(Vibiznews – Economy & Business) – Dalam Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 18-19 Januari 2023 juga membahas hal-hal sebagai berikut.
Pertumbuhan ekonomi global semakin melambat dari prakiraan sebelumnya.
Hal ini disebabkan oleh fragmentasi politik dan ekonomi yang belum usai serta pengetatan kebijakan moneter yang agresif di negara maju. Koreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi yang cukup besar dan disertai dengan meningkatnya risiko potensi resesi terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Penghapusan Kebijakan Nol-Covid (Zero Covid Policy) di Tiongkok diprakirakan akan menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Secara keseluruhan, Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2023 menjadi 2,3% dari prakiraan sebelumnya sebesar 2,6%.
Tekanan inflasi global terindikasi mulai berkurang sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi global. Meskipun tetap di level tinggi seiring dengan masih tingginya harga energi dan pangan, berlanjutnya gangguan rantai pasokan. Dan masih ketatnya pasar tenaga kerja terutama di AS dan Eropa.
Sejalan dengan tekanan inflasi yang melandai, pengetatan kebijakan moneter di negara maju mendekati titik puncaknya. Dengan suku bunga diprakirakan masih akan tetap tinggi di sepanjang 2023. Ketidakpastian pasar keuangan global juga mulai mereda sehingga berdampak pada meningkatnya aliran modal global ke negara berkembang. Tekanan pelemahan nilai tukar negara berkembang juga berkurang.
Perbaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berlanjut didorong oleh permintaan domestik yang semakin kuat.
Pertumbuhan ekonomi 2022 diprakirakan bias ke atas dalam kisaran 4,5-5,3% didorong oleh kuatnya kinerja ekspor. Serta membaiknya konsumsi rumah tangga dan investasi non-bangunan. Pada 2023, pertumbuhan ekonomi diprakirakan berlanjut, meskipun sedikit melambat ke titik tengah kisaran 4,5-5,3%, sejalan dengan menurunnya prospek pertumbuhan ekonomi global.
Konsumsi rumah tangga diprakirakan akan tumbuh lebih tinggi. Sejalan dengan meningkatnya mobilitas masyarakat pasca penghapusan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kebijakan Masyarakat (PPKM).
Investasi juga diprakirakan akan membaik didorong oleh membaiknya prospek bisnis, meningkatnya aliran masuk Penanaman Modal Asing (PMA). Serta berlanjutnya penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN). Ekspor diprakirakan tumbuh lebih rendah akibat melambatnya ekonomi global, meskipun akan termoderasi dengan permintaan dari Tiongkok.
Berdasarkan Lapangan Usaha, prospek sektor Industri Pengolahan, Perdagangan Besar dan Eceran, Informasi dan Komunikasi, serta Konstruksi diprakirakan tumbuh cukup kuat. Hal ini didorong kenaikan permintaan domestik tersebut. Sementara secara spasial, pertumbuhan ekonomi yang kuat diprakirakan terjadi di seluruh wilayah seiring dengan perbaikan permintaan domestik.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diprakirakan mencatat surplus dan mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia.
Pada tahun 2022, surplus transaksi berjalan diprakirakan dalam kisaran 0,4%-1,2% dari PDB dan melebihi defisit transaksi modal dan finansial. Ini akibat ketidakpastian pasar keuangan global.
Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Desember 2022 tetap tinggi, yakni 137,2 miliar dolar AS. Setara pembiayaan 6,0 bulan impor atau 5,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Pada tahun 2023, NPI diprakirakan tetap baik dengan transaksi berjalan yang terjaga dalam kisaran surplus 0,4% sampai dengan defisit 0,4% dari PDB. Sementara itu, neraca transaksi modal dan finansial diprakirakan mencatat surplus. Didukung oleh aliran masuk modal asing dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan investasi portofolio. Sejalan dengan persepsi positif investor terhadap prospek ekonomi nasional.
Hal ini terindikasi dari aliran modal asing yang masuk kembali ke pasar keuangan domestik memasuki awal tahun 2023. Hingga 17 Januari 2023, investasi portofolio mencatat net inflows sebesar 4,6 miliar dolar AS.
Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting