(Vibiznews – Commodity) Harga emas kembali menjadi pusat perhatian pasar global setelah Goldman Sachs (GS) merilis proyeksi berani: harga kontrak berjangka emas (GCZ25) berpotensi mencapai level $5.000 per ons pada akhir tahun depan. Prediksi ini sontak menimbulkan perdebatan luas di kalangan investor, analis, hingga bank sentral. Apakah target ambisius ini realistis, atau hanya sekadar angka sensasional untuk menarik perhatian?
Dalam siaran langsung Market on Close tanggal 5 September, John Rowland, CMT, membedah lebih jauh argumen di balik proyeksi Goldman tersebut. Ia menekankan bahwa faktor pendorong reli emas kali ini berbeda dari tren historis, di mana pelemahan dolar AS biasanya menjadi katalis utama.
Independensi Federal Reserve dalam Sorotan
Salah satu dasar prediksi Goldman adalah isu independensi Federal Reserve (The Fed). Lembaga bank sentral AS tersebut secara teori beroperasi bebas dari tekanan politik. Namun dalam praktiknya, dinamika politik sering kali memengaruhi arah kebijakan moneter, terutama menjelang tahun pemilu.
Jika The Fed terpaksa lebih akomodatif karena tekanan politik, maka kebijakan pemangkasan suku bunga jangka pendek secara agresif dapat terjadi. Kondisi ini akan memicu lonjakan ekspektasi inflasi, yang pada gilirannya meningkatkan daya tarik emas sebagai aset lindung nilai (inflation hedge).
Hubungannya sederhana: ketika inflasi meningkat, daya beli mata uang fiat tergerus. Investor kemudian mencari aset keras (hard assets) seperti emas, yang nilainya cenderung stabil terhadap pelemahan mata uang.
Pergeseran Strategi Bank Sentral Global
Faktor berikutnya yang menjadi sorotan adalah pembelian emas oleh bank sentral dunia. Dalam beberapa dekade terakhir, petrodolar hasil surplus perdagangan energi biasanya didaur ulang ke dalam obligasi Treasury AS. Namun kini, tren tersebut mulai berubah.
- Bank sentral global kini mengalihkan sebagian besar cadangan devisanya ke emas, bukan lagi Treasury.
- Data terbaru menunjukkan cadangan emas global telah mencapai 27% dari total, level tertinggi dalam 30 tahun terakhir.
- Sebaliknya, kepemilikan Treasury AS oleh bank sentral dunia menurun ke 23%, terendah sejak Krisis Keuangan Global 2008.
Pergeseran ini mengindikasikan turunnya kepercayaan terhadap utang AS sebagai aset cadangan utama. Emas semakin diposisikan sebagai alternatif yang lebih aman, netral secara politik, dan tidak terikat dengan risiko fiskal AS yang kian membengkak.
Bagi negara-negara produsen energi atau ekonomi berkembang yang ingin mengurangi ketergantungan terhadap dolar, menimbun emas adalah langkah strategis. Tren ini memberikan dukungan fundamental yang kuat bagi harga emas dalam jangka panjang.
Apakah Target $5.000 Realistis?
Proyeksi harga emas hingga $5.000 per ons mungkin terdengar ekstrem. Namun bila kita menilik kombinasi faktor yang ada seperti permintaan bank sentral, ketidakpastian inflasi, serta potensi gangguan independensi The Fed, maka argumen Goldman bukan tanpa dasar.
Sejarah menunjukkan bahwa emas sering kali menjadi “barometer ketidakpastian”. Lonjakan harga emas biasanya sejalan dengan:
- Krisis keuangan (contoh: 2008–2011, emas naik ke rekor $1.900).
- Lonjakan inflasi (contoh: 1970-an, emas melesat dari $35 ke $800).
- Ketegangan geopolitik (contoh: invasi Rusia ke Ukraina pada 2022).
Jika kondisi makroekonomi saat ini semakin bergeser menuju resesi ringan di AS, pelemahan dolar, serta kebijakan moneter ultra-akomodatif, maka bukan mustahil harga emas menembus rekor baru. Target $5.000 mungkin tampak ambisius, namun tren struktural memberi ruang bagi kenaikan signifikan di atas level psikologis $4.000.
Risiko yang Perlu Diwaspadai
Meski prospek bullish kuat, investor juga harus menyadari risiko yang bisa membatasi reli emas:
- Penguatan Dolar AS: Jika ekonomi AS lebih tangguh dari perkiraan, arus modal dapat kembali ke dolar dan menekan emas.
- Stabilisasi Inflasi: Apabila inflasi melandai tanpa resesi, minat terhadap aset lindung nilai bisa berkurang.
- Kebijakan Bank Sentral Lain: Jika Eropa, Jepang, atau China mengambil langkah berbeda, dinamika arus modal global dapat berubah.
Dengan kata lain, meski momentum mendukung tren naik, volatilitas tetap akan tinggi. Trader dan investor perlu disiplin dalam mengelola risiko.
Apa Artinya bagi Investor dan Trader?
Bagi investor jangka panjang, tren pembelian bank sentral menunjukkan emas kembali menjadi komponen penting dalam alokasi portofolio global. Diversifikasi ke emas fisik, ETF berbasis emas, atau kontrak berjangka dapat menjadi strategi lindung nilai yang relevan menghadapi ketidakpastian.
Sementara bagi trader jangka pendek, peluang muncul dari volatilitas harga emas yang semakin tinggi. Level-level teknikal seperti $3.500 sebagai support utama dan area $3.800–$4.000 sebagai resistance psikologis perlu diperhatikan.
Jika momentum bullish berlanjut, skenario reli jangka menengah bisa membawa harga emas mendekati $4.200, sebelum membuka ruang spekulasi menuju $5.000.
Emas Kembali ke Panggung Utama
Prediksi Goldman Sachs tentang emas menuju $5.000 mungkin terdengar agresif, tetapi ia menyoroti pergeseran fundamental penting:
- Bank sentral dunia kini menjadikan emas sebagai prioritas utama cadangan devisa.
- Independensi The Fed menghadapi tekanan politik yang dapat memicu kebijakan lebih longgar dan inflasi lebih tinggi.
- Ketidakpastian fiskal AS melemahkan daya tarik obligasi Treasury sebagai aset cadangan global.
Apakah harga emas benar-benar mencapai $5.000 atau tidak, pesannya jelas: emas kembali ke sorotan, bukan hanya sebagai lindung nilai, tetapi juga sebagai instrumen perdagangan aktif dengan prospek jangka panjang yang kuat.



