Indonesia Butuh Lebih Banyak Perusahaan Besar

Jika seluruh elemen ini dijalankan secara serentak dan terkoordinasi, maka Indonesia bukan hanya bisa mencapai target PDB per kapita US$14.000 pada 2045, tetapi juga bisa keluar dari jebakan negara berkembang.

439
Indonesia

(Vibiznews-Kolom) Indonesia punya ambisi besar – menjadi negara berpenghasilan tinggi sebelum tahun 2045. Tapi untuk mewujudkan mimpi ini, ada satu langkah penting yang harus dicapai—membangun lebih banyak perusahaan besar dan produktif. Saat ini, sebagian besar usaha di Indonesia masih berupa usaha mikro. Itu artinya, mereka kecil, informal, dan kurang terhubung dengan sistem perbankan dan teknologi.

Menurut laporan McKinsey Global Institute pada April 2025 yang berjudul The Enterprising Archipelago: Propelling Indonesia’s Productivity, kalau Indonesia ingin meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan rakyatnya, jumlah perusahaan menengah dan besar harus meningkat drastis. Faktanya, jumlahnya perlu ditingkatkan hingga tiga kali lipat menjadi sekitar 200.000 untuk perusahaan menengah dan 40.000 untuk perusahaan besar. Kenapa ini penting? Karena perusahaan yang lebih besar biasanya punya akses lebih baik ke modal, teknologi, dan pelatihan kerja yang pada akhirnya bisa meningkatkan gaji dan kesejahteraan para pekerja.

Saat ini, lebih dari separuh pekerja Indonesia berada di sektor informal—banyak di antaranya menjalankan usaha sendiri atau bekerja di usaha mikro. Ini bukan hal buruk, tapi juga bukan jalan cepat menuju kemakmuran. Usaha mikro memang memberikan penghidupan, tapi sulit berkembang karena akses terbatas ke pembiayaan dan teknologi. Akibatnya, mereka sulit naik kelas.

Kalau Indonesia mau keluar dari “jebakan negara berpenghasilan menengah,” maka struktur dunia usahanya harus berubah. Negara-negara seperti Polandia, Brasil, dan Meksiko berhasil mendorong lebih banyak pekerja ke sektor formal dan perusahaan besar, dan Indonesia bisa meniru langkah tersebut.

Dalam skenario menuju 2045 yang dikembangkan McKinsey, produktivitas di semua jenis perusahaan—dari kecil hingga besar—harus meningkat, tapi terutama di sektor menengah dan besar. Produktivitas yang meningkat akan membuat modal per pekerja juga meningkat. Misalnya, modal per pekerja di sektor non-pertanian perlu meningkat dari sekitar US$31.000 hari ini menjadi sekitar US$100.000 pada tahun 2045. Untuk mencapainya, kapitalisasi usaha harus tumbuh sebesar 5,8 persen per tahun secara majemuk, dua kali lipat dari tren 2010–2023.

Indonesia’s employment would shift from microenterprises to larger companies in a 2045 high-income economy scenario.

Indonesia’s employment would shift from microenterprises to larger
companies in a 2045 high-income economy scenario.

Dengan kata lain, perusahaan besar bisa menjadi mesin utama untuk pertumbuhan ekonomi. Mereka menciptakan lapangan kerja formal, meningkatkan keterampilan tenaga kerja, dan memicu pertumbuhan perusahaan kecil yang ada di rantai pasok mereka.

Namun, tantangannya besar. Indonesia terdiri dari ribuan pulau, yang artinya ongkos logistik tinggi dan sulitnya mengintegrasikan pasar. Selain itu, urbanisasi yang cepat tidak selalu diikuti dengan tersedianya pekerjaan produktif di kota. Banyak warga desa yang pindah ke kota akhirnya bekerja di sektor informal dengan pendapatan rendah. Solusinya? Perencanaan kota yang lebih baik, infrastruktur yang mendukung, dan layanan publik yang memadai seperti pendidikan dan transportasi.

Selain itu, Indonesia perlu membangun apa yang disebut sebagai lima jenis modal: keuangan, manusia, institusi, infrastruktur, dan kewirausahaan. Semua ini adalah pilar yang bisa membuat perusahaan tumbuh lebih besar dan lebih produktif.

Modal keuangan masih belum optimal. Meski tingkat tabungan nasional cukup tinggi, sistem keuangan belum menyalurkannya secara efektif ke dunia usaha. Rasio aset keuangan terhadap PDB hanya 72 persen, jauh lebih rendah dari Brasil yang mencapai 194 persen. Akses terhadap instrumen jangka panjang seperti asuransi dan dana pensiun juga masih rendah.

Modal manusia pun menjadi sorotan. Pendidikan di Indonesia masih tertinggal dibanding negara lain. Hanya 40 persen dari kelompok usia 25–34 tahun yang menyelesaikan pendidikan menengah atas, lebih rendah dari negara seperti Malaysia dan Polandia. Kualitas guru dan akses pendidikan, terutama di daerah terpencil, juga jadi kendala. Padahal, sektor jasa bernilai tinggi seperti keuangan, teknologi, dan layanan profesional membutuhkan tenaga kerja dengan keahlian yang spesifik.

Dari sisi kelembagaan, proses birokrasi di Indonesia masih dinilai kompleks. Untuk membuka usaha, biaya yang dibutuhkan rata-rata US$1.300 dan prosesnya memakan waktu 43 hari. Ini tiga kali lebih lama dari Singapura dan jauh lebih mahal dibanding negara pembanding.

Sementara itu, infrastruktur menjadi kendala utama di negara kepulauan seperti Indonesia. Indeks kinerja logistik Indonesia merosot dari peringkat 46 ke 61 dalam lima tahun terakhir. Biaya logistik mencapai 24 persen dari PDB, dibandingkan 14 persen di Thailand. Jalan, pelabuhan, dan kecepatan internet juga belum memadai, terutama di luar Pulau Jawa.

Terakhir, modal kewirausahaan masih sangat rendah. Hanya ada 0,33 usaha formal baru per 1.000 penduduk usia kerja setiap tahunnya. Ini jauh lebih rendah dari Brasil (5,1) dan menunjukkan masih sedikitnya pelaku usaha yang berani melangkah ke sektor formal. Akses ke modal ventura, pendampingan, dan kolaborasi dengan perusahaan besar menjadi kebutuhan mendesak.

Laporan McKinsey juga menyoroti bahwa sektor jasa bisa jadi penyumbang terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi masa depan, menyumbang hingga 67 persen dari PDB pada 2045. Tapi untuk itu, produktivitas sektor jasa harus didongkrak melalui modernisasi, pelatihan tenaga kerja, dan digitalisasi.

Sektor manufaktur pun tak boleh ditinggalkan. Saat ini kontribusinya hanya 19 persen terhadap PDB, turun dari 32 persen pada 2002. Untuk bisa naik kelas, Indonesia harus meningkatkan kompleksitas produknya, tidak hanya mengekspor bahan mentah seperti batu bara dan kelapa sawit, tetapi juga memproduksi barang dengan nilai tambah lebih tinggi seperti bioplastik atau nikel kelas 1 untuk baterai EV.

In a 2045 scenario where capital increases proportionally with productivity, medium-size and large companies account for most of capital deepening.

In a 2045 scenario where capital increases proportionally with productivity,
medium-size and large companies account for most of capital deepening.

Sumber : McKinsey

Selain jasa dan manufaktur, pertanian juga bisa didorong melalui mekanisasi dan penggunaan benih unggul. Saat ini 99 persen lahan dikuasai petani kecil dengan luas rata-rata hanya 0,6 hektare. Ini menyulitkan modernisasi. Padahal output sektor ini meningkat dari US$70 miliar pada 2013 menjadi US$95 miliar pada 2023. Bila dikelola lebih baik, sektor ini bisa menjadi tulang punggung tambahan dalam meningkatkan produktivitas nasional.

Urbanisasi tetap menjadi pendorong utama. Dalam dua dekade ke depan, 70 juta orang diperkirakan akan pindah ke kota. Bila perencanaan kota dilakukan dengan baik, maka proses urbanisasi ini bisa meningkatkan produktivitas melalui integrasi tenaga kerja, fasilitas publik, dan konektivitas. Konsep kota “x-minute city” seperti di Singapura dan Barcelona bisa menjadi model.

Jika seluruh elemen ini dijalankan secara serentak dan terkoordinasi, maka Indonesia bukan hanya bisa mencapai target PDB per kapita US$14.000 pada 2045, tetapi juga bisa keluar dari jebakan negara berkembang. Perusahaan besar bukan lagi sekadar simbol ekonomi mapan, tapi menjadi jembatan menuju kesejahteraan merata dan pertumbuhan yang inklusif.

Dengan begitu, Indonesia benar-benar bisa menjadi “enterprising archipelago” yang digambarkan dalam laporan ini—sebuah negara kepulauan yang bukan hanya luas secara geografi, tapi juga besar dalam produktivitas, pendapatan, dan peluang bagi semua warganya.