(Vibiznews – Kolom)Sekarang ini di Indonesia per Desember 2019 sudah terdapat 164 perusahaan financial technology (fintech) peer to peer (P2P) lending atau terkenal dengan pinjaman online yang legal, atau terdaftar dan berizin di OJK. AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) menyampaikan selain harus terdaftar dan berizin di OJK juga wajib menjadi member resmi AFPI. Menurut salah satu anggota AFPI jumlah yang illegal di Indonesia ada lebih banyak, lebih dari 4 ribu semuanya berbasis di google play store, dan kebanyakan dari negara Cina, Rusia, Inggris dan Canada. Dengan jumlah akumulasi penyaluran pinjaman sebesar Rp 74.544,70 miliar
Karakteristik Pengguna Fintech Lending
Sumber: OJK
Status legal final memiliki izin OJK atau berarti boleh operasional secara permanen di Indonesia layaknya bank-bank umum, dari 164 perusahaan terdaftar tedapat 25 perusahaan per Desember 2019.
Sisanya terdapat 139 perusahaan, berstatus legal terdaftar di OJK atau sifatnya sementara tapi tetap dianggap legal, namun harus melengkapi sisa dokumen dan persyaratan lainnya setelah minimal satu tahun beroperasi di Indonesia, sebelum statusnya naik menjadi berizin di OJK.
Managing Partner dari Vibiz Consulting Group, Lie Ricky Ferlianto menyatakan “Proses penyeleksiannya mesti diperketat agar jangan yang abal-abal bisa lolos mendapatkan ijin. Sementara 25 yg sudah berijin agar diaudit lebih banyak dan lebih sering secara random untuk melihat kepatuhannya terhadap peraturan yang berlaku.”
Pinjaman fintech ini memang less paperwork dan verifikasi, jadi bagi lender juga high risk yang berarti high interests. Bagi borrower akan lebih gampang karena bagi mereka yang tidak bankable jadi bankable. Higher risk for lender and easier access for the borrower, memang membuat bunga menjadi tinggi apalagi kolateral tidak diperlukan.
Jumlah Akumulasi Penyaluran Pinjaman Berdasarkan Provinsi
Sumber OJK
Fintech bisa seperti menjamurnya bank di awal 1980-an. Pada saat itu, dengan modal Rp.15 Milliar bisa bikin bank – bila dihitung Present Value nya sekarangpun, masih terhitung murah). Fintech di Indonesia masih abu-abu dalam hal pengaturannya, beberapa pendapat mengatakan fintech bukan financial institutions. Fintech dianggap sebagai “platform” bukan Financial Institutions. Karena transaksi sifatnya peer to peer masih bisa di klaim sebagai platform, namun kalau sudah menggunakan uang perusahaan tidak bisa disebut platform lagi. Banyak perusahaan fintech di Indonesia peer to peer lending.
Jelas ada “gap” disini, yang mungkin baru akan diperbaiki bila korban sudah berjatuhan dan timbulnya krisis
Menurut analisa saya, tahun 2020 ini bisa terjadi bubble kredit fintech karena NPL yang membengkak sehingga akan memperburuk kondisi sektor keuangan dan ketahanan ekonomi masyarakat. Belum lagi ekses tambahan dimana fintech menggunakan debt collector yang notabene preman jalanan sehingga menggangu keamanan dan keselamatan juga.
Fintech memang sedang Booming di Indonesia, yang terdaftar di OJK sudah 164 P2P, namunyang berizin baru 25 P2P, OJK tidak mengatur tingkat bunga, melainkan Asosiasi dalam hal ini AFPI, bahwa bunga maksimal 0,8% per hari (untuk consumptive loan) atau 1,75% per bulan (untuk productive loan). Dari sisi borrower tidak memahami cost and benefit tentang peer to peer lending, taunya saat kepepet ada pihak yang menyediakan uang. Bagi Lender juga harus memahami nature dari bisnis ini, supaya tidak terdampak pontensi risk. Bagi P2P, penyedia platform, memang risk ada di lender, meskipun banyak platform memiliki super Lender untuk inisiasi bisnisnya. Kewajiban Platform adalah melakukan e-kyc atau Know Yours Customer by online. Penggunaan e-kyc dan tanda tangan digital menjadi mandatory dari flow bisnis ini, meskipun demikian potensi resiko tetap ada dan masih banyak Giant Investor mulai masuk, terutama orang-orang muda yang menilai shortcut untuk bisa sukses.
Di Indonesia pengawasan akan P2P lending harus segera dilakukan mengingat sudah banyaknya penyimpangan yang dilakukan yang meresahkan masyarakat. Misalnya ada P2P lending yang mengambil data kontak peminjam di sistem aplikasi mereka, memberlakukan bunga lebih dari 0,8% per hari, melakukan praktik penagihan yang tidak manusiawi atau terror. Padahal OJK telah mengeluarkan peraturan untuk yang legal atau terdaftar dan berizin di OJK hanya boleh, mengambil tiga data saja dari smartphone peminjam saat melakukan pengajuan pinjaman, singkatannya CAMILAN (camera, microphone, and location). Bunga maksimal 0,8% per hari (untuk consumptive loan) atau 1,75% per bulan (untuk productive loan).
OJK tidak menetapkan apakah boleh atau tidaknya si peminjam melakukan pembayaran sebelum tanggal jatuh tempo, sehingga biasanya sudah diatur oleh masing-masing perusahaan pinjaman online di surat perjanjian yang dikirimkan ke peminjam via email atau ada dalam aplikasinya. Ada yang pinjaman online memperbolehkan bayar sebelum tanggal jatuh tempo tapi dikenakan denda juga atau semacam penalti kayak di perbankan. Namun ada juga yang tidak dikenakan penalti sehingga tinggal membayar pokok dan jumlah bunga harian saat pelunasan sebelum tanggal jatuh tempo. Ada juga yang tidak memperbolehkan membayar sebelum jatuh tempo.
Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot menyatakan: “Fintech legal harus mematuhi code of conduct asosiasi dan juga wajib mengikuti seluruh syarat dan ketentuan regulasi OJK terkait P2P Lending yakni POJK77/2016. Kemudian, P2P yang legal juga telah kami batasi aksesnya pada smartphone nasabah terbatas pada microphone, camera dan location untuk kepenting e-kyc.” Lebih lanjut Sekar menhimbau kepada masyarakat : “Kalau terdaftar dan melakukan penyimpangan segera laporkan ke Kami dengan bukti pelanggarannya melalui Kontak 157 atau kepada Direktorat Perizinan Pengaturan dan Pengawasan Fintech. Akan kami tindak lanjuti.”
OJK menghimbau untuk masyarakat menggunakan layanan pengaduan di https://konsumen.ojk.go.id/FormPengaduan atau melalui Kontak OJK 157 untuk melaporkan informasi lengkapnya. Untuk penanganan fintech illegal OJK juga tergabung dalam Satgas Waspada Investasi dimana OJK merupakan bagian dari anggota forum kordinasi tersebut (didalamnya ada 13 institusi kementrian dan lembaga).
Kristanto Nugroho CEO of Vibiz Media Network menyarankan agar OJK terus menggunakan pengawasan melalui komunikasi digital ini kepada masyarakat baik sosialisasi, maupun menampung keluhan masyarat. “Di era digital keluhan masyarakat gampang ditelusuri dan dicek fintech-nya.” Demikian disampaikan Kristanto.
Mungkin kita bisa mengambil contoh Perancis dan Jerman, fintech wajib di dukung oleh perusahaan besar disebut disetiap flyer mereka. Jadi Fintech berkembang dgn baik & terkontrol. Perusahaan besar yang dimaksud: perusahaan telekomunikasi, listrik, gas, bank besar, giant retailers, giant manufacturer, mereka yang menjadi “responsible shareholders” / guarantors. Apa pun mekanisme pengawasan yang akan dibuat, tindakan perbaikan perlu segera dilakukan sebelum terjadi krisis yang berbahaya karena bisa “shaking” the whole financials industries. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Professor Budi Frensidi menyatakan, bahwa banyak media sudah memberitakan kasus-kasus fintech P2P lending, “seperti bom waktu akan membuat goncangan bagi masyarakat dan regulator.” Bila tidak ditangani dengan cepat.