(Vibiznews – Property) – Berdasarkan Hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia (BI) di pasar primer pada triwulan III 2024 mengalami perlambatan.
Penjualan Properti Residensial di pasar primer pada Triwulan III 2024 secara tahunan menunjukkan penurunan. Pada Triwulan III 2024, penjualan properti residensial terkontraksi 7,14% (yoy).
Penurunan penjualan properti pada triwulan III 2024 terjadi pada tipe rumah kecil dan menengah masing-masing terkontraksi 10,05% (yoy) dan 8,80% (yoy).
Sementara tipe rumah besar masih tumbuh, namun melambat dari 27,41% (yoy) menjadi 6,83% (yoy).(sumber SHPR BI Triwulan III 2024)
BI Mengeluarkan Insentif KLM
Hal ini menjadi pertanyaan bagi kita mengingat BI telah mengeluarkan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). Insentif kelonggaran makroprudensial atau Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) adalah kebijakan dari Bank Indonesia (BI) untuk mendorong pertumbuhan kredit.
Untuk sektor properti, kebijakan makroprudensial yang bersifat akomodatif berupa melanjutkan pelonggaran Rasio LTV untuk Kredit Properti (KP), Rasio FTV untuk Pembiayaan Properti (PP).
Bahkan pada Oktober 2023, BI memutuskan untuk melanjutkan pelonggaran rasio LTV/FTV untuk KP/PP hingga 100%. Kebijakan ini berlaku untuk semua jenis properti, seperti rumah tapak, rumah susun, dan rumah kantor. Pelonggaran ini berlaku hingga 31 Desember 2024.
Namun pelonggaran rasio LTV/FTV yang dilakukan oleh BI, ternyata belum mengangkat permintaan properti dari masyarakat terlihat dari penjualan Properti Residensial di pasar primer pada Triwulan III 2024 secara tahunan menunjukkan penurunan. Bahkan pada triwulan III 2024, penjualan properti residensial terkontraksi 7,14% (yoy).
Apa saja faktor penyebabnya?
Berdasarkan laporan hasil SHPR BI triwulan III 2024, ada sejumlah faktor yang menghambat pengembangan dan penjualan properti residensial primer, di antaranya adalah:
i) Kenaikan harga bangunan (38,98%);
ii) Masalah perizinan (27,33%);
iii) Suku bunga KPR (21,43%);
iv) Perpajakan (15,61%)
.
Faktor Penghambat Pengembangan dan Penjualan Properti
1. Kenaikan harga bahan bangunan (38,98%).
Berdasarkan informasi dari Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), pelemahan nilai tukar Rupiah karena menguatnya dolar AS secara signifikan memengaruhi biaya bahan baku impor yang digunakan dalam sektor konstruksi.
Ketika nilai Rupiah melemah, harga bahan baku impor seperti besi, baja, semen, dan alat-alat berat yang diimpor akan meningkat.
Demikian ungkap Ketua Umum BPP Gapensi Andi Rukman Karumpa (sumber: OkeFinance, Rabu (19/6/2024)).
Andi menyebut kenaikan biaya ini berdampak langsung pada peningkatan biaya produksi secara keseluruhan. Akibatnya, margin keuntungan menjadi lebih kecil dan harga proyek bisa melonjak jika tidak ada penyesuaian anggaran. Andi menilai kenaikan biaya bahan baku yang tidak terduga ini perlu diakomodasi agar proyek-proyek dapat berjalan sesuai dengan rencana tanpa menurunkan kualitas.
Diharapkan pemerintah bisa memahami situasi ini dan memberikan dukungan melalui penyesuaian anggaran atau kebijakan yang meringankan beban kontraktor.
2. Masalah perizinan (27,33%)
Saat ini regulasi terkait perizinan cukup berbelit sehingga mempersulit penyediaan perumahan. Jika regulasi berbelit, tata kota suatu daerah juga bisa terbelit-belit. Oleh karena itu, omnibus law perumahan dibutuhkan, demikian ungkap Wakil Menteri Perumahan dan Permukiman Rakyat (PKP), Fahri Hamzah.
Menurut Fahri permasalahan yang ditemukan pada proses penyediaan perumahan adalah ketersediaan lahan dan perizinan. (sumber: DetikProperti, 30/11/2024).
Selain itu, Anggota Satgas Perumahan Presiden Prabowo Subianto, Bonny Z. Minang mengatakan, permasalahan perizinan telah menjadi perhatian serius.
Sebab, lambatnya proses perizinan dapat menghambat pengembangan properti di Indonesia, termasuk program 3 juta rumah yang diusung Presiden Prabowo. Untuk itu, Satgas Perumahan telah memberikan rekomendasi agar proses perizinan dipercepat. Perizinan akan dimaksimumkan 14 hari. (Dikutip dari Kompas.com 29/10/2024)
3. Suku bunga KPR (21,43%).
Meskipun BI telah menurunkan BI-Rate menjadi 6% sejak September 2024, namun bukan berarti bank dapat segera menurunkan suku bunga KPR nya.
Memang penurunan suku bunga acuan BI ini pada akhirnya akan direspons oleh penurunan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) yang selanjutnya akan berpengaruh pada penurunan suku bunga perbankan termasuk suku bunga kredit.
“Pada umumnya penurunan suku bunga deposito sekitar 1 bulan sementara transmisi pada suku bunga kredit sekitar 3-6 bulan. Hal ini tergantung dari kondisi likuiditas dan risiko kredit perbankan.”Demikian ungkap Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede (Sumber: CNBC Indonesia, 19/9/2024)
Jadi penurunan suku bunga perbankan itu nantinya akan mendorong permintaan kredit. Dampak penurunan terhadap permintaan kredit ini, memang membutuhkan waktu. Meski demikian, kebijakan ini akan mendukung fungsi intermediasi perbankan pada perekonomian riil.
4. Perpajakan (15,61%)
Bangun rumah sendiri kok kena pajak, inilah yang menjadi pertanyaan banyak orang tentang naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Terutama membangun sendiri atau tanpa kontraktor yang akan naik dari 2,2 persen menjadi 2,4 persen, mulai tahun depan.
Sebagai informasi, mulai 2025 besaran PPN secara umum naik dari yang sebelumnya 11% menjadi 12%. Hal itu sejalan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Pada Pasal 7 HPP disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 12% mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Jika ada kenaikan PPN, maka besaran PPN bangun rumah sendiri juga akan meningkat. Jika besaran PPN tahun depan 12%, maka tarif pajak bangun rumah sendiri naik menjadi 2,4%. Hal itu merupakan hasil perkalian 20% dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai 12%.
Hal inilah yang menjadi perdebatan banyak pihak. Ada yang pro dan kontra. Staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menanggapi pemberitaan mengenai penambahan pajak 2,4% bagi masyarakat yang membangun rumah sendiri atau KMS. Menurutnya, pengenaan pajak ini bukanlah pajak baru karena sudah diatur sejak tahun 1995 dalam
UU No 11 Tahun 1994.
Namun, perlu diperhatikan penambahan pajak ini tidak berlaku pada semua jenis pembangunan. Melainkan terdapat syarat dan ketentuan. Misalnya luas bangunan 200 meter persegi atau lebih baru dikenakan penambahan pajak pembangunan rumah..
Di sisi lain, Konsultan Properti Anton Sitorus menilai dengan naiknya pajak tersebut akan memberatkan masyarakat. Sebab, yang naik tidak hanya pajak bangun rumah sendiri melainkan pajak-pajak lainnya yang bisa mempengaruhi kantong masyarakat. (Sumber: Detikproperti, 18 September 2024)
Kesimpulan
Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang memberikan pelonggaran Rasio LTV untuk Kredit Properti (KP) tidak cukup untuk mengangkat permintaan properti.
Karena ada hal-hal lain yang perlu dilakukan pemerintah seperti penyesuaian anggaran atau kebijakan yang meringankan beban kontraktor mengingat meningkatnya bahan baku untuk produksi.
Selain itu masalah regulasi perizinan yang berbelit dan lamanya proses perizinan sehingga dapat dapat menghambat pengembangan properti di Indonesia. Hal ini tentunya menjadi prioritas pemerintah untuk diperbaiki.
Demikian juga naiknya PPN menjadi 12% dan tarif pajak bangun rumah sendiri menjadi 2,4%, mulai Januari 2025 perlu dilakukan evaluasi karena dianggap masih memberatkan masyarakat.
Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting