The Fed Pangkas Suku Bunga, Apa Dampaknya ke KPR dan Harga Rumah

228
Vibizmedia Photo

(Vibiznews – Economy & Business) Ketika The Federal Reserve (The Fed) resmi memangkas suku bunga acuannya, banyak pelaku pasar langsung berspekulasi: biaya pinjaman akan turun, kredit akan lebih murah, dan harga asset termasuk property akan kembali melesat. Di tingkat rumah tangga, narasi itu sering kali diterjemahkan lebih sederhana: “Begitu suku bunga turun, harga rumah pasti naik lagi.”

Namun, apakah hubungan antara suku bunga The Fed, suku bunga KPR, dan harga rumah memang sesederhana itu? Tidak selalu.

Sebuah percakapan dengan sepasang pemilik rumah yang ingin menjual propertinya menggambarkan persoalan ini dengan cukup jelas. Agen properti mereka mengakui pasar sedang agak lesu, namun optimistis bahwa suku bunga akan turun tahun ini, dampaknya, harga rumah berpotensi terdongkrak. Asumsi tersebut terdengar logis, tetapi data historis menunjukkan cerita yang jauh lebih kompleks.

Fed funds dan suku bunga KPR: terkait, tapi tidak identik

Langkah The Fed yang paling banyak disorot pasar adalah perubahan pada federal funds rate: suku bunga jangka pendek yang dikenakan antar bank untuk pinjaman semalam. Suku bunga ini menjadi rujukan penting bagi sejumlah instrumen keuangan, tetapi tidak secara langsung menentukan berapa bunga yang harus dibayar konsumen atas KPR 30 tahun.

Suku bunga KPR lebih erat kaitannya dengan suku bunga jangka panjang, seperti imbal hasil obligasi pemerintah tenor panjang, yang dipengaruhi oleh inflasi, ekspektasi investor, permintaan perumahan, hingga sentimen global. Meski begitu, data puluhan tahun menunjukkan bahwa suku bunga jangka pendek dan jangka panjang cenderung bergerak searah. Sejak akhir 1980-an, selisih rata-rata antara suku bunga acuan The Fed dan suku bunga KPR 30 tahun berada di kisaran 3 poin persentase.

Artinya, jika suku bunga The Fed berada di sekitar 3,5%, suku KPR yang “wajar” bisa saja bertengger di level 6,5% yang kira-kira di rentang yang terlihat saat ini. Dengan kata lain, pemangkasan suku bunga acuan memang membuka peluang penurunan suku KPR, tapi tidak otomatis membawa bunga kembali ke level super rendah 2–3% seperti era pandemi.

Hal itu juga disoroti oleh Eric Steuernagle, pemilik Fairground Real Estate di Great Barrington. Menurutnya, harapan bahwa perumahan akan kembali sangat terjangkau karena suku bunga turun cukup berlebihan. “Harga rumah mungkin akan naik lagi kalau Anda yakin suku bunga akan kembali ke 2,75 persen, tetapi itu mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup,” ujarnya.

The Fed baru-baru ini memangkas federal funds rate sebesar 0,25 poin persentase dan pasar masih memperkirakan beberapa pemangkasan tambahan dengan total sekitar 0,75 poin tahun ini. Tujuannya jelas: menopang aktivitas ekonomi di tengah mulai munculnya tanda-tanda pelemahan pasar tenaga kerja. Namun, sejarah menunjukkan bahwa penurunan suku bunga acuan sebesar itu biasanya hanya mendorong penurunan moderat pada suku bunga KPR, bukan penurunan drastis.

Di sisi lain, bagi banyak calon pembeli rumah, suku bunga di kisaran 5–6% masih terasa mahal jika dibandingkan dengan suku sekitar 3% yang sempat dinikmati pada 2020–2021. Ini berarti pemangkasan suku bunga The Fed tidak serta-merta mengembalikan daya beli ke level yang sama seperti era likuiditas ultra-longgar beberapa tahun lalu.

Suku bunga turun, harga rumah naik? Tidak selalu

Secara teori, suku bunga KPR yang lebih rendah akan membuat cicilan bulanan lebih ringan, sehingga memperluas basis pembeli potensial dan mendukung kenaikan harga rumah. Di ruang kelas teori ekonomi, logika ini cukup rapi. Namun di lapangan, data historis bercerita lain.

Jika kita melihat beberapa episode utama pemangkasan suku bunga dalam beberapa dekade terakhir, hasilnya sangat bervariasi:

  • Awal 1990-an (resesi Perang Teluk)
    Suku bunga KPR turun tajam dari sekitar 10% menjadi 7% antara 1990 dan 1993. Namun harga rumah nasional hampir tidak bergerak, hanya naik sekitar 2% dalam empat tahun. Penurunan biaya pinjaman tidak mampu mengimbangi tekanan ekonomi yang lebih luas.
  • Awal 2000-an (kehancuran dot-com)
    Antara 1999 dan 2003, suku bunga turun dari sekitar 8% menjadi 6%. Kali ini, harga rumah justru melonjak sekitar 40% secara nasional. Likuiditas berlimpah, kepercayaan konsumen membaik, dan kredit perumahan mengalir deras—kombinasi yang menciptakan boom harga properti.
  • Krisis keuangan global 2007–2008
    Suku KPR turun dari sekitar 6% menjadi 5%, tetapi harga rumah anjlok sekitar 17%. Di sini, kualitas kredit yang buruk, gelembung perumahan yang pecah, dan krisis keuangan global jauh lebih dominan dibandingkan dampak penurunan suku bunga.
  • Pandemi COVID-19 2019–2020
    Suku KPR merosot dari sekitar 4,5% menjadi rekor terendah sekitar 2,7%. Harga rumah melonjak 14% dan terus menanjak setelahnya. Lonjakan permintaan akibat perubahan pola hidup, kebijakan stimulus besar-besaran, dan penawaran rumah yang terbatas menciptakan “perfect storm” bagi kenaikan harga.

Dari empat episode besar ini, satu pola jelas muncul: suku bunga memang faktor penting, tetapi bukan satu-satunya. Tingkat pengangguran, kesehatan sistem keuangan, kinerja pasar saham, dan kepercayaan konsumen sering kali menjadi penentu utama. Penurunan suku bunga dapat menjadi katalis, tetapi hasil akhirnya sangat ditentukan oleh konteks ekonomi dan keuangan yang menyertainya.

Pasar perumahan yang terkunci

Steuernagle menyoroti satu dinamika yang kini banyak muncul di Amerika Serikat: pemilik rumah yang “terkunci” oleh suku bunga rendah. Banyak rumah tangga melakukan refinancing saat suku bunga berada di sekitar 3%. Kini, ketika suku baru turun sedikit dari puncaknya dan masih di kisaran 5–6%, mereka enggan menjual rumah dan mengganti KPR murah tersebut dengan pinjaman baru yang jauh lebih mahal.

Situasi ini menekan pasokan rumah di pasar. Di sisi lain, calon pembeli tetap dibayangi masalah keterjangkauan: harga rumah sudah naik signifikan sejak pandemi, sementara suku bunga belum turun cukup dalam untuk mengimbangi. Penurunan ke level 5% mungkin memberikan sedikit ruang napas, tetapi kecil kemungkinan memicu euforia pembelian seperti pada 2020–2021.

Faktor lokal sering kali lebih menentukan

Di atas semua itu, perlu diingat bahwa pasar perumahan bersifat sangat lokal. Pajak properti, peluang kerja di daerah tersebut, kualitas sekolah, infrastruktur, dan faktor komunitas sering kali lebih menentukan minat dan kemampuan beli dibandingkan level suku bunga nasional.

Steuernagle menegaskan bahwa dalam banyak kasus, beban pajak dan biaya lokal lain justru menjadi variabel kunci dalam menghitung keterjangkauan, bukan hanya angka suku bunga KPR. Dua wilayah dengan suku bunga sama bisa memiliki dinamika harga rumah yang sangat berbeda, tergantung kombinasi faktor-faktor tersebut.

Apa artinya bagi pembeli dan penjual?

Bagi pembeli dan penjual rumah saat ini, pesan utamanya adalah: jaga ekspektasi tetap realistis.

Secara rasional, memang bisa diharapkan bahwa pemangkasan suku bunga The Fed akan mendorong penurunan moderat pada suku bunga KPR. Namun, tidak ada jaminan suku akan kembali ke level super rendah yang pernah kita lihat, dan tidak ada kepastian bahwa harga rumah otomatis meroket setelahnya.

Harga rumah digerakkan oleh rangkaian faktor yang jauh lebih luas: kondisi ekonomi, pasar tenaga kerja, sentimen investor, kinerja pasar saham, hingga kebijakan fiskal dan perpajakan di tingkat lokal. Dalam banyak kasus, faktor-faktor inilah bukanlah sekadar keputusan The Fed yang lebih berperan dalam menentukan arah harga rumah.

Bagi penjual, artinya jangan menunggu “momen suku bunga ajaib” sebagai satu-satunya pendorong kenaikan harga. Bagi pembeli, fokus sebaiknya bukan hanya pada mengejar titik terendah suku bunga, tetapi pada kesesuaian harga, stabilitas penghasilan, dan horizon investasi jangka panjang.

Pada akhirnya, suku bunga The Fed memang penting, tetapi hanyalah satu bab dalam cerita panjang dinamika pasar perumahan.