(Vibiznews – Forex) – Ketidakpastian politik di Jepang dan Prancis, serta penutupan pemerintahan Amerika Serikat, membuat dolar AS kembali menjadi magnet bagi investor global. Sementara itu, pelemahan yen dan euro semakin menegaskan bahwa ketegangan geopolitik kini menjadi penggerak utama pasar keuangan dunia.
Dolar AS tampak bertahan kuat pada perdagangan Kamis (9/10), melanjutkan tren positif yang menjadikannya berada di jalur untuk mencatat pekan terbaik dalam hampir satu tahun terakhir. Kekuatan dolar kali ini bukan semata karena data ekonomi domestik yang kuat, melainkan karena kerapuhan politik dan ekonomi di Jepang dan Eropa yang mendorong investor mencari perlindungan pada aset paling likuid di dunia yakni dolar AS.
Selama seminggu terakhir, pasar global diselimuti oleh tiga guncangan besar :
- Pergantian kepemimpinan di Jepang
- Krisis politik di Prancis.
- Penutupan pemerintahan Amerika Serikat yang memasuki hari kesembilan. Kombinasi faktor-faktor ini memicu sentimen risk-off, di mana pelaku pasar menghindari risiko dan menempatkan dana mereka pada aset safe haven seperti dolar AS dan emas.
Pergantian Kepemimpinan di Jepang: Yen Tumbang ke Level Terendah 8 Bulan
Mata uang Jepang, yen, mengalami tekanan tajam setelah Sanae Takaichi, politisi konservatif dari Partai Demokrat Liberal (LDP), terpilih sebagai ketua partai. Keputusan ini sekaligus membuka jalan baginya untuk menjadi perdana menteri perempuan pertama dalam sejarah Jepang.
Pasar menilai kemenangan Takaichi sebagai sinyal kembalinya kebijakan fiskal longgar dan belanja besar-besaran, mengingat pandangannya yang mendukung pelonggaran moneter dan kebijakan ekspansif untuk mendorong pertumbuhan. Namun, bagi investor mata uang, pandangan tersebut berarti yen akan tetap lemah, karena Bank of Japan (BOJ) kemungkinan besar tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
Akibatnya, yen sempat terperosok hingga 153 per dolar, level terendah dalam delapan bulan terakhir, sebelum sedikit menguat ke 152,49 per dolar pada perdagangan Kamis pagi. Secara mingguan, yen telah melemah lebih dari 3%, menjadi kinerja terburuknya sejak September 2024.
Carol Kong, ahli strategi mata uang dari Commonwealth Bank of Australia, menilai bahwa tren pelemahan yen tampak sulit dihentikan.
“Kenaikan pasangan dolar/yen telah berlangsung tanpa henti, dan tampaknya tidak ada yang bisa menghentikan reli ini,” ujarnya.
“Dalam jangka pendek, konfirmasi Takaichi sebagai perdana menteri dan pertemuan BOJ bulan Oktober bisa menjadi katalis bagi pelemahan yen lebih lanjut, terutama jika Takaichi menegaskan sikap dovish dan BOJ tetap menunda kenaikan suku bunga.”
Dengan latar kebijakan moneter yang longgar dan ketidakpastian politik di dalam negeri, pasangan USD/JPY berpotensi terus menguat dalam jangka pendek, sementara investor global tetap berhati-hati terhadap risiko intervensi pemerintah Jepang untuk menahan pelemahan yen yang terlalu tajam.
Krisis Politik di Prancis Menekan Euro
Sementara di Eropa, krisis politik di Prancis menambah ketegangan pasar. Perdana Menteri Sebastien Lecornu dan kabinetnya secara mengejutkan mengundurkan diri awal pekan ini, memicu kekhawatiran baru tentang stabilitas pemerintahan Presiden Emmanuel Macron.
Kantor Macron menyatakan bahwa dalam waktu 48 jam, presiden akan menunjuk perdana menteri baru, namun ketidakpastian politik sementara ini telah menekan kepercayaan investor terhadap euro. Mata uang tunggal Eropa sempat melemah selama tiga hari berturut-turut, sebelum sedikit menguat 0,09% menjadi $1,1639 per euro, namun secara mingguan masih mencatat penurunan hampir 0,9%.
Ketidakpastian politik di Prancis, bersama dengan perlambatan ekonomi Jerman, telah memperkuat pandangan bahwa Eropa tengah menghadapi tekanan ganda baik dari sisi politik maupun industri. Akibatnya, investor global kembali memarkir dananya ke dolar AS yang dianggap lebih aman.
Kinerja Dolar AS Perkasa
Dengan melemahnya yen dan euro, dolar AS mendapatkan dorongan kuat. Terhadap sekeranjang mata uang utama, indeks dolar (DXY) stabil di sekitar 98,77, mencatat kenaikan lebih dari 1% dalam sepekan, sekaligus menandai pekan terbaiknya sejak akhir 2023.
Sterling Inggris sempat naik tipis 0,07% menjadi $1,3413 setelah menyentuh level terendah dua minggu, sementara dolar Australia dan Selandia Baru juga mencatat kenaikan terbatas. Namun, pergerakan ini lebih mencerminkan technical rebound ketimbang perubahan fundamental yang berarti.
Dolar Selandia Baru, misalnya, sempat anjlok sebelumnya setelah Bank Sentral Selandia Baru (RBNZ) memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin, langkah agresif yang mencerminkan kekhawatiran terhadap lemahnya kondisi ekonomi domestik. Kebijakan pelonggaran ini semakin memperkuat posisi dolar AS sebagai mata uang pilihan global di tengah gejolak ekonomi.
Faktor Internal AS: Shutdown dan Ketidakpastian Fed
Meski dolar menguat, situasi di Amerika Serikat sendiri juga tidak sepenuhnya stabil. Penutupan pemerintahan (government shutdown) yang telah berlangsung sembilan hari berisiko menunda publikasi data ekonomi utama. Hal ini dapat membuat Federal Reserve (The Fed) menghadapi pertemuan bulan Oktober dengan “mata tertutup,” karena kekurangan informasi makro terbaru untuk menentukan arah kebijakan suku bunga.
Dalam risalah rapat kebijakan bulan September, para pejabat The Fed sepakat bahwa risiko terhadap pasar tenaga kerja meningkat, sehingga pemangkasan suku bunga dianggap layak dilakukan. Namun, mereka juga tetap berhati-hati terhadap inflasi yang masih tinggi, sehingga kecepatan pelonggaran menjadi perdebatan.
Carol Kong menambahkan,
“Risalah rapat The Fed menunjukkan sikap hati-hati para pembuat kebijakan terhadap pemangkasan suku bunga lebih lanjut. Pasar tampaknya masih nyaman dengan ekspektasi dua kali pemangkasan lagi sebelum akhir tahun.”
Investor saat ini memperkirakan sekitar 44 basis poin pelonggaran tambahan hingga Desember 2025, namun sebagian besar pelaku pasar menunggu kejelasan setelah pemerintah AS kembali beroperasi penuh.
Dampak terhadap Pasar dan Strategi Investor
Dalam konteks pasar valuta asing, dolar AS tetap menjadi aset utama pilihan investor global. Dengan Eropa dan Asia menghadapi tekanan struktural, dolar diperkirakan akan mempertahankan momentum penguatan dalam jangka menengah.
Pasangan USD/JPY berpotensi melanjutkan reli menuju area 154–155 jika BOJ mempertahankan kebijakan ultra-longgar. Sebaliknya, EUR/USD kemungkinan akan tetap tertekan di bawah level 1,17 hingga situasi politik di Prancis dan data ekonomi zona euro menunjukkan perbaikan.
Bagi investor emas, kondisi saat ini menciptakan paradoks menarik. Biasanya, penguatan dolar menekan harga emas, namun kali ini keduanya sama-sama naik karena ketidakpastian global yang sangat tinggi. Emas menjadi pelindung nilai terhadap risiko geopolitik, sementara dolar tetap menjadi tempat aman bagi likuiditas.
Dunia dalam Mode “Risk-Off”
Kombinasi antara pergantian kepemimpinan Jepang yang dovish, krisis politik di Eropa, dan penutupan pemerintahan AS telah menempatkan pasar global dalam mode risk-off. Dalam situasi seperti ini, dolar AS dan emas muncul sebagai dua pemenang utama.
Investor global kini tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga mencari perlindungan. Dolar memberikan stabilitas dan likuiditas, sementara emas memberikan ketenangan di tengah ketidakpastian yang terus meningkat.
Selama ketegangan politik dan ekonomi belum mereda, dolar AS kemungkinan akan terus mendominasi pasar valuta asing, dan emas akan tetap bersinar sebagai simbol kehati-hatian investor terhadap masa depan ekonomi global.



