Outlook Sektor Properti 2024: Tetap Potensial di Tengah Tahun Politik (Bagian 1 dari 2)

1519
Vibizmedia Photo

(Vibiznews – Property) – Tahun 2024 merupakan tahun yang strategis bagi Indonesia, juga bagi perekonomiannya, serta khususnya juga bagi sektor properti. Hal tersebut dikarenakan tahun depan ini kita memasuki tahun politik, tahun pemilihan presiden. Di tengah ekonomi Indonesia yang telah kembali pada level sebelum pandemi yang mendorong pemulihan berbagai sektor, sektor properti dan pembangunannya mencari arah dan bentuk penyesuaian baru di tengah tantangan memasuki tahun politik.

Sebagai suatu review dan outlook pasar properti untuk tahun 2024, di sini akan dibahas terutama tiga pokok berikut ini:

  • Tahun politik, bagaimana sikap pelaku pasar?
  • Dimulainya siklus baru: penurunan suku bunga, bagaimana dampak pasarnya?
  • Arah potensi pasar: generasi milenial dan green development.

 

Memasuki Tahun Politik

Pandangan umum selama ini biasanya di tahun pemilu banyak pihak yang berkepentingan dengan sektor properti mengambil sikap “wait and see”. Para pengembang cenderung menahan pembangunan proyeknya untuk melihat arah politik berikutnya, para konsumen atau pembeli sebagian pun mengambil sikap lebih hati-hati, khususnya untuk mereka yang berinvestasi di properti. Akan tetapi, konsumen rumah pertama umumnya tetap melanjutkan proses pembelian karena ini menyangkut kebutuhan dasar keluarganya yang perlu segera terpenuhi.

Belum lama lalu, 99 Group, kelompok usaha properti asal Singapura, merilis hasil risetnya terhadap data pendapatan delapan pengembang nasional terkemuka di Indonesia selama tahun politik di dua periode sebelumnya, yaitu tahun 2014-2015 dan 2018-2019. Kesimpulan, di antaranya, berdasarkan hasil riset tersebut, pada tahun politik, pendapatan dan penjualan sektor properti cenderung mengalami kontraksi (Vibiznews, 13/11).

Yang di antaranya dapat kita cermati dari riset tersebut, adalah pengaruh dari tingkat dinamika atau gejolak politik. Di tahun 2014-2015 prosentase kontraksi penjualan properti sejumlah pengembang besar hanya 0,6%, atau terbatas saja. Tetapi pada 2018-2019 koreksinya mencapai 4,2%, itu sejalan dengan lebih bergejolaknya dinamika politik saat itu. Karenanya, kita perlu mencermati tingkat gejolak politik yang terjadi dari hari-hari sekarang ini.

Terutama pada proyek properti dengan target konsumennya para investor, kepekaan terhadap situasi politik nampaknya menjadi pertimbangan penting, baik di sisi pengembang, maupun di sisi konsumen investornya. Aspek perhitungan untung ruginya dan timing yang tepat itu masuk dalam pertimbangan, untuk merilis produk bagi para pengembang, atau untuk membeli bagi para investor dan konsumen.

Investor terutama akan lebih berperhitungan, sehingga selain situas pilpres, aspek dinamika ekonomi dan situasi global menjadi faktor pertimbangan. Situasi pandemi terbukti lebih berpengaruh dibandingkan pilpres, di mana pengembang mengalami penurunan pendapatan hingga 13%.

(Lihat juga … https://www.vibiznews.com/2023/11/13/sektor-properti-menuju-tahun-politik-bagaimana-dampak-dan-harapannya/)

 

Dampak per Sektornya

Di pihak lain, beberapa waktu lalu Colliers telah melakukan riset dampak pemilu terhadap pasar properti, yang dirilis kepada media (Colliers.com, 27/11).  Disebutkan bahwa ecara historis, pasar real estat cenderung melambat sebelum adanya pemilihan umum, biasanya dimulai kurang lebih 10 bulan sebelum kegiatan tersebut. Perlambatan ini ditandai dengan penurunan transaksi, khususnya di sektor properti komersial. Namun, walau pasar melambat, harga secara umum tidak mengalami penurunan menjelang pemilihan.

Dampak pemilu di tahun politik terhadap sektor-sektor properti nampaknya cukup beragam, seperti dapat dirangkum, sebagai berikut:

  • Untuk sektor perkantoran, Divisi Research Colliers mengungkapkan secara umum kekhawatiran terhadap potensi ketidakstabilan politik tidak terlalu berpengaruh terhadap sektor perkantoran. Pada umumnya pelaku bisnis cenderung untuk mengambil pendekatan wait and seeatau memastikan proyek pembangunan berjalan lancar, dan segera membuat keputusan saat sudah ada kepastian dari hasil pemilihan umum.
  • Untuk sektor properti industrial, disebutkan bahwa investor dan perusahaan saat ini berpacu untuk mempercepat penyelesaian proyek-proyek yang ada untuk mengejar target sebelum pemilihan umum. Kekhawatiran dari pelaku pasar terutama jika ada kebijakan baru yang dianggap tidak menarik dan berpotensi menurunkan minat investasi di sektor properti.
  • Untuk properti ritel, iklim politik dapat memengaruhi keputusan strategis bagi pemain baru di pasar ritel. Retailer asing umumnya memiliki kekhawatiran terhadap potensi perubahan regulasi. Para pengusaha ritel diungkapkan cenderung ingin agar proyek-proyek mereka dapat diselesaikan sebelum pemilihan umum dan pergantian kepemimpinan.
  • Untuk properti hotel, riset Collliers menyebutkan sebagian besar pelaku bisnis berharap pemilu akan selesai dalam satu putaran, sehingga pebisnis hotel bisa lebih fokus pada pasar bisnis lain yang memberikan kontribusi pendapatan yang lebih signifikan.

 

Analis Vibiz Research Center melihat bahwa secara umum para pelaku pasar properti mencermati perkembangan dinamika menuju pemilu, saat sekitar pemilu, dan setelah selesai pemilu. Dinamika sosial, mobilitas masyarakat, sampai kepada presiden terpilih dan bagaimana kebijakan pemerintahannya bagi sektor bisnis properti, itu semua menjadi fokus perhatian investor dan pelaku pasar.

Harapan banyak pihak agar terdapat kestabilan dan keberlanjutkan kebijakan yang pro bisnis. Kekhawatiran yang muncul di kalangan investor properti adalah muncul perubahan kebijakan yang dapat menghambat perkembangan industri properti ketika terjadi pergantian pemimpin pemerintahan.

 

Menuju Era Penurunan Suku Bunga

Pertumbuhan industri properti erat kaitannya dengan rezim suku bunga. Pada periode kenaikan suku bunga dari bank sentral, dampaknya adalah kenaikan suku bunga kredit, baik itu KPR bagi konsumen maupun kredit investasi bagi pengembang, sehingga cenderung menahan pertumbuhan industri properti. Sebaliknya, pada era penurunan suku bunga dari bank sentral termasuk Bank Indonesia, perbankan akan juga menurunkan suku bunga kreditnya dan berdampak positif pada pertumbuhan properti.

Paska pandemi, kebijakan moneter ketat yang diterapkan perbankan global seluruh dunia dengan tren menaikkan suku bunga, dipicu oleh kebijakan ketat dari the Federal Reserve untuk melawan tekanan inflasi yang sempat mencapai level tertingginya dalam 40 tahunan terakhir di Amerika. Sejak Maret 2022 the Fed telah menaikkan suku bunganya hingga sebelas kali (11 X), sampai terakhirnya ditetapkan pada level 5,25%-5,50%.

Sementara itu, Bank Indonesia juga telah menaikkan suku bunga acuan BI7DRR sebanyak enam kali (6 X), dari level 3,5% dinaikkan bertahap pada Agustus 2022, dan mencapai level 6,0% pada Oktober 2023.

 

Grafik: Suku Bunga BI7DRR dan US FFR 2019-2023

Source: tradingeconomics.com

 

(Bersambung ke bagian 2) … https://www.vibiznews.com/2023/12/20/outlook-sektor-properti-2024-tetap-potensial-di-tengah-tahun-politik-bagian-2-dari-2/

 

Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting