Apa Manfaat Tambahan Insentif Likuiditas Makroprudensial BI terhadap Perbankan?

230
Apa Manfaat Tambahan Insentif Likuiditas Makroprudensial BI terhadap Perbankan?
Sumber: Bank Indonesia

 

(Vibiznews – Banking & Insurance) – Likuiditas perbankan kerap kali menjadi sorotan menyongsong tahun 2024. Untuk memperkecil masalah tersebut, Bank Indonesia (BI) meningkatkan alokasi insentif kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM) pada 2025 menjadi Rp 283 triliun.

Hal tersebut disampaikan Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) akhir pekan lalu.

Pertama, kebijakan Insentif Likuditas Makroprudensial (KLM) untuk mendorong kredit/pembiayaan yang akan kami arahkan ke sektor-sektor prioritas pencipta lapangan kerja.

Untuk itu, Bank Indonesia (BI) meningkatkan alokasi insentif kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM) dari Rp 259 triliun tahun ini. Menjadi Rp 283 triliun mulai Januari 2025. Perry mengatakan, kenaikan alokasi ini diharapkan bisa semakin banyak bank yang memanfaatkan insentif ini untuk membantu likuiditas.

Kedua, rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial tetap longgar. Demikian pula kebijakan Uang Muka kredit 0% tetap berlaku untuk kredit properti dan otomotif.

Ketiga, penguatan surveillance sistemik untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan, berkoordinasi erat dengan KSSK, OJK dan LPS.

Secara rinci, ada 123 bank yang telah memanfaatkan insentif tersebut. Di mana 49 bank mendapat insentif sebanyak 3% hingga 4% dari total Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dimiliki.

Meski demikian, beberapa bankir melihat insentif KLM untuk beberapa sektor tak membuat bank turut berbondong-bondong menyalurkan kredit ke sektor tersebut. Di mana, ada harapan bahwa BI bisa memberikan insentif likuiditas dengan tidak mengacu pada sektor-sektor tertentu.

Misalnya, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Royke Tumilaar mengatakan bahwa meskipun ada insentif KLM, pihaknya tak mengejar kredit. Yang diberikan ke beberapa sektor untuk mendapatkan insentif tersebut.

Sebab, bank memiliki risk appetite-nya masing-masing. Ia mencontohkan BNI yang fokus di kredit korporasi, maka penyaluran kredit ke sektor tersebut. Sementara, ia mengatakan untuk kredit UMKM ada bank lain yang memang ahli dan memiliki risk appetite di sektor tersebut.

“Misal sekarang insentif lebih dialokasikan ke industri padat karya, kalau ada yang bagus ya pasti kita masuk. Namun jika industri tekstil sedang tidak baik, ya kita gak biayain,” ujar Royke kepada media, belum lama ini.

Oleh karenanya, ia berharap BI bisa memberikan insentif yang lebih secara umum. Misalnya, menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) sekitar 3%, menurutnya itu akan lebih membantu likuiditas bank.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Krom Bank Indonesia Tbk Anton Hermawan mengungkapkan bahwa pihaknya juga tak optimal dalam memanfaatkan insentif tersebut. Mengingat, Krom Bank saat ini banyak berfokus untuk memberikan kredit ke ritel.

Ia menyatakan saat ini pihaknya lebih fokus untuk memenuhi kewajiban BI untuk Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM). Salah satunya dengan mempertahankan kredit UMKM yang merupakan warisan dari bank sebelum akuisisi yaitu PT Bank Bisnis Internasional Tbk.

Adapun, Anton menyebutkan pihaknya akan mencoba untuk kembali menyalurkan kredit ke UMKM. Namun, pihaknya akan mempersiapkan infrastruktur terlebih dahulu untuk bisa masuk ke sektor UMKM. Di mana saat ini Krom Bank baru memiliki aplikasi kredit untuk ritel.

Selanjutnya, Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Solikin M Juhro mengatakan regulasi insentif ini lebih diarahkan untuk kepentingan ekonomi yang lebih besar. Di mana, harapannya, pertumbuhan lebih berkualitas.

Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting