Tarif Baru AS 19%: Momentum Bagi Indonesia untuk Diversifikasi Ekspor dan Menguatkan Daya Saing

986

(Vibiznews – Economy & Business) Pada tanggal 15 Juli 2025, Presiden Donald Trump secara resmi mengumumkan pemerintahannya akan mengenakan tarif impor sebesar 19 % untuk seluruh barang yang diimpor dari Indonesia ke Amerika Serikat, efektif mulai 1 Agustus 2025 . Hal ini merupakan bagian dari strategi tarif global Trump, di mana negara lain menghadapi tarif antara 25 %–50 %, dan beberapa hingga 32 % .

Trump menegaskan, “They are going to pay 19 %, and we are going to pay nothing,” sebagai tandatangan kesepakatan baru yang memberikan akses pasar penuh bagi ekspor AS ke Indonesia tanpa tariff.

Isi Kesepakatan:

Presiden Trump menyebutkan bahwa perjanjian ini disertai komitmen Indonesia untuk:

  • Membeli produk energi USA senilai US$ 15 miliar
  • Mengimpor produk pertanian AS (seperti kedelai & wheat) senilai US$ 4,5 miliar
  • Memesan 50 unit Boeing (termasuk banyak Boeing 777)

Tidak ada kerangka waktu yang disebutkan secara spesifik, namun langkah ini dinilai sebagai bentuk balas budi untuk mendukung kesepakatan tarif yang “adil” bagi kedua negara.

Lihat video : Kesepakatan Perdagangan AS-Indonesia; Tarif Baru AS 19%

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memberlakukan tarif baru sebesar 19% terhadap barang-barang asal Indonesia memang sempat menimbulkan kekhawatiran awal di kalangan pelaku usaha. Namun, banyak ekonom menilai kebijakan ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk melakukan transformasi ekspor, meningkatkan nilai tambah produk, serta memperkuat posisi dagangnya di pasar global.

Analisis Makro: Mengapa 19 %?

Tarif 19 % ini merupakan tingkat terendah di antara negara-negara yang menjadi target kebijakan tarif Trump seperti China, EU, dan lainnya, yang dibebani tarif hingga 50 % Alasannya:

  1. Indonesia bukan pasar utama, nilai perdagangan AS dimana Indonesia hanya sekitar US$ 40 miliar tahun 2024, sehingga tarif lebih rendah dari 32 % yang sempat disinyalir sebelumnya .
  2. Sebagai simbol diplomasi ekonomi, tarif 19 % dianggap sebagai “slider” yang tidak terlalu memberatkan bagi Indonesia, sekaligus memberikan leverage Trump untuk melancarkan negosiasi serupa dengan India, EU, dan negara lain sebelum tenggat 1 Agustus.

Konteks Kebijakan Tarif Trump

Kebijakan tarif ini merupakan bagian dari program Trump “Liberation Day Tariffs”, yang pada April 2025 sempat ditangguhkan pasca-jalan ke WTO, lalu kembali aktif seraya AS masih menghadapi tantangan hukum dari berbagai pihak . Beberapa di antaranya bahkan sudah menang di hukumannya, meski implementasi tetap berlaku hingga putusan akhir (yang ditunda hingga Agustus) .

Dari perspektif ekonomi, tarif semacam ini digunakan AS untuk meredam defisit dagang dan meningkatkan posisi tawar negara-negara mitra. Namun, modelnya dianggap kasar dan memicu volatilitas global karena tarif AS kini mencapai rata-rata 20,6 % (dari sebelumnya sekitar 2–3 %) .

Posisi Perdagangan Indonesia-AS

Total perdagangan Indonesia-AS pada 2024 mencapai hampir USD 40 miliar. Meski tidak termasuk dalam 15 besar mitra dagang AS, volume perdagangan bilateral menunjukkan tren peningkatan. Ekspor AS ke Indonesia naik 3,7% tahun lalu, sementara impor AS dari Indonesia tumbuh 4,8%, sehingga defisit perdagangan barang AS dengan Indonesia mencapai hampir USD 18 miliar.

Berdasarkan data Biro Sensus AS dan TradeMap International Trade Centre, kategori utama impor AS dari Indonesia pada 2024 meliputi minyak kelapa sawit, peralatan elektronik (termasuk router dan switch data), alas kaki, ban mobil, karet alam, dan udang beku.

Menanggapi pengumuman ini, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Susiwijono Moegiarso, menyampaikan kepada Reuters bahwa pemerintah sedang menyiapkan pernyataan bersama Indonesia-AS untuk menjelaskan besaran tarif timbal balik dan rincian kesepakatan, termasuk aspek non-tarif dan komersial. “Akan segera kami informasikan kepada publik,” ujarnya melalui pesan singkat.

Banyak pihak menilai, Indonesia perlu menyikapi kebijakan ini dengan kepala dingin. Meski pada permukaan tampak memberatkan, namun langkah AS juga membuka peluang negosiasi untuk sektor-sektor tertentu yang strategis bagi kedua negara.

“Indonesia adalah pasar besar dengan pertumbuhan ekonomi stabil dan jumlah penduduk yang besar. AS juga membutuhkan Indonesia, bukan hanya sebaliknya. Ini harus menjadi dasar optimisme kita dalam melakukan negosiasi lebih lanjut,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios).

Trump sebelumnya mengancam Indonesia dengan tarif sebesar 32% mulai 1 Agustus, berdasarkan surat yang dikirimkan ke Presiden RI pekan lalu. Surat serupa juga telah dikirimkan Trump ke lebih dari 20 negara mitra dagang lain bulan ini, termasuk Kanada, Jepang, dan Brasil, dengan tarif berkisar 20%-50%, serta tarif khusus 50% untuk impor tembaga.

Sektor Ekspor yang Terdampak dan Potensi Penguatan

Berdasarkan data Biro Sensus AS dan TradeMap ITC, kategori utama ekspor Indonesia ke AS pada 2024 adalah:

  • Minyak kelapa sawit
  • Peralatan elektronik (router dan switch data)
  • Alas kaki
  • Ban mobil
  • Karet alam
  • Udang beku

Dengan adanya tarif baru, produsen alas kaki dan tekstil kemungkinan akan menghadapi tekanan harga jual. Namun, pelaku usaha optimis dapat mengatasinya dengan melakukan efisiensi produksi dan inovasi desain produk untuk mempertahankan daya saing di pasar AS.

Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, menegaskan industri alas kaki Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam menghadapi tantangan tarif. “Kami sudah terbiasa bersaing dengan Vietnam dan Kamboja. Tarif ini menantang, tapi juga memacu kami berinovasi, menggunakan bahan baku lokal lebih banyak, dan memperbaiki desain agar premium,” ujarnya.

Momen untuk Diversifikasi Pasar Ekspor

Ekonom Danareksa Research Institute menilai tarif 19% ini justru menjadi momentum kuat bagi Indonesia untuk mempercepat diversifikasi pasar ekspor, terutama ke kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Pasar-pasar tersebut saat ini tumbuh pesat dan memiliki struktur permintaan yang sesuai dengan komoditas unggulan Indonesia.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menambahkan, “Pasar AS memang penting, tetapi kita tidak boleh menaruh semua telur dalam satu keranjang. Kebijakan ini mengingatkan kita untuk membuka akses lebih besar ke pasar non-tradisional yang permintaannya terus naik.”

Mendorong Hilirisasi dan Nilai Tambah

Selain diversifikasi pasar, tarif AS 19% ini juga menjadi dorongan bagi Indonesia untuk mempercepat hilirisasi industri ekspor. Produk kelapa sawit, misalnya, jika diekspor dalam bentuk refined atau produk turunan pangan dan kosmetik bernilai tambah tinggi, memiliki elastisitas permintaan yang lebih rendah terhadap kenaikan harga dibandingkan CPO mentah.

Begitu pula dengan sektor karet dan ban, di mana perusahaan nasional dapat meningkatkan produksi ban mobil bernilai premium yang menyasar segmen menengah ke atas di AS, sehingga margin keuntungan tetap terjaga meski tarif naik.

Kebijakan Pemerintah yang Mendukung

Pemerintah Indonesia dalam berbagai forum menegaskan komitmennya untuk mendukung sektor ekspor melalui:

  1. Pemberian insentif fiskal bagi industri yang melakukan diversifikasi pasar ekspor dan peningkatan nilai tambah produk.
  2. Percepatan restitusi pajak bagi eksportir untuk menjaga arus kas perusahaan tetap sehat.
  3. Penyederhanaan prosedur ekspor melalui sistem National Logistics Ecosystem (NLE) yang terus diperkuat.
  4. Penguatan diplomasi dagang dengan AS dan mitra strategis lainnya untuk memperoleh perlakuan tarif yang lebih baik melalui perjanjian bilateral atau regional.

Optimisme di Tengah Tantangan

Menurut Bank Indonesia, kontribusi ekspor non-migas terhadap PDB Indonesia pada kuartal II-2025 tumbuh stabil di kisaran 5,1% yoy. Meskipun ada risiko penurunan volume ekspor ke AS, namun dengan pembukaan pasar baru dan penguatan hilirisasi, target pertumbuhan ekspor nasional tahun ini sebesar 6% masih dapat tercapai.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyatakan bahwa pemerintah akan terus melakukan negosiasi agar produk-produk Indonesia tetap kompetitif di pasar AS. Namun di sisi lain, Indonesia juga harus memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat pondasi ekspor nasional.

“Kita harus yakin, pasar ekspor Indonesia luas, dan kita memiliki banyak komoditas unggulan. Tarif AS ini adalah tantangan, tetapi sekaligus peluang bagi kita untuk menjadi pemain global yang lebih kuat dan mandiri,” tegasnya.

Memanfaatkan Momentum untuk Transformasi Ekspor

Tarif baru AS sebesar 19% untuk barang Indonesia adalah sebuah dorongan penting untuk:

  1. Mendorong diversifikasi pasar ke kawasan baru yang potensial.
  2. Mempercepat hilirisasi produk ekspor sehingga memiliki nilai tambah lebih tinggi.
  3. Memperkuat diplomasi dagang agar Indonesia memiliki posisi tawar lebih baik dalam perundingan global.
  4. Meningkatkan daya saing industri melalui efisiensi produksi, inovasi desain, dan penggunaan bahan baku lokal.

Dengan langkah strategis yang cepat, kolaborasi pemerintah dan pelaku usaha, serta optimisme dalam menghadapi tantangan global, Indonesia tidak hanya mampu mengatasi dampak tarif 19% ini, tetapi juga mengubahnya menjadi batu loncatan menuju kemandirian dan ketangguhan ekonomi nasional di masa depan.