(Vibiznews – Banking & Insurance) – Keputusan BI untuk mempertahankan BI-Rate tetap 6% ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi. Yaitu dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Fokus kebijakan moneter juga diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak semakin tingginya ketidakpastian geopolitik dan perekonomian global.
Terutama dengan perkembangan politik di Amerika Serikat (AS) setelah terpilihnya Trump sebagai Presiden Amerika.
Bank Indonesia akan terus memperhatikan pergerakan nilai tukar Rupiah dan prospek inflasi serta perkembangan data dan dinamika kondisi yang berkembang. Terutama dalam mencermati ruang penurunan suku bunga kebijakan lanjutan sebagai dampak terhadap efek terpilihnya Trump.
Dalam Rapat Gubernur BI, Perry Warjiyo menyampaikan ada 5 hal yang dicermati oleh Bank Indonesia.
1. Kebijakan ekonomi dan politik Amerika Serikat. Dari berbagai assessment yang dilakukan oleh BI, kebijakan ekonomi Presiden Trump lebih ke arah kebijakan fiskal lebih ekspansif dan strategi ekonomi berorientasi domestik (inward looking policy), termasuk penerapan tarif perdagangan yang tinggi dan kebijakan imigrasi yang ketat.
Inward Looking, artinya AS lebih mementingkan kepentingan dalam negeri AS, kepada negara-negara mitra akan menerapkan tarif perdagangan yang tinggi. Terutama kepada negara yang mengalami surplus besar terhadap Amerika. Misalnya China, Uni Eropa, Mexico termasuk Vietnam. Sebagai informasi, tarif perdagangan yang tinggi akan diterapkan pada semester II 2025.
Pengenaan tarif tinggi, mengakibatkan terjadinya fragmentasi perdagangan yang ada. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut jadi melambat.
Akibatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang tadinya 3,2% kemungkinan akan turun menjadi 3,1%. Dan ini terjadi di negara-negara yang akan terdampak pengenaan tarif tinggi seperti China, Uni Eropa dan Ingris.
Misalnya kepada Uni Eropa, ada tarif 25% untuk besi aluminium, motor vehicle dan yang lain, sedangkan dengan China, tarif 25% untuk chemical.
Sementara untuk ekonomi dalam negeri Trump memberikan taxcut untuk personal maupun untuk korporasi. Untuk personal ada penurunan 3% sedangkan untuk korporasi jadi flat 21%. Intinya kebijakan ekonomi dalam negeri yang diterapkan Trump lebih mempertimbangkan ekonomi dalam negeri.
2. Dengan pertumbuhan ekonomi AS membaik, penurunan inflasi di AS juga berjalan lebih lambat yang tadinya 2,5% akan melambat. Sehingga penurunan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) diprakirakan juga akan lebih terbatas.
Kemungkinan akan ada pemangkasan FFR pada bulan Desember 2024 sebesar 25 bps. Tapi untuk tahun depan yang semula diprakirakan terjadi 3 sampai 4 kali pemangkasan FFR yang bernilai 75-100 bps, diprakirakan hanya 2 kali pemangkasan dengan nilai 50 bps.
3. Defisit fiskal pemerintah AS yang akan melebar, diprakirakan Defisit Fiskal akan membengkak tahun depan jadi 6,5%. Kebutuhan pembiayaan defisit fiskal yang lebih besar mendorong kembali meningkatnya yield US Treasury baik tenor jangka pendek maupun jangka panjang.
Penerbitan surat utang yang tadinya sudah menurun diperkirakan akan meningkat baik yang jangka pendek maupun jangka panjang. Yield UST tenor 2 tahun, tadinya 3,7% sekarang meningkat menjadi 4,3%, dan tahun depan diprakirakan akan naik menjadi 4,5%.
Sedangkan yield UST tenor 10 tahun, saat ini 4.5%, tahun depan dipirakirakan meningkat menjadi 4,7%. Sehingga utang pemerintah AS akan lebih banyak dan meningkat lebih banyak untuk tenor jangka panjang.
4. Dengan penurunan suku bunga FFR yang terbatas mengakibatkan yield US Treasury meningkat. Akibatnya terjadi berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS. Yang tadinya banyak menanamkan dananya di negara berkembang seperti Indonesia, kembali menanamkan dananya di AS sehingga dollar AS menguat.
5. Menguatnya dollar AS , dapat dilihat dari Indeks DXY yang meningkat menjadi 106,67 pada Kamis 14 November 2024.
Akibatnya terjadi tekanan pelemahan nilai tukar berbagai mata uang dunia semakin tinggi dan terjadi aliran keluar portofolio asing. Termasuk dari negara Emerging Market (EM). Hal ini akan mengarah pada keseimbangan baru.
Menurut Analis Vibiz Research Center, penguatan respons kebijakan diperlukan untuk memperkuat ketahanan eksternal dari dampak negatif memburuknya rambatan global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara EM, termasuk Indonesia.
Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting