(Vibiznews – Economy & Business) – Kemenangan Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat dianggap sebagai keberhasilan Partai Republik yang kembali menguasai Senat dan tampaknya siap menguasai DPR (House of Representatives).
• Faktor yang mendukung kemenangan Trump
1. Ketidakpuasan Ekonomi
Para ahli mengatakan ekonomi Amerika sedang dalam kondisi baik. Namun, sebagian besar orang Amerika tidak menyetujui hal tersebut.
Dari hasil survei, sekitar 40% pemilih mengatakan ekonomi adalah isu utama mereka, jauh mengungguli isu lainnya, dan pemilih-pemilih ini mendukung Donald Trump dengan persentase 60% berbanding 38%. Demikian dilansir dari The Wall Street Journal tanggal 7 November 2024.
Banyak di antara mereka yang tidak memikirkan tentang rangkaian pertumbuhan ekonomi yang kuat. Atau kemungkinan pelunakan yang diharapkan oleh Federal Reserve saat mereka memilih. Tetapi lebih pada tagihan belanja mereka dan ambisi yang sulit tercapai.
Masalah inflasi yang dirasa cukup tinggi di mana orang Amerika masih merasakan kejutan harga akibat kenaikan harga di segala hal. Mulai dari perlengkapan pembersih hingga secangkir kopi setelah pandemi.
Kemarahan mereka terhadap ekonomi tidak hanya terbatas pada harga. Tetapi juga mencakup ketidakpuasan dan kecemasan yang lebih luas tentang masa depan.
Banyak orang Amerika yang frustrasi karena mereka tidak mampu membeli rumah atau membangun keluarga. Lebih sedikit yang percaya bahwa impian Amerika itu dapat tercapai.
Dikutip dari The Wall Street Journal tanggal 7 November 2024 yang melakukan wawancara dengan ratusan orang Amerika tahun ini tentang perasaan mereka terhadap ekonomi.
Misalnya wawancara dengan seorang penata rambut berusia 36 tahun yang tinggal di Henderson, Nevada, dan memilih Trump. Dia mengatakan telah menahan untuk menaikkan harga di salon miliknya, meskipun dia harus membayar lebih untuk perlengkapan.
Sekarang, dia khawatir tentang membayar sewa bulanan mereka yang sebesar $3.000, dan telah beberapa kali menarik uang dari tabungan rumah mereka untuk memenuhi tagihan yang semakin meningkat.
Dia mengatakan “Kami sangat lelah. Semua orang yang kami kenal juga sangat lelah, seperti ada kaki seseorang yang telah menekan dada orang Amerika selama empat tahun terakhir.” Dia mengatakan percaya bahwa Trump akan memungkinkan pekerja untuk menikmati hidup mereka kembali.
“Saya merasa seperti menghembuskan napas besar,” katanya, “seperti mari kita maju karena kita akan baik-baik saja.”
2. Adanya ketidakcocokan antara Data Ekonomi Resmi dan Pesimisme yang Terus Berlanjut di Kalangan Orang Amerika
Hasil wawancara mengungkapkan adanya ketidakcocokan yang besar antara data resmi pemerintah yang menunjukkan ekonomi yang semakin kuat. Dan pesimisme yang terus berlanjut di kalangan orang Amerika.
Sementara Demokrat memuji kekuatan ekonomi, banyak pemilih yang mengatakan bahwa ekonomi yang mereka kenal telah rusak. “Pernyataan positif ini tidak menggema di sebagian besar orang Amerika,” kata Mark Zandi. Kepala ekonom di Moody’s Analytics, mengenai pesan politik tersebut.
“Mereka masih membayar harga yang lebih tinggi untuk banyak barang yang perlu mereka beli.”
Lalu, Chris Abramowicz yang memiliki bisnis teknologi informasi mengatakan dia memilih Biden pada 2020 dan kemudian menyesali keputusan itu. Pria berusia 39 tahun asal Rockford, Illinois, ini mengubah pilihannya ke Trump kali ini.
Dengan sembilan anak dan satu lagi yang sedang dalam perjalanan, dia merasakan kenaikan harga bahan makanan dengan sangat jelas. Dia ingat sangat kesal dengan lonjakan harga telur.
Pemilih Trump lebih terdorong oleh isu ekonomi daripada pemilih Harris. Sekitar setengah dari pemilih Trump mengatakan harga yang lebih tinggi adalah faktor terbesar dalam keputusan mereka, menurut AP VoteCast.
Kebanyakan mereka mengeluhkan kesulitan membeli rumah atau berlibur.
3. Pesan Trump Telah Lama Menarik Perhatian Pemilih di Tempat-tempat yang Kehilangan Pekerjaan Bergaji Tinggi di Sektor Manufaktur Domestik
Pesan ini juga menggema di kalangan pemilih kelas pekerja yang dulunya berpikir mereka bisa mengandalkan gelar sarjana. Sebagai tiket untuk masuk ke kelas menengah, tetapi sekarang mulai mempertanyakan nilai dari gelar tersebut.
Perjalanan inflasi tinggi yang mengikuti pandemi Covid menjadikan ekonomi sebagai perhatian bagi berbagai kelompok pemilih. Inflasi meroket selama masa kepresidenan Biden, dan meskipun akhir-akhir ini mulai mereda, harga tetap jauh lebih tinggi dibandingkan ketika Trump meninggalkan jabatannya.
Indeks harga konsumen dari Departemen Tenaga Kerja menunjukkan bahwa harga pada September lalu hampir 20% lebih tinggi dibandingkan Januari 2021. Ini kenaikan terbesar untuk satu masa jabatan presiden sejak empat tahun pertama Ronald Reagan.
Kemarahan terkait inflasi terus berlanjut meskipun pasar tenaga kerja terus menambah pekerjaan sambil meningkatkan upah. Meskipun data dari Departemen Tenaga Kerja menunjukkan bahwa upah median melampaui inflasi, hal itu tidak berlaku bagi sejumlah besar orang.
Sebanyak 96% pemilih mengatakan “harga tinggi untuk bensin, bahan makanan, dan barang-barang lainnya” menjadi faktor dalam keputusan suara mereka, menurut AP VoteCast.
Demikian juga, seorang koki berusia 48 tahun yang menganggur dari sisi barat Detroit, mengatakan bahwa harga yang lebih tinggi untuk pembelian sehari-hari seperti bensin ada dalam pikirannya ketika dia memilih Trump pada hari Selasa.
Rob Cooper, seorang Chief Financial Officer (CFO) berusia 50 tahun dari sebuah rantai ritel. Ia mengatakan kepada The Journal awal tahun ini bahwa kenaikan harga deodoran favoritnya, Old Spice Stronger Swagger, sangat mengganggunya sehingga dia mulai mencarikannya di toko diskon.
Dia mengatakan memilih Trump pada hari Selasa karena posisi Trump tentang pajak perusahaan dan individu—meskipun dia menyadari bahwa rencana Trump untuk mengenakan tarif dapat lebih lanjut meningkatkan harga.
4. Banyak Orang Amerika Merasa Tertekan oleh Tingginya Suku Bunga
Banyak orang Amerika juga merasa tertekan oleh tingginya suku bunga. Data dari Federal Reserve menunjukkan bahwa tepat sebelum bank sentral mulai menaikkan suku bunga pada 2022 dalam upayanya untuk meredam inflasi. Rata-rata suku bunga pada rencana kartu kredit adalah 14,6%.
Pada Agustus, sebelum Federal Reserve memangkas suku bunga untuk pertama kalinya, angka tersebut naik menjadi 21,8%.
Suku bunga juga naik pada pinjaman mobil dan hipotek. Harga rumah pun melambung tinggi, membuat semakin sulit bagi banyak keluarga untuk membeli rumah pertama mereka.
Sebuah jajak pendapat Wall Street Journal/NORC pada bulan Juli terhadap 1.502 orang dewasa di AS. Menemukan bahwa 89% responden mengatakan memiliki rumah adalah hal yang sangat penting atau penting bagi visi mereka tentang masa depan.
Sementara hanya 10% yang mengatakan kepemilikan rumah mudah atau cukup mudah dicapai.
Lain halnya dengan Michelle dan Christopher Cortazzo, yang tinggal di Glen Rock, New Jersey, dan memilih Trump. Mereka mengatakan bahwa biaya pengasuhan anak adalah titik kritis bagi mereka.
Michelle, seorang konsultan farmasi berusia 38 tahun, mengatakan mereka membayar $1.500 per bulan untuk daycare anak mereka yang berusia 4 tahun.
• Dampak dan peluang bagi Indonesia
Menurut Ekonom Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, Teuku Riefky menilai Indonesia bisa mengambil benefit dari kebijakan proteksionisme Donald Trump. Yang kembali terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat (AS).( dilansir dari Aurat.Co, Sabtu 9 November 2024)
Menurutnya, bila Trump melanjutkan kebijakan proteksionismenya, sebagaimana yang ia lakukan pada periode pertama jabatannya sepanjang 2017-2021, maka akan muncul realokasi peta perdagangan global dan investasi.
Hal itu disebabkan sikap proteksionisme Trump akan mengerek tarif impor terhadap negara-negara yang berdagang dengan AS, terutama China.
Bila tarif impor naik, kemungkinan akan terjadi perubahan haluan mitra dagang.
Sementara arus investasi bakal mengikuti arah perdagangan. Bila tarif antara AS dan China besar, maka bisa merealokasikan investasi ke negara-negara lain yang tarifnya tidak terlalu besar. Dia meyakini kondisi tersebut bisa dimanfaatkan oleh Indonesia.
Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk memantau perkembangan dari arah kebijakan perdagangan AS pada masa kepemimpinan Trump.
Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting