Dilematis Kebijakan Tarif Di AS Mengubah Arah Perusahaan AS dari Cina

363

 

(Vibiznews – Economy & Business) – Tarif adalah kebijakan pemerintah dalam perdagangan antar negara. Tarif adalah biaya atau daftar biaya baik untuk jasa atau barang yang masuk ke suatu negara. Bisa diartikan biaya pemerintah atas barang yang masuk atau keluar suatu negara.

Tarif kini semakin menjadi alat yang melekat, mengaitkan geopolitik dan perdagangan, dan memainkan peran yang lebih besar. Terutama dalam keputusan jangka panjang mengenai manufaktur dan pengadaan.

“Tarif selalu ada dan selalu dianggap sebagai biaya berbisnis,” kata Simon Geale, wakil presiden eksekutif pengadaan di perusahaan konsultan rantai pasokan Proxima.

“Namun tarif semakin tajam dalam lima atau enam tahun terakhir.” (Dikutip dari Wall Street Journal, 21 Agustus 2024)

Latar belakang

Era tarif baru dimulai di bawah pemerintahan Trump dengan bea masuk pada impor dari berbagai negara. Dan fokus pada produk-produk Cina, mulai dari sasis truk hingga barang-barang konsumen.

Hal ini diawali dari terjadinya perang dagang antara Amerika dan China pada 2018. Ketika pemerintahan Presiden AS Donald Trump mulai mengenakan tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari China yang dianggap merugikan Amerika Serikat.

Dengan tujuan mengurangi defisit perdagangan dan menekan China untuk mengubah praktik perdagangan yang dianggap tidak adil. China kemudian membalas dengan memberlakukan tarif impor pada produk-produk Amerika Serikat sebagai tanggapan atas tindakan tersebut.

Defisit perdagangan Amerika Serikat dengan China menjadi masalah utama bagi pemerintah Amerika Serikat.

Defisit perdagangan AS terhadap China membengkak dalam 10 tahun sebelum perang dagang dari US$ 268,04 miliar pada 2008 menjadi US$ 375,17 miliar pada 2017.

Defisit Perdagangan AS-China 2016- Trw I 2024
Sumber: CNBC Indonesia 15 Mei 2024
Kedua negara terus saling memberlakukan tarif impor secara bertahap dan perang dagang semakin meningkat.

Amerika Serikat memperkenalkan tarif impor senilai miliaran dolar pada produk China, termasuk teknologi tinggi, sedangkan China membalas dengan memberlakukan tarif impor pada produk Amerika Serikat seperti kedelai, jagung, dan daging babi.

Perang dagang ini juga dipicu oleh masalah kekayaan intelektual dan pemaksaan transfer teknologi. Amerika Serikat menuduh China mencuri teknologi dan rahasia perdagangan Amerika Serikat, sedangkan China membantah tudingan tersebut.

Setelah hampir dua tahun, pada tahun 2020, Amerika Serikat dan China akhirnya mencapai kesepakatan perdagangan tahap satu. Yang mencakup komitmen dari China untuk membeli lebih banyak barang dari Amerika Serikat.
Dan mengatasi masalah terkait kekayaan intelektual dan pemaksaan transfer teknologi.

Kesepakatan tersebut dianggap sebagai kemajuan positif dalam hubungan perdagangan antara kedua negara, meskipun masih ada tantangan dan ketidakpastian yang harus dihadapi.( Dikutip dari CNBC 23 April 2023)

Dampak Kebijakan Tarif atas China Dalam Perusahaan-perusahaan di AS

Kini tarif memberi dampak yang lebih besar di Cina, di mana importir dan eksportir menghadapi rezim yang semakin rumit. Dari pungutan barang mulai dari semikonduktor hingga kasur.

Hingga beberapa tahun yang lalu, pabrik-pabrik di Cina memasok dunia dengan Tinta Pena Retractable Sharpie. Yaitu pena yang memungkinkan ujung pena untuk dikeluarkan atau ditarik kembali dengan sekali klik atau putaran, tanpa perlu penutup.

Ini merupakan jenis alat tulis yang diproduksi oleh Sharpie, merek terkenal yang terutama dikenal karena spidol permanennya dan blender Oster. Sekarang tidak lagi.
Perusahaan konsumen besar Newell Brands kini memproduksi produk-produk tersebut, dan banyak lagi, di pabrik-pabriknya sendiri di AS dan Meksiko.

Banyak produk lainnya dibuat di pabrik-pabrik di Vietnam, Indonesia, dan Thailand. Chris Peterson, CEO Newell, mengatakan bahwa pergeseran perusahaan mengurangi ketergantungan mereka pada Cina.

Yaitu di saat kedua partai, Demokrat dan Republik, “semakin proteksionis dalam hal kebijakan perdagangan.”

Kedua kandidat dalam pemilihan presiden tahun ini tampaknya akan melanjutkan tren tersebut. Mantan Presiden Donald Trump, kandidat dari Partai Republik, mengatakan dia akan memberlakukan tarif baru dengan kemungkinan tarif 10%. Diberlakukan di seluruh barang impor dan tarif 60% pada barang-barang dari Cina.

Sementara, Wakil Presiden Kamala Harris, kandidat dari Partai Demokrat, sejauh ini belum menunjukkan keinginan untuk menyimpang jauh dari kebijakan perdagangan Presiden Biden.

Pendekatan Joe Biden terhadap China sedikit berubah, meskipun tarif dan beberapa kebijakan perdagangan tetap ada. Pemerintahan Biden cenderung fokus pada aliansi internasional dan tekanan multilateral terhadap China.

Dikutip dari CNBC International, Pemerintahan Biden mengumumkan tarif baru yang ketat terhadap impor China senilai US$18 miliar. Gedung Putih mengatakan kenaikan tarif diperlukan untuk melindungi industri AS dari persaingan tidak sehat.

 

Sumber: The White House, 14 May 2024

Mulai tahun ini, Biden akan menaikkan tarif impor kendaraan listrik China sebanyak empat kali lipat, dari 25% menjadi 100%. Pajak impor sel surya China akan berlipat ganda, dari 25% menjadi 50%. Begitu pula tarif terhadap beberapa impor baja dan aluminium China akan meningkat lebih dari tiga kali lipat, dari 7,5% saat ini menjadi 25%.

Biden juga mengarahkan Perwakilan Dagang AS Katherine Tai untuk menaikkan tarif lebih dari tiga kali lipat pada baterai litium-ion untuk kendaraan listrik dan baterai litium yang dimaksudkan untuk penggunaan lain.
Mulai tahun 2025, tarif impor semikonduktor China akan melonjak dari 25% menjadi 50%.

Tarif pertama kali akan dikenakan pada impor jarum suntik medis dari China, sarung tangan medis dari karet, dan beberapa respirator serta masker wajah juga akan terkena tarif yang lebih tinggi.

Beberapa barang, seperti baterai dan grafit alam, akan memiliki periode penerapan tarif yang lebih lama. Gedung Putih mengatakan hal ini sebagian untuk memberikan waktu bagi sektor manufaktur AS untuk meningkatkan produksi baterai di dalam negeri untuk memenuhi permintaan konsumen.

“China memberikan subsidi besar-besaran pada semua produk ini, mendorong perusahaan-perusahaan China untuk memproduksi jauh lebih banyak daripada yang dapat diserap oleh negara-negara lain di dunia dan kemudian membuang kelebihan produk tersebut ke pasar dengan harga yang sangat rendah,” kata Biden pada Selasa di Gedung Putih.(Sumber: CNBC, 15 Mei 2024)

Kebijakan kenaikan tarif ini merupakan cara AS menekan impor dari China. AS mencurigai jika produk-produk yang terkait energi hijau dari China mendapatkan subsidi Beijing sehingga harganya lebih murah. Kenaikan tarif ini dikhawatirkan memicu perang dagang baru kedua negara.

Kebijakan tarif ini menjadi sesuatu yang dilematis bagi Amerika.

Perang dagang Amerika-China ini tentu saja mempengaruhi ekonomi global dengan mengganggu rantai pasokan dan menyebabkan ketidakpastian di pasar internasional.

Hal ini terlihat dari adanya beberapa perusahaan di Amerika yang mencari alternatif untuk mengurangi ketergantungan dari China.

Apakah mereka akan terus bersumber dari Cina dan menghadapi potensi dampak dari tarif yang meningkat? Atau apakah mereka akan mencari alternatif di luar Cina, di mana biaya lebih tinggi tetapi risiko bea dan geopolitik lainnya lebih rendah?

Tentu semua ini memerlukan kajian lebih lanjut apa alternatif yang dipilih, mana yang lebih menguntungkan bagi perusahaan.

Ancaman tarif universal dari Trump bahkan telah membuat pendukungnya khawatir. Misalnya, CEO Tesla Elon Musk, yang mendukung Trump, mengatakan dia akan menunda keputusan tentang pabrik baru di Meksiko hingga setelah pemilihan. Karena “tidak masuk akal” jika Trump menang dan memberlakukan “tarif berat” pada kendaraan yang diproduksi di sana.

Lain lagi strategi Anne van de Heetkamp, wakil presiden manajemen produk di perusahaan teknologi rantai pasokan dan logistik Descartes. Beliau mengatakan ketika ketegangan perdagangan mulai meningkat lima tahun lalu, perusahaan tidak buru-buru mengubah rantai pasokan mereka.

Sekarang, dengan tarif yang tampaknya lebih permanen, pelanggan Descartes sedang merencanakan jaringan rantai pasokan global yang baru. Lonjakan ekspor dari Asia Tenggara, India, dan Meksiko menunjukkan bahwa Newell tidak sendirian dalam keinginannya untuk mengurangi ketergantungan pada Cina.

Perubahan ini memicu investasi baru dalam pabrik, pergudangan, dan operasi transportasi di seluruh dunia. DHL Express AS, unit paket dari raksasa logistik Jerman Deutsche Post, menambahkan penerbangan langsung baru antara Vietnam dan AS pada tahun 2022. Ini dilakukan untuk melayani ekspor yang meningkat yang dulunya mencapai AS melalui Hong Kong.

CEO Greg Hewitt mengatakan unit tersebut juga mempertimbangkan untuk memperluas jaringan mereka di sepanjang perbatasan AS-Meksiko. Hal ini dilakukan untuk memenuhi permintaan yang meningkat di sana.

Hewitt memperingatkan bahwa Cina tetap menjadi pemasok barang manufaktur terbesar di dunia dan kemungkinan akan mempertahankan posisinya. Karena rantai pasokan yang efisien dan biaya bahan baku serta tenaga kerja yang rendah.

Kelompok perdagangan industri ritel dan beberapa eksekutif memperingatkan bahwa beberapa barang tidak bisa diproduksi di tempat lain di dunia. Dan tarif yang meningkat akan hanya menaikkan harga konsumen dan memicu inflasi.

Sementara, analis di Goldman Sachs memperkirakan bahwa setiap kenaikan tarif AS sebesar satu poin persentase. Akan meningkatkan harga konsumen inti sebesar lebih dari 0,1%.

“Masalahnya adalah tempat terbaik untuk membuat sepatu adalah Cina,” kata Ronnie Robinson, kepala rantai pasokan di Designer Brands. Perusahaan induk peritel sepatu DSW. Robinson mengatakan untuk setiap dolar yang ditambahkan pemerintah dalam tarif, konsumen membayar tambahan $2 hingga $4 di kasir.

“Realitasnya adalah bahwa Anda dan saya membayar tarif sebagai bagian dari harga tiket saat Anda pergi ke toko dan membeli,” katanya. Robinson mengatakan Designer Brands menyuplai sekitar 70% sepatu mereka dari Cina, turun dari 90% beberapa tahun lalu.

Dia mengatakan perusahaan bertujuan untuk mengurangi ketergantungan lebih lanjut menjadi sekitar 50%. Tetapi Cina akan tetap menjadi sumber sepatu tunggal terbesar perusahaan tersebut. Peterson mengatakan hanya 15% barang Newell yang bergantung pada produk yang dibuat di Cina saat ini. Angka ini turun dari lebih dari 30% beberapa tahun lalu.

Dia berharap pada akhir tahun depan, pangsa tersebut akan turun di bawah 10%. Dia mengatakan bahwa ketika perusahaan mencari pemasok Cina baru, salah satu pertanyaan pertama mereka adalah apakah mereka memiliki kapasitas?

Atau berencana untuk menambah kapasitas di luar negara tersebut. “Jika seorang pemasok tidak memiliki kemampuan manufaktur di luar Cina, kami tidak akan memilih mereka sebagai vendor kami,” katanya.

Bagaimana dampak perang dagang Amerika – China bagi Indonesia

Dampak nyata yang berpotensi terjadi jika perang dagang AS-China semakin masif adalah menurunnya nilai dan volume perdagangan dari kedua negara yang berakibat melambatnya pertumbuhan ekonomi kedua negara dan pada gilirannya perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia.

Volume dan nilai perdagangan yang menurun pada kedua negara tersebut akan menyebabkan terjadinya trade-diversion di kedua negara. AS dan China akan mengalihkan negara tujuan ekspor dan negara asal impor.

Sementara dalam jangka menengah-panjang, perang dagang AS-China akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi kedua negara sehingga akan menurunkan permintaan impornya.

Tidak hanya perang dagang, kondisi inflasi yang melonjak tinggi disertai dengan suku bunga yang tinggi belakangan ini juga semakin menyulitkan Indonesia yang merupakan mitra dagang AS dan China.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), ekspor Indonesia ke China tetap mengalami kenaikan setelah perang dagang.

Ekspor Indonesia ke AS naik dari US$ 17,84 miliar pada 2019 menjadi US$ 23,25 miliar pada 2023. Ekspor bahkan sempat menembus US$ 28,18 miliar pada 2022.

Ekspor ke China juga melesat dari US$ 27,96 miliar pada 2019 menjadi US$ 64,94 miliar pada 2023. Ekspor sempat melesat ke US$ 65,84 miliar pada 2022.

Ekspor Indonesia ke China dan AS (USD Juta) 2019-2023
Sumber: Kemendag, CNBC Indonesia 15 Mei 2024

Selain ekspor yang menurun di tahun 2023, impor dari AS dan China terhadap Indonesia juga mengalami pelemahan.

Impor dari China mengalami depresiasi 7,41% dari US$67.156 juta pada tahun 2022 menjadi US$62.182 juta pada tahun 2023. Begitu pula impor dari AS yang turun tipis yakni sebesar 1% dari US$9.316,4 juta di tahun 2022 menjadi US$9.223,1 juta di tahun 2023.

Impor Indonesia dari China dan AS (USD Juta) 2019-2023
Sumber: Kemendag, CNBC Indonesia 15 Mei 2024

Di sisi lain, perang dagang antara AS dan China ini dapat menjadi hal yang positif jika dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia.

Jika Indonesia mampu memberikan nilai tambah dan kemudahan dalam melakukan produksi dan berbisnis di Tanah Air, maka bukan tidak mungkin China akan memindahkan basis produksinya ke Indonesia demi menghindari tarif tinggi yang dikenakan AS.

Menurut Analis Vibiz Research Center selain hal di atas maka ada beberapa dampak perang dagang AS-China ini bagi Indonesia

1. Perubahan Rantai Pasokan:
Perang dagang sering memicu pergeseran dalam rantai pasokan global. Indonesia mungkin mendapat manfaat dari pergeseran ini jika perusahaan-perusahaan mencari alternatif untuk memproduksi barang di luar China atau AS. Hal ini bisa menciptakan peluang bagi industri manufaktur dan ekspor Indonesia, terutama dalam sektor-sektor seperti elektronik, tekstil, dan produk konsumen.

2. Peningkatan Investasi:
Jika perusahaan-perusahaan AS dan China mencari negara-negara lain untuk diversifikasi produksi dan investasi, Indonesia bisa menjadi tujuan menarik. Pemerintah Indonesia mungkin dapat menarik investasi langsung asing (FDI) dari kedua negara. Tentu saja ini bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

3. Ekspor dan Impor:
Indonesia bisa mengalami dampak campur aduk pada sektor ekspor dan impor. Jika tarif perdagangan antara AS dan China tetap tinggi. Permintaan global untuk barang dari Indonesia bisa meningkat karena perusahaan mencari sumber alternatif.
Namun, di sisi lain, jika Indonesia bergantung pada bahan baku atau komponen dari China atau AS. Maka lonjakan biaya atau gangguan pasokan bisa berdampak negatif.

4. Dampak pada Sektor Energi dan Komoditas:
Fluktuasi dalam harga komoditas global, seperti minyak dan gas, bisa terjadi karena ketegangan perdagangan. Indonesia, sebagai negara penghasil energi dan komoditas, akan merasakan dampak dari perubahan harga ini. Jika harga komoditas naik, Indonesia mungkin mendapat manfaat dari peningkatan pendapatan ekspor. Tetapi jika harga turun, ini bisa berdampak negatif pada ekonomi.

Kesimpulannya, secara keseluruhan, dampak dari perang dagang Amerika-China terhadap Indonesia akan bergantung pada bagaimana Indonesia menanggapi perubahan dinamika ekonomi global. Dan bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan peluang sambil mengelola risiko-risiko yang ada.

Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting