StanChart Pangkas 15 Ribu Karyawan dan Jual Saham Rp70 Triliun; Apa Risikonya?

649

Standard Chartered dikabarkan berencana memangkas 15 ribu karyawannya dan melepas sebagian sahamnya untuk mendapatkan dana senilai US$5,1 miliar (hampir Rp70 triliun atau sekitar Rp69,4 triliun pada kurs Rp13.600 per USD) dengan CEO barunya yang memasang rencana untuk memulihkan keuntungan bank setelah tiga tahun sebelumnya tingkat keuntungannya terus tergerus karena terjebak dalam kesalahan strategi. Kerugian terbukukan karena lonjakan kredit macet di India.

Bank, yang diperhitungkan sebagai salah satu dari 30 bank paling berpengaruh di dunia, akan memangkas 17 persen dari SDM-nya untuk menghemat biaya sebesar US$2,9 miliar (ekuivalen Rp39,44 triliun) pada tahun 2018, serta akan melepas atau lakukan restrukturisasi sepertiga portfolio kreditnya sampai senilai US$100 miliar (sekitar Rp1.360 tiliun), demikian lansir dari laman Reuters (3/11).

Saham Standard Chartered langsung anjlok 6,2 persen di pasar Hong Kong setelah mengumumkan kerugian sebelum pajak senilai US$139 juta pada kuartal ketiga, melanjutkan penurunan sepanjang tahun ini menjadi 31 persen.

Chief Executive Officer (CEO) Bill Winters berupaya memperbaiki kerusakan yang disebabkan ekspansi pendahulunya, Peter Sands, di emerging market seperti India, yang dibebani tunggakan utang.

Standard Chartered sebelumnya telah memangkas 4000 karyawannya tahun ini. Winters menyebutkkan bahwa sekitar 1000 staf senior, atau seperempat dari jajaran eksekutifnya, sudah diberi tahu bahwa mereka harus pergi.

Sementara itu, pelepasan atau restruktrisasi aset berisiko senilai US$100 miliar (sekitar Rp1.360 tiliun) akan termasuk di dalamnya portfolio kepada debitur individu senilai total $20 miliar (sekitar Rp272 tiliun) yang disebutkan berada di luar toleransi risiko daripada bank dan karenanya harus dilkuidasi.

CEO Standchart ini juga berencana melanjutkan restrukturisasi bisnis bermasalah di Korea dan me-reposisi-kan aktivitasnya di Indonesia, di samping mengurangi aset di commercial dan investment banking.  Bank juga berencana akan mengurangi operasional retail perbankan yang ada di kota-kota kecil.

Biaya restrukturisasi dikabarkan akan menelan US$3 miliar (sekitar Rp4,1 triliun). Winters menyampaikan akan juga investasi senilai lebih dari US$1 miliar dalam tiga tahun ke depan untuk mengembangkan bisnis retail dan private banking di Afrika, serta menguatkan pengawasan. 

Permasalahan

Permasalahan yang dialami Standard Chartered ini dipicu berita kerugian operasional bank sebesar US$139 juta pada kuartal ketiga ini, ditekan oleh meningkatnya biaya-biaya regulasi secara global serta naiknya kerugian portfolio kredit di India. Pendapatan bank terus tergerus sampai 18 persen (yoy).

Kerugian ini melanjutkan empat kali kerugian kuartalan sebelumnya secara berturut-turut. Permasalahan menekan bank besar ini sejak tahun 2012 saat StandChart didenda sebesar US$667 juta (sekitar Rp9,1 triliun) karena melanggar sanksi dari Amerika terkait bisnis dengan Iran. Permasalahan-permasalahan berikutnya muncul terkait dengan strategi, eksekusi dan kepemimpinan dari CEO sebelumnya Peter Sands yang kemudian digeser Winters.

 

Risiko Terlihat

Dari kasus di Standard Chartered ini terlihat bahwa menangani bisnis bank raksasa sangat tidak mudah. Komponen risiko yang mencuat di sini terutama adalah risiko kredit, operasional dan reputasi. Risiko kredit adalah terkait dengan pelonjakan kredit bermasalah di India. Ada kesalahan dalam strategi ekspansi di India yang menyebabkan membengkaknya kredit bermasalah dan menimbulkan skala kerugian yang besar.

Untuk risiko operasional muncul karena nampaknya terdapat kesalahan manajemen strategi segmen bisnis. Dengan CEO baru memangkas segmen commercial banking dan investment banking mengesankan kemungkinan telah terjadi ekspansi yang kurang tepat sasaran. Belum lagi masalah pelambatan ekonomi global yang dimotori ekonomi China besar kemungkinan telah membuat bisnis di level korporasi mengalami sejumlah koreksi. Itu sebabnya, business retail kelihatannya dipandang lebih aman dalam situasi global seperti ini.

Adapun risiko reputasi mencuat sebagai konsekwensi bagi perusahaan publik yang terpapar dengan jelas perkembangan pendapatan dan keuntungan bank dari kuartal ke kuartal, serta strategi perusahaan yang harus dijelaskan manajemen. Reputasi yang kurang positif dengan sendirinya menyeret turun harga saham di bursa. Pemulihan reputasi baru akan berdampak kalau ada langkah strategis dari manajemen yang signifikan dan berpengaruh dalam laporan keuangan berikutnya.

Langkah Winters sebagai CEO baru sudah strategis. Selanjutnya, publik menunggu dampak yang terlihat di bottom line dari laporan keuangan. Tentunya ini memerlukan proses dan sejumlah waktu. Waktu akan membuktikannya.

 

 

Jhon P/VMN/VBN/Senior Analyst Vibiz Research Center
Editor: Jul Allens

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here