekonomi dan resesi global. Di tengah tekanan inflasi yang semakin berat, grafik di atas menunjukkan bagaimana negara-negara anggota G20, baik yang ekonomi maju maupun yang ekonomi berkembang, cenderung melakukan kebijakan moneter yang semakin ketat.
Gangguan pada rantai pasokan global dan tekanan inflasi agaknya memberikan tekanan pelambatan aktivitas manufaktur (Manufacturing PMI – Purchasing Managers Index) pada banyak negara manu dan merembet ke berbagai negara di dunia.
Ilustrasi: Rantai pasokan di AS sangat tergantung dari distribusi barang dan jasa antar negara bagian yang banyak dilakukan melalui transportasi darat.
Vibizmedia Photo
Sebuah truk melintas di jalur US0-40, Byers, Colorado, USA.
Sumber: Vibizmedia Photo, Taken by: Bernhard Sumbayak
Bersambung ke Bagian 2 …
Bernhard Sumbayak, Advisor Vibiz Consulting
Alfred Pakasi, Managing Partner Vibiz Consulting