(Vibiznews – Banking & Insurance) – Digitalisasi mengubah cara manusia dalam beraktivitas ekonomi. Digitalisasi dan pandemi COVID-19 membuat aset kripto tumbuh cepat seiring pertumbuhan ekonomi yang turun tajam. Diikuti kebijakan moneter dan fiskal longgar yang terjadi secara merata di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Aset kripto memiliki potensi untuk mengembangkan inklusi dan efisiensi sistem keuangan. Tapi di sisi lain juga berpotensi menimbulkan sumber risiko baru yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi, moneter, dan sistem keuangan.
Guna mengatasi risiko terhadap stabilitas dari aset kripto tersebut, dibutuhkan kerangka regulasi untuk mengatasinya. Selain itu, keberadaan aset kripto juga melatarbelakangi bank sentral dalam menjajaki desain dan penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC). Dengan kata lain mata uang digital yang diterbitkan oleh bank sentral.
Mayoritas bank sentral dunia telah mulai melakukan tahapan riset dan percobaan sesuai dengan karakteristik negaranya masing-masing. Selain itu, dukungan dan masukan industri juga merupakan masukan penting bagi bank sentral dalam merencanakan desain CBDC.
Berbagai bank sentral berhati-hati dan terus mempelajari kemungkinan dampak dari CBDC tersebut, termasuk Indonesia. Bank Indonesia terus mendalami CBDC dan akhir tahun ini berada pada tahap untuk mengeluarkan white paper pengembangan Digital Rupiah.
Tujuan Penerbitan CBDC
Eksplorasi penerbitan CBDC dilakukan berdasarkan enam tujuan yaitu
1) menyediakan alat pembayaran digital yang risk-free menggunakan central bank money
2) memitigasi risiko non-sovereign digital currency
3) memperluas efisiensi dan ketahapan sistem pembayaran, termasuk cross border
4) memperluas dan mempercepat inklusi keuangan
5) menyediakan instrumen kebijakan moneter baru
6) memfasilitasi distribusi fiscal subsidy.
Syarat penerbitan CBDC
Penerbitan CBDC juga membutuhkan tiga pre-requisite yang perlu dipastikan untuk dimiliki suatu negara
1) Desain CBDC yang tidak mengganggu stabilitas moneter dan sistem keuangan
2) Desain CBDC yang 3i (Integrated, interconnected, and Interoperable) dengan infrastruktur FMI-Sistem Pembayaran
3) Pentingnya teknologi yang digunakan pada tahap eksperimen untuk memahami bagaimana CBDC dapat diimplementasikan (DLT-Blockchain dan non-DLT).
Demikian disampaikan Deputi Gubernur BI, Doni P. Joewono dalam seminar “Digital Currency” yang merupakan rangkaian FEKDI hari kedua. Sebagai side event rangkaian G20 Finance Track: Finance and Central Bank Deputies (FCBD) dan 3rd Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (FMCBG) di Nusa Dua, Bali (12/7).
Dalam kesempatan ini, mengemuka diskusi terkait diskusi pada sesi Casual Talk 1 yang menghadirkan
1) Division Chief dari IMF, Tommaso Mancini-Griffoli,
2) Head of Secretariat dari Committee on Payments and Market Infrastructures (CPMI), Tara Rice,
3) Director General Market Infrastructure and Payments dari European Central Bank, Ulrich Bindsel, dan
4) Markus K. Brunnermeier (Professor dari Princenton University).
Acara ini dimoderatori oleh Direktur Kapronasia dan Emerging Payments Association Ambassador, Zennon Kapron.
Turut hadir pula pada sesi Casual Talk 2 antara lain
1) Senior Lecturer the Faculty of Law & Justice dari UNSW, Anton Didenko,
2) Head of FinTech Center dari Bank of Japan, Masaki Bessho,
3) Chief General Manager dari Reserve Bank of India, Suvendu Pati,
4) Lead, Payments and Market Infrastructure dari World Bank, Harish Natarajan.
Sesi ini dimoderatori oleh Adviser dari BIS Innovation Hub, Codruta Boar. Masukan dan pandangan dari industri dilakukan oleh perwakilan dari industri yaitu Presiden Direktur Bank Jago, Kharim Indra Gupta Siregar, dan Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro.
Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting