Reli Emas 2025 Tak Terbendung, Hal Apa yang Bisa Menjadi Remnya?

305

(Vibiznews – Commodity) Reli emas ke rekor tertinggi tahun ini didorong oleh permintaan fisik, perubahan aturan Basel III, dan menurunnya kepercayaan pada mata uang fiat,  namun penguatan dolar AS, aksi ambil untung, dan meredanya ketegangan geopolitik bisa menjadi rem jangka pendek.

Harga emas terus menanjak tanpa henti sepanjang 2025, menembus rekor demi rekor baru dan sempat menyentuh  level US$4.380 per ons pada Jumat 17 Oktober 25. Lonjakan ini menandai gelombang permintaan safe-haven yang luar biasa, seiring meningkatnya ketidakpastian global dan menurunnya kepercayaan pada mata uang kertas.

Bank sentral, dana kekayaan negara (sovereign wealth funds), dan investor institusi berbondong-bondong membeli emas fisik dalam volume terbesar selama beberapa dekade terakhir. Dengan kombinasi suku bunga rendah, inflasi yang kembali naik, dan tensi geopolitik yang memanas, reli ini tampak memiliki fondasi yang kokoh.

Namun di balik kekuatan reli ini, muncul pertanyaan penting: apa yang bisa menghentikan kenaikan emas yang tampaknya tak terbendung ini?

Lonjakan Permintaan Fisik dan Efek Basel III

Salah satu pendorong utama reli emas tahun ini adalah lonjakan permintaan terhadap emas fisik. Pasar berjangka London menghadapi tekanan besar dari pembeli yang meminta pengiriman nyata (physical delivery), sementara pasokan global kian ketat.

Sejak 1 Juli 2025, penerapan aturan Basel III di Amerika Serikat menjadikan emas fisik sebagai aset likuid Tier 1, sejajar dengan obligasi pemerintah AS dan uang tunai. Sebelumnya, emas hanya dikategorikan sebagai aset Tier 3 dan dihitung 50% dari nilai pasarnya dalam perhitungan modal perbankan.

Perubahan status ini membuat emas jauh lebih menarik bagi bank komersial dan lembaga keuangan besar sebagai aset cadangan inti. Akibatnya, permintaan terhadap emas batangan melonjak, sementara keengganan bank sentral untuk “menyewakan” atau melepas emas ke pasar turut memperketat pasokan.

Dana investasi berbasis emas seperti SPDR Gold Trust (GLD) juga memperbesar tekanan terhadap pasokan fisik, karena mereka menahan emas secara penuh untuk mendukung unit investasi mereka. Akumulasi masif oleh investor institusional dan negara seperti Tiongkok menunjukkan bahwa pasar kini lebih condong ke emas nyata dibandingkan klaim kertas (paper gold).

Di sisi lain, bank sentral Barat kini lebih berhati-hati dan mengurangi praktik gold leasing, yang sebelumnya membantu menambah likuiditas di pasar logam mulia. Kondisi ini membuat kekurangan pasokan fisik menjadi risiko serius bagi posisi short di pasar berjangka.

Fenomena ini bukan sekadar gangguan pasokan sementara, tetapi mencerminkan pergeseran structural, yakni hilangnya kepercayaan global terhadap stabilitas mata uang fiat. Dengan utang publik AS kini melampaui US$37 triliun dan rasio utang terhadap PDB mencapai 124%, banyak investor memandang inflasi sebagai cara terselubung untuk mengurangi beban utang melalui kenaikan nominal PDB.

Kekhawatiran terhadap pelemahan nilai dolar dan pelarian modal ke aset berwujud semakin memperkuat status emas sebagai penyimpan nilai utama.

Inflasi dan Runtuhnya Kepercayaan terhadap Fiat Currency

Data ekonomi terbaru AS memperlihatkan tanda-tanda perlambatan. Indeks ISM Services PMI turun ke angka 50,0 pada September menandakan stagnasi, sementara subindeks New Orders dan Employment juga melemah.

Namun, tekanan harga justru meningkat. Producer Price Index (PPI) melonjak, menandakan biaya input yang lebih tinggi dan tekanan pada margin keuntungan. Hal ini memperkuat ekspektasi inflasi yang berkelanjutan.

Secara historis, daya beli dolar AS terus tergerus. Indeks Purchasing Power CPI turun drastis dari 796 pada April 1933 menjadi hanya 30,9 pada Agustus 2025—penurunan yang makin tajam jika dibandingkan terhadap emas. Dengan ekonomi maju terjebak antara pertumbuhan lambat dan utang tinggi, kebijakan fiskal longgar dan suku bunga rendah menjadi pilihan utama.

Dalam konteks ini, inflasi bukan lagi ancaman, melainkan bagian dari strategi ekonomi. Dan bagi investor global, hard assets seperti emas menjadi satu-satunya pelindung nilai yang bisa diandalkan.

Apa yang Bisa Menghentikan Reli Emas?

  1. Penguatan Dolar AS

Kenaikan kembali indeks dolar AS (DXY) menjadi risiko terbesar bagi reli emas. Setelah sempat menyentuh area dukungan jangka panjang di 96, indeks dolar mulai pulih seiring naiknya imbal hasil obligasi global dan meningkatnya aversi risiko.

Kenaikan dolar membuat emas—yang dihargai dalam dolar—menjadi lebih mahal bagi pembeli di luar AS. Selain itu, jika ekonomi AS menunjukkan data kuat atau Federal Reserve memutuskan untuk menahan suku bunga lebih lama dari perkiraan, ekspektasi terhadap pelonggaran moneter bisa berbalik arah.

Hal ini bisa menekan harga emas, seperti yang terjadi pada penurunan akhir pekan lalu ketika emas sempat jatuh dari level rekor US$4.380 akibat penguatan mendadak dolar.

  1. Meredanya Ketegangan Geopolitik

Reli emas 2025 sangat bergantung pada permintaan safe haven. Jika ketegangan global mulai mereda baik dalam konflik Timur Tengah maupun hubungan dagang AS–Tiongkok maka permintaan terhadap aset lindung nilai dapat turun tajam.

Kondisi ini bisa mendorong investor untuk kembali ke aset berisiko seperti saham dan obligasi korporasi, memicu koreksi cepat pada harga emas. Meskipun pendorong struktural reli emas masih kuat, berkurangnya ketegangan geopolitik dapat menjadi rem jangka pendek terhadap momentum reli.

  1. Aksi Ambil Untung dan Koreksi Teknis

Setelah mencatat kenaikan luar biasa dan posisi teknikal yang jenuh beli, pasar emas kini rawan terhadap aksi ambil untung.

Hedge fund dan investor besar bisa saja mulai merealisasikan keuntungan mereka, yang berpotensi menciptakan gelombang koreksi tajam melalui rantai reaksi:

  • momentum melemah,
  • pembelian spekulatif menurun,
  • tekanan jual meningkat,
  • dan penurunan tajam dalam waktu singkat.

Pola parabolik yang sama pernah terjadi sebelumnya: dari US$100 ke US$873 antara 1976–1980 (+773%), dan dari US$253 ke US$1.921 antara 1999–2011 (+657%). Reli saat ini, yang dimulai dari level US$1.046 pada akhir 2015, menunjukkan pola yang serupa. Jika pola historis berulang, target jangka panjang bisa mencapai US$8.000–US$10.000 dalam beberapa tahun ke depan, namun bukan tanpa koreksi besar di tengah jalan.

Pola Musiman dan Prospek Akhir Tahun

Emas dikenal mengikuti pola musiman yang relatif konsisten. Dalam dua dekade terakhir, harga emas cenderung menguat antara September hingga Februari, didorong oleh peningkatan permintaan fisik dari India dan Tiongkok selama musim perayaan dan pernikahan, serta pembelian cadangan oleh bank sentral menjelang akhir tahun.

Data historis menunjukkan bahwa Januari, April, dan Desember sering menjadi bulan positif untuk emas, dengan peluang kenaikan lebih dari 60%. Oktober juga cenderung bullish, meski diikuti oleh koreksi singkat pada November sebelum reli kembali di Desember.

Tahun 2025, meski sangat bullish karena ketegangan geopolitik dan kebijakan perdagangan AS yang agresif, tetap menunjukkan pola yang serupa. Jika koreksi ringan muncul pada November, hal itu bisa menjadi peluang akumulasi strategis menjelang akhir tahun.

Reli Masih Jauh dari Usai

Reli emas tahun 2025 adalah hasil dari kombinasi unik antara permintaan fisik, perubahan regulasi, ketidakpastian geopolitik, dan menurunnya kepercayaan pada mata uang fiat. Selama faktor-faktor tersebut bertahan, arah jangka panjang emas masih bullish kuat.

Meski begitu, risiko koreksi jangka pendek tetap nyata. Penguatan dolar AS, data ekonomi positif, atau penurunan tensi global bisa memicu penurunan sementara. Namun setiap koreksi kemungkinan hanya menjadi “napas teknikal” sebelum reli berikutnya dimulai.

Dengan dukungan fundamental berupa inflasi tinggi, utang membengkak, dan permintaan global yang solid, emas berpotensi melanjutkan reli nya, bahkan tak mustahil emas berpotensi menuju zona US$9.000–US$10.000 dalam siklus kenaikan jangka panjangnya.