Pemerintah Lanjutkan Rencana Redenominasi Rupiah: Pangkas Nol, Bukan Nilai

733
Perkembangan Indikator Stabilitas Nilai Rupiah (18 Juli 2025); Rupiah Menguat
Sumber: Bank Indonesia

(Vibiznews-Economic)

Redenominasi Rupiah: Pangkas Nol, Bukan Nilainya

Pemerintah Indonesia kembali menghidupkan wacana redenominasi rupiah setelah lebih dari satu dekade wacana tersebut sempat menghilang dari agenda kebijakan ekonomi. Langkah ini dinilai bertujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, memperkuat kredibilitas mata uang nasional, dan menjaga stabilitas sistem keuangan jangka panjang.

Dalam konteks ekonomi modern, redenominasi merupakan langkah teknis untuk menyederhanakan sistem mata uang dengan memangkas jumlah nol pada nominal uang, tanpa mengubah daya beli atau nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Redenominasi rupiah artinya adalah penyederhanaan nilai nominal uang dengan menghapus beberapa nol di belakang angka pada mata uang, tanpa mengubah nilai atau daya belinya.

Dengan kata lain, redenominasi tidak menurunkan nilai rupiah terhadap dolar AS atau menyebabkan uang menjadi “lebih murah”, tetapi hanya mengubah tampilan nominal agar lebih sederhana dan efisien.

Misal nya jika pemerintah memangkas tiga nol:

  • Rp1.000 menjadi Rp1
  • Rp10.000 menjadi Rp10
  • Rp100.000 menjadi Rp100

Namun harga barang juga ikut disesuaikan:

  • Kopi seharga Rp20.000 akan menjadi Rp20
  • Gaji Rp10.000.000 akan menjadi Rp10.000

Nilai riil (daya beli) tidak berubah melainkan hanya angka di mata uang dan sistem keuangan yang disederhanakan.

Dengan kata lain, redenominasi tidak menurunkan nilai rupiah terhadap dolar AS atau menyebabkan uang menjadi “lebih murah”, tetapi hanya mengubah tampilan nominal agar lebih sederhana dan efisien.

Rencana tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029, yang diterbitkan pada 10 Oktober dan resmi diundangkan pada 3 November. Di dalam dokumen itu, disebutkan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Redenominasi Rupiah merupakan bagian dari agenda kebijakan strategis yang direncanakan untuk diselesaikan pada tahun 2027.

Langkah ini menandai kebangkitan kembali wacana yang sudah lama tertunda. Pemerintah terakhir kali mengajukan RUU serupa pada tahun 2013, dengan usulan pemangkasan tiga nol dari denominasi rupiah. Namun, pembahasan tersebut tidak berlanjut di DPR akibat situasi ekonomi dan politik yang dinilai belum kondusif.

Kini, seiring dengan membaiknya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan nasional, pemerintah tampak lebih siap menata ulang struktur nominal mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya.

Bukan Devaluasi, Tapi Penataan Nominal

Salah satu kekhawatiran publik terhadap kebijakan redenominasi adalah potensi penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Namun, Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa redenominasi tidak sama dengan devaluasi.

Dalam devaluasi, nilai mata uang diturunkan terhadap mata uang asing sehingga harga barang impor naik dan daya beli menurun.

  • Redenominasi = hanya memotong nol, tidak mengubah daya beli.
  • Devaluasi = menurunkan nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing (daya beli menurun).

Jadi, redenominasi rupiah adalah penataan ulang struktur nominal mata uang, bukan menurunkan nilainya, melainkan membuat rupiah lebih efisien, ringkas, dan modern.

Sebagai gambaran, uang pecahan Rp100.000 yang saat ini setara dengan sekitar US$6, setelah redenominasi bisa berubah menjadi Rp100. Namun, nilai barang dan jasa yang dapat dibeli dengan uang tersebut tetap sama.

Dalam konteks ekonomi modern, redenominasi merupakan langkah teknis untuk menyederhanakan sistem mata uang dengan memangkas jumlah nol pada nominal uang, tanpa mengubah daya beli atau nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

“Redenominasi adalah reformasi administratif, bukan kebijakan moneter untuk menurunkan nilai tukar,” ujar seorang pejabat BI dalam wawancara sebelumnya.

Bank Indonesia sendiri telah menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan redenominasi sejak 2023, namun belum menemukan waktu yang tepat untuk pelaksanaannya. BI menilai, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada tiga faktor utama: kondisi makro ekonomi yang stabil, ketahanan sistem keuangan, serta dukungan sosial dan politik yang kuat.

Mengapa Redenominasi Diperlukan?

Pemerintah menilai penyederhanaan nominal ini dapat membawa sejumlah manfaat penting, yakni :

  1. Efisiensi transaksi ekonomi akan meningkat karena proses pencatatan akuntansi dan perhitungan harga menjadi lebih sederhana.
  2. Sistem pembayaran digital dan perbankan akan menjadi lebih praktis dan mudah dipahami oleh masyarakat.
  3. Dari sisi psikologis, redenominasi diharapkan dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap rupiah, yang selama ini masih dianggap “bernilai kecil” karena jumlah nol yang terlalu banyak.
  1. Meningkatkan kredibilitas rupiah di mata publik dan internasional.

Kementerian Keuangan dalam dokumen PMK 70/2025 menegaskan, tujuan utama dari redenominasi ini adalah untuk “meningkatkan efisiensi ekonomi, menjaga stabilitas, serta memperkuat kredibilitas rupiah sebagai simbol kedaulatan ekonomi nasional.”

Kapan Waktu yang Tepat?

Menentukan waktu pelaksanaan redenominasi menjadi tantangan tersendiri. Proses ini tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa, karena memerlukan persiapan teknis yang panjang . Mulai dari revisi sistem pembayaran, pencetakan uang baru, sosialisasi ke masyarakat, hingga penyesuaian sistem akuntansi di sektor publik dan swasta.

Menurut pengalaman negara-negara lain, seperti Turki, Korea Selatan, dan Rusia, proses redenominasi idealnya dilakukan dalam periode stabilitas ekonomi yang kuat, di mana inflasi rendah dan kepercayaan publik terhadap pemerintah relatif tinggi.

Indonesia sendiri kini berada dalam posisi yang cukup solid. Inflasi terkendali di kisaran 2,5–3%, pertumbuhan ekonomi tetap stabil di atas 5%, dan cadangan devisa berada pada level aman. Kondisi ini memberikan ruang bagi pemerintah untuk melaksanakan reformasi mata uang tanpa menimbulkan gejolak di pasar finansial.

Namun, pemerintah tetap berhati-hati. Kementerian Keuangan menargetkan finalisasi RUU ini pada 2027, memberi cukup waktu untuk konsultasi lintas lembaga, pembahasan dengan Bank Indonesia, serta edukasi publik agar tidak menimbulkan salah persepsi.

Tantangan Sosial dan Persepsi Publik

Salah satu aspek paling krusial dari redenominasi adalah penerimaan masyarakat. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa publik sering kali mengaitkan redenominasi dengan krisis atau devaluasi, terutama karena trauma terhadap inflasi tinggi pada era 1998.

Bank Indonesia menekankan pentingnya komunikasi publik yang efektif. Sosialisasi harus memastikan masyarakat memahami bahwa nilai uang mereka tidak berkurang, hanya bentuk nominalnya yang berubah. Pemerintah juga diharapkan menggandeng pelaku usaha, lembaga keuangan, dan media untuk menjelaskan proses transisi secara bertahap.

Selain itu, pemerintah perlu memastikan koordinasi lintas sektor  termasuk dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan, dan industri ritel agar sistem pencatatan harga dan transaksi dapat menyesuaikan dengan denominasi baru tanpa kebingungan di lapangan.

Menuju Rupiah yang Lebih Efisien dan Kredibel

Redenominasi bukan sekadar soal memangkas nol, tetapi juga simbol modernisasi ekonomi nasional. Langkah ini mencerminkan ambisi Indonesia untuk memperkuat kepercayaan terhadap rupiah, baik di tingkat domestik maupun internasional.

Jika berjalan sesuai rencana, redenominasi dapat membantu meningkatkan efisiensi sistem keuangan, memperkuat persepsi stabilitas ekonomi, dan menciptakan citra positif bagi investor asing.

Dengan target penyelesaian pada tahun 2027, pemerintah kini memiliki kesempatan untuk menyiapkan kebijakan ini secara matang dan terukur.

Pada akhirnya, keberhasilan redenominasi akan bergantung pada konsistensi kebijakan ekonomi makro, dukungan politik yang solid, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah serta lembaga keuangan nasional. Bila semua elemen itu terjaga, rupiah baru nanti bukan hanya lebih ramping, tapi juga lebih kuat dan berwibawa serta mencerminkan optimisme terhadap masa depan ekonomi Indonesia.