(Vibiznews – Banking) – Pertumbuhan penyaluran kredit perbankan di akhir tahun 2018 menunjukkan penurunan secara umum. Bank Indonesia (BI) mencatat, dalam rilis terakhirnya, penyaluran kredit perbankan periode November 2018 adalah sebesar Rp5.185‚5 triliun atau tumbuh 11,9% (yoy). Angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan angka bulan sebelumnya yang bertumbuh sebesar 13,1% (yoy). Menurut data BI, perlambatan penyaluran kredit terjadi pada seluruh golongan debitur.
Dalam rilis data uang beredar dari Bank Indonesia (31/12/18), dicantumkan pada pertumbuhan kredit korporasi – dengan pangsa 49,7% dari total penyaluran kredit- tumbuh sebesar 14,1% (yoy). Ini melambat dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 15,9% (yoy). Demikian juga, untuk kredit debitur perseorangan -dengan pangsa 45,9% dari total kredit- tercatat tumbuh melambat dari 10,1% (yoy) menjadi 9,7% (yoy) pada bulan berjalan.
Kemudian, dari sisi jenis penggunaannya. Pertumbuhan melambat terjadi pada penyaluran kredit modal kerja (KMK), kredit investasi, maupun kredit konsumsi. Untuk KMK tumbuh dari 14,2% (yoy) menjadi 13,6% (yoy), terutama disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan KMK pada sektor konstruksi dan sektor industri pengolahan. Sementara KMK Sektor Konstruksi dilaporkan tumbuh melambat dari 19,1% (yoy) menjadi 16,4% (yoy), terutama disebabkan oleh kredit yang disalurkan untuk konstruksi gedung industri di DKI Jakarta dan Jawa Timur.
Sementara itu, pertumbuhan Kredit lnvestasi (KI) juga menghadapi tantangan perlambatan dari 13,1% (yoy) menjadi 9,4% (yoy) pada bulan November 2018. Ini terutama disebabkan pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) serta sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Perlambatan pertumbuhan Kredit Investasi pada sektor PHR terutama terjadi pada subsektor hotel berbintang di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Pada sektor pertanian‚ peternakan, kehutanan, dan perikanan perlambatan terjadi pada kredit subsektor perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau.
Dari rilis data Bank Indonesia ini terlihat adanya tantangan pelambatan pertumbuhan kredit di sector konstruksi. Ini tercermin baik dari sisi kredit investasinya (KI) maupun sisi penyaluran kredit modal kerja (KMK). Nampaknya ada unsur stagnasi pertumbuhan properti dan kejenuhan pasar mengingat ini terutama terjadi ada kota atau wilayah yang sudah “mapan”, seperti Jakarta dan Jawa Timur.
Permintaan Properti Tetap Tumbuh
Analis Vibiznews melihat bahwa pelambatan pertumbuhan kredit di sektor konstruksi tidak langsung berarti terdapatnya pelambatan permintaan pasar properti secara keseluruhan.
Data dari BI menunjukkan bahwa kredit properti masih bertumbuh, walau agak turun tipis, dari 16,7% (yoy) menjadi 16,6% (yoy). Ini memang sejalan dengan adanya perlambatan kredit konstruksi. Pertumbuhan kredit konstruksi di November 2018 turun menjadi sebesar 22,3% yoy dan 23,1% yoy pada bulan sebelumnya.
Sementara di sisi lain, kredit pemilikan rumah (KPR) dan KPA serta kredit real estat tercatat justru mengalami akselerasi pertumbuhan, yang masing-masing dari 13,9% yoy dan 13% pada Oktober 2018 menjadi 14% (yoy) dan 13,7% yoy pada November 2018. Mungkin ini satu-satunya segmen kredit yang tetap bertumbuh tambah kuat di akhir 2018.
Dengan demikian terlihat, permintaan pasar terhadap kredit properti masih kuat, dan harusnya memang demikian mengingat demografi penduduk Indonesia yang “gemuk” di tengah, yaitu banyak di usia produktif yang sekaligus merupakan sumber permintaan kuat untuk real estat dan asset properti lainnya.
Tantangan akan dihadapi, barangkali dalam empat bulan pertama di tahun 2019 ini, yakni pada saat ramainya isyu kampanye pilpres. Secara historis dan psikologis, baik dari sisi penawaran maupun permintaan properti akan terjadi koreksi di saat-saat memanasnya kondisi politik. Banyak pihak akan memilih untuk “wait and see” di tengah ketidakstabilan politik.
Para pelaku dunia usaha, investor, serta konsumen properti umumnya berharap adanya stabilitas politik yang lebih baik di musim kampanye ini. Unsur khawatir pasar adalah munculnya perubahan kebijakan yang merugikan sekiranya terdapat pergantian pemerintahan. Akan tetapi, pemerintahan yang stabil dan mendukung pengembangan infrastruktur –yang dengan sendirinya memperkuat industri properti, baik supply maupun demand-nya- akan lebih disukai bagi pelaku pasar industri properti.
Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting Group
Editor: Asido