Tarif 30% Amerika Atas Uni Eropa 1 Agustus : Bagaimana Strategi Balasan UE?

511

(Vibiznews-Economy) Amerika Serikat menegaskan kembali komitmennya untuk memberlakukan tarif baseline sebesar 30% terhadap Uni Eropa pada 1 Agustus mendatang, menimbulkan tekanan besar bagi para pemimpin Eropa yang tengah berpacu dengan waktu untuk mencapai kesepakatan dagang guna mencegah eskalasi sengketa perdagangan lintas Atlantik.

Pada akhir pekan lalu, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menyampaikan peringatan tegas bahwa tenggat waktu tersebut bersifat final. Dalam wawancara dengan CBS News, Lutnick mengatakan bahwa dirinya tetap optimis kesepakatan dagang dengan Uni Eropa dapat tercapai, tetapi menegaskan bahwa tarif baru akan mulai berlaku sesuai jadwal.

“Itu adalah tenggat waktu yang ketat, jadi pada 1 Agustus tarif baru akan diberlakukan,” tegas Lutnick.
“Negara-negara masih dapat terus berdiskusi dengan kami setelah 1 Agustus, tetapi mereka akan mulai membayar tarif pada tanggal tersebut.”

Meskipun demikian, Lutnick memberikan sinyal bahwa negosiasi masih dapat dilanjutkan setelah implementasi tarif, dengan menekankan pentingnya hubungan dagang antara kedua belah pihak.

“Ini adalah dua mitra dagang terbesar di dunia yang sedang berdialog satu sama lain. Kami akan mencapai kesepakatan. Saya yakin kesepakatan akan tercapai,” imbuhnya.

Tekanan Tarif dan Strategi Balasan Uni Eropa

Pernyataan keras AS ini memaksa Uni Eropa untuk mempertimbangkan respons yang efektif. Blok ekonomi tersebut telah menyiapkan langkah-langkah balasan jika tarif perdagangan yang bersifat hukuman tersebut benar-benar diterapkan. Menurut laporan CNBC, para pembuat kebijakan di Brussels telah berubah secara signifikan, dengan semua negara anggota , kecuali Hungaria yang memiliki kedekatan dengan Presiden Trump, dengan menunjukkan sikap lebih tegas dalam menyusun strategi respons bersama.

Salah satu opsi yang disiapkan Uni Eropa adalah menerapkan tarif balasan terhadap produk impor asal AS senilai €21 miliar, di mana rencana ini saat ini masih ditangguhkan hingga 6 Agustus mendatang. Selain itu, Komisi Eropa juga telah menyiapkan putaran kedua tarif potensial yang menargetkan perdagangan senilai €72 miliar. Barang-barang yang kemungkinan terdampak mencakup berbagai sektor, mulai dari produk pakaian, pertanian, hingga makanan dan minuman.

Bahkan, seperti dilaporkan oleh Wall Street Journal dan Bloomberg, semakin banyak negara anggota Uni Eropa yang mendukung penggunaan instrumen anti-koersi blok tersebut. Instrumen ini merupakan alat kebijakan dagang paling kuat milik Uni Eropa, yang akan memberikan Komisi Eropa kewenangan luas untuk mengambil tindakan pembalasan terhadap negara mitra dagang yang dinilai melakukan intimidasi atau tekanan ekonomi.

Kompleksitas Hubungan Dagang AS-UE

Negosiasi yang tengah berlangsung antara Washington dan Brussels dipenuhi tantangan politik dan ekonomi yang kompleks. Para ekonom menilai peluang Uni Eropa untuk memperoleh kesepakatan tarif yang setara dengan Inggris semakin kecil, mengingat dinamika hubungan AS-UE yang lebih sulit dibandingkan relasi AS-Inggris. Sebagai catatan, Inggris menjadi negara pertama yang berhasil mencapai kesepakatan dagang dengan AS, yang mencakup tarif baseline 10% dengan pengecualian tertentu di sektor otomotif, baja, dan dirgantara.

Sebaliknya, Presiden Trump kerap mengeluhkan defisit perdagangan AS dengan Uni Eropa, yang menurutnya disebabkan oleh praktik dagang yang tidak adil. Uni Eropa membantah tuduhan tersebut, dengan data Dewan Eropa menunjukkan bahwa total perdagangan barang dan jasa antara UE dan AS mencapai €1,68 triliun ($1,96 triliun) pada tahun 2024. Meskipun UE mencatat surplus perdagangan barang, blok tersebut mengalami defisit dalam perdagangan jasa, sehingga total surplus tahun lalu mencapai sekitar €50 miliar.

Laporan Financial Times pada Jumat lalu juga mengungkapkan bahwa Presiden Trump mendorong tarif minimum 15% hingga 20% untuk semua produk impor dari UE dalam kesepakatan apa pun. Selain itu, presiden AS dilaporkan ingin mempertahankan tarif 25% untuk sektor otomotif, sebuah kebijakan yang akan menimbulkan dampak besar bagi para eksportir mobil Jerman seperti Volkswagen, BMW, dan Mercedes-Benz.

Pergeseran Sentimen di Eropa

Ketegasan Gedung Putih dalam menegakkan kebijakan tarifnya telah memicu pergeseran strategi di Brussel. Seorang pejabat UE mengatakan kepada CNBC bahwa terdapat pergeseran sentimen di antara negara-negara anggota terkait potensi respons terhadap tarif 30%, kecuali Hungaria di bawah kepemimpinan Viktor Orban, yang dikenal memiliki hubungan dekat dengan Trump.

Para analis menilai, kenaikan tarif dari 10% yang berlaku sejak April menjadi 30% akan memberikan pukulan signifikan bagi sektor manufaktur dan ekspor Eropa, terutama bagi negara-negara seperti Jerman, Prancis, dan Italia yang memiliki keterkaitan erat dengan rantai pasok global berbasis AS.

Selain menyiapkan tarif balasan, blok Eropa juga mempertimbangkan aktivasi instrumen anti-koersi mereka. Langkah ini dinilai dapat memberikan leverage tambahan dalam perundingan dengan AS, mengingat instrumen tersebut akan memungkinkan Brussel untuk memberlakukan tindakan balasan yang luas dan cepat.

Dampak Ekonomi dan Arah Kebijakan Makro

Dari perspektif ekonomi makro, kebuntuan dalam perundingan dagang ini berpotensi meningkatkan tekanan inflasi di kawasan Eropa melalui kenaikan biaya impor, sekaligus menimbulkan gangguan pada stabilitas harga di berbagai sektor industri yang bergantung pada bahan baku dan komponen asal AS. Di sisi lain, pengenaan tarif balasan oleh UE juga dapat meningkatkan beban biaya bagi perusahaan-perusahaan AS yang mengekspor produknya ke pasar Eropa, terutama di sektor teknologi, pertanian, dan energi.

Para ekonom memperingatkan bahwa eskalasi ketegangan perdagangan ini dapat memicu perlambatan pertumbuhan global, mengingat AS dan UE merupakan dua blok ekonomi terbesar di dunia. Potensi dampak lanjutan termasuk penurunan permintaan ekspor negara ketiga, gangguan rantai pasok, serta meningkatnya volatilitas di pasar valuta asing dan komoditas.

Dalam konteks kebijakan moneter, ketidakpastian perdagangan yang berkepanjangan dapat mendorong European Central Bank (ECB) untuk mempertahankan kebijakan dovish lebih lama guna menopang aktivitas ekonomi domestik, sementara The Fed AS akan terus menyeimbangkan risiko inflasi dengan perlambatan global dalam menetapkan arah suku bunga mendatang.

Outlook: Apa Selanjutnya?

Dengan tenggat tarif hanya berjarak kurang dari dua pekan, intensitas perundingan dagang AS-UE diprediksi akan meningkat. Uni Eropa masih berharap dapat mencapai kesepakatan mirip dengan Inggris untuk menghindari kenaikan tarif yang dapat mengancam industri dan lapangan kerja mereka.

Namun, jika kompromi gagal tercapai sebelum 1 Agustus, dan AS tetap memberlakukan tarif baseline 30%, maka fokus investor global akan tertuju pada respons kebijakan fiskal dan moneter di kedua sisi Atlantik serta potensi dampaknya terhadap nilai tukar euro, dolar AS, dan dinamika perdagangan global secara keseluruhan.

Dunia kini menanti langkah akhir dari dua kekuatan ekonomi terbesar ini. Dampaknya dapat meluas, mulai dari tekanan inflasi di Eropa, penurunan daya saing industri, hingga terganggunya rantai pasok internasional. Dengan potensi eskalasi balasan tarif dari Uni Eropa, dinamika kebijakan moneter dan fiskal kedua wilayah akan menjadi sorotan utama pasar keuangan dalam beberapa pekan mendatang. Keberhasilan atau kegagalan negosiasi ini pada akhirnya akan menentukan arah pertumbuhan ekonomi global di tengah ketidakpastian geopolitik dan tantangan pemulihan pasca pandemi yang belum sepenuhnya usai.