IHSG Dibuka Menguat ke 8.433,72, Pasar Saham Asia Dipengaruhi Sentimen Ketegangan China dan Jepang

185
IHSG Dibuka di Zona Hijau Menguat 0,15% ke 8.653,04, JP Morgan Indonesia Proyeksikan IHSG Capai 10.000
Vibizmedia Photo

 

(Vibiznews – IDX Stock) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak mixed pada awal perdagangan Selasa (18/11/2025) namun cenderung menguat. Pukul 09.06 WIB, IHSG menguat 15,29 poin atau 0,17% ke 8.433,72.

Berdasarkan pengamatan terdapat 207 saham naik, 191 saham turun dan 239 saham stagnan.

Hanya lima indeks sektoral yang menguat, sedangkan enam indeks sektoral lainnya masuk zona merah. Indeks sektoral dengan kenaikan terbesar adalah sektor properti yang naik 3,20%, sektor keuangan naik 0,28% dan sektor teknologi yang naik 0,20%.

Sedangkan indeks sektoral dengan pelemahan terdalam adalah sektor energi yang turun 1,07%, sektor barang baku turun 0,47% dan sektor transportasi yang turun 0,37%.
Total volume perdagangan saham di bursa pagi ini mencapai 2,48 miliar saham dengan total nilai Rp 1,17 triliun.

Sementara itu, perdagangan pasar saham negara-negara Asia masih dipengaruhi oleh sentimen ketegangan antara China dan Jepang yang makin meningkat. Para investor menyoroti kedua negara tersebut setelah Beijing memperingatkan warganya tentang rencana perjalanan dan studi di Jepang.

Indeks acuan Jepang, Nikkei 225, turun 0,92%, sementara Topix turun 0,6%. Sedangkan Kospi Korea Selatan turun 0,64% sementara Kosdaq yang berkapitalisasi kecil turun 0,58%.

Kemudian, Kontrak berjangka untuk indeks Hang Seng Hong Kong berada di 26.178. Angka ini lebih rendah dari penutupan terakhirnya di 26.384,28.

Begitu juga Indeks acuan Australia S&P/ASX 200 turun 0,76%.

Menurut Analis Vibiz Research Center, dari dalam negeri, perekonomian Indonesia pada pertengahan November 2025 tengah menghadapi kondisi anomali. Yang menantang logika siklus bisnis konvensional. Di permukaan, indikator stabilitas makro terlihat solid dengan penurunan utang luar negeri dan likuiditas perbankan yang melimpah ruah.

Namun, jika ditelusuri hingga ke level mikro dan sektor riil, terdapat tekanan nyata berupa perlambatan konsumsi, keengganan korporasi untuk berekspansi. Serta langkah agresif pemerintah dalam memperketat kebijakan fiskal.

Hal ini dikenal dengan “Paradoks Likuiditas”. Artinya sistem keuangan nasional sedang kebanjiran uang, namun aliran dana tersebut tersumbat dan gagal memacu mesin pertumbuhan ekonomi secara optimal.

Situasi ini tentu saja menciptakan divergensi tajam antara sektor keuangan yang sangat cair dan sektor riil yang cenderung kering.

Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting