Dari Harvard ke Wall Street Membuka Wajah Private Equity

Dalam suratnya kepada Ketua SEC Paul Atkins, Stefanik menyebut bahwa laporan keuangan Harvard bisa jadi terlalu optimistis dan tidak mencerminkan kenyataan. Ia menyoroti bahwa sebagian besar dana endowment Harvard yang senilai lebih dari USD 50 miliar ditempatkan di private equity—dan menurutnya, nilainya “kemungkinan besar terlalu tinggi” karena bergantung pada perkiraan internal dan data transaksi lama yang tidak relevan.

276

(Vibiznews-Kolom) Kadang, niat mengkoreksi satu institusi bisa berdampak lebih luas dari yang dibayangkan. Itulah yang terjadi ketika anggota Kongres Amerika Serikat, Elise Stefanik, mengirim surat kepada Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) untuk meminta penyelidikan terhadap laporan keuangan Harvard University.

Apa yang tampaknya hanya koreksi terhadap almamater yang sedang dalam sorotan, ternyata bisa menjadi awal dari pergeseran besar di industri private equity global. Bahkan, surat Stefanik itu bisa diibaratkan seperti menembakkan bazoka ke jantung sektor investasi alternatif yang nilainya mencapai triliunan dolar.

Dan bisa jadi, itu adalah hal baik yang terjadi secara tak sengaja.

Apa yang Sebenarnya Dipersoalkan?

Dalam suratnya kepada Ketua SEC Paul Atkins, Stefanik menyebut bahwa laporan keuangan Harvard bisa jadi terlalu optimistis dan tidak mencerminkan kenyataan. Ia menyoroti bahwa sebagian besar dana endowment Harvard yang senilai lebih dari USD 50 miliar ditempatkan di private equity—dan menurutnya, nilainya “kemungkinan besar terlalu tinggi” karena bergantung pada perkiraan internal dan data transaksi lama yang tidak relevan.

Masalahnya bukan pada Harvard semata. Seperti disebut Stefanik, sebagian besar universitas besar, yayasan, dana pensiun, dan investor besar lainnya juga memiliki eksposur ke private equity. Jika angka-angka valuasi di sektor ini tidak mencerminkan realitas pasar, berarti banyak institusi besar telah membukukan nilai aset yang jauh lebih tinggi dari harga jual riilnya. Artinya, laporan keuangan mereka bisa saja terlalu “cantik”.

Yang membuat situasi ini lebih kompleks, Harvard tidak menghitung sendiri nilai-nilai itu. Seperti institusi lainnya, mereka mengandalkan net asset value (NAV) yang dilaporkan oleh manajer dana tempat mereka berinvestasi. Ini praktik umum di dunia investasi alternatif.

Tapi praktik ini sekarang dipertanyakan. Apakah wajar? Apakah akuntabel?

Isu Valuasi Dana Private Equity

Sebenarnya, isu valuasi dana private equity bukan hal baru. Karena sifat investasinya yang tidak likuid—artinya tidak bisa dijual dengan cepat seperti saham publik—maka menentukan harga pasarnya menjadi rumit. Nilai portofolio mereka tidak didasarkan pada transaksi harian, melainkan estimasi, penilaian internal, atau patokan yang tidak selalu mutakhir.

Idealnya, nilai aset harus mencerminkan harga yang bisa didapatkan jika aset itu dijual hari ini—itulah prinsip fair value dalam akuntansi. Tapi NAV dari dana private equity sering kali tidak memenuhi prinsip itu secara ketat.

Hal ini berdampak ketika investor institusi tiba-tiba butuh uang tunai dan ingin menjual kepemilikannya di dana tersebut. Di pasar sekunder, saham-saham dana private equity sering dijual jauh di bawah NAV resmi. Menurut Jefferies, rata-rata diskon pada 2023 adalah 11%, dan bisa mencapai 25% untuk dana ventura.

Dengan kata lain, jika laporan mengatakan nilai investasi Anda USD 100 juta, ketika dijual hanya laku USD 75 juta. Dan itu terjadi bukan karena pasar panik, tapi karena memang nilai yang tercatat tidak realistis sejak awal.

Trik yang Terlalu Legal

Yang membuat masalah ini semakin dalam adalah kenyataan bahwa aturan akuntansi justru memungkinkan praktik ini. Institusi pemilik saham dalam dana private equity boleh menggunakan NAV yang dilaporkan oleh manajer dana sebagai pengganti praktis dari fair value. Ini tertulis dalam standar akuntansi.

Lebih parahnya lagi, bahkan jika investor tahu bahwa nilai NAV itu salah atau ketinggalan zaman, mereka hanya diwajibkan untuk “mempertimbangkan apakah perlu menyesuaikan”—tidak ada kewajiban untuk benar-benar menyesuaikan. Dalam bahasa awam: Anda tahu angka itu salah, tapi tetap boleh memakainya selama Anda bilang sudah “mempertimbangkan”.

Akibatnya, muncul praktik manipulatif yang masih sah secara hukum. Beberapa dana membeli saham di private equity di pasar sekunder dengan harga diskon besar, lalu segera menaikkan nilainya ke NAV resmi. Dalam beberapa kasus ekstrem, mereka bisa membukukan kenaikan nilai 1.000% hanya dalam sehari—tanpa ada perubahan bisnis, hanya karena perbedaan angka.

Ini adalah bentuk mark-up terselubung yang bisa memperindah laporan keuangan, menarik investor baru, dan memberikan bonus ke manajer dana—semua tanpa transparansi yang memadai.

Harvard Hanya Bagian dari Masalah yang Lebih Besar

Dalam laporan tahunan Harvard tahun 2023, disebutkan bahwa dari total USD 62 miliar aset investasi, hanya USD 9 miliar yang dinilai dengan metode penilaian internal. Sisanya, termasuk USD 23 miliar dalam dana private equity, menggunakan NAV dari pihak ketiga sebagai dasar pencatatan.

Bahkan Harvard mengakui bahwa angka-angka itu tidak selalu akurat. Dalam laporan 2022, mereka menyatakan bahwa “manajer dana private belum mencerminkan kondisi pasar yang sebenarnya.” Setahun kemudian, mereka menyebut bahwa kinerja kelas aset tersebut tertinggal dibanding saham publik, dan kemungkinan butuh waktu lebih lama untuk menyelaraskan valuasi dengan kenyataan pasar.

Jadi, masalah ini bukan lagi soal Harvard berbuat curang, tetapi tentang sistem yang memungkinkan angka-angka tidak akurat digunakan secara luas—dan dianggap sah.

Solusi Sederhana, Tapi Tidak Mudah

SEC sebenarnya punya kekuatan untuk memperbaiki sistem ini. Tanpa harus menunggu pembaruan dari lembaga pembuat standar akuntansi (seperti FASB), SEC bisa membuat aturan sendiri yang melarang penggunaan NAV pihak ketiga jika diketahui tidak realistis. Mereka bisa mewajibkan institusi besar seperti Harvard untuk melakukan penilaian fair value sendiri, seperti yang mereka lakukan untuk aset tak likuid lainnya.

Jika aturan itu berlaku, dampaknya bisa besar. Banyak investor institusi akan berpikir ulang sebelum menaruh uang ke private equity, terutama jika tidak bisa lagi menyembunyikan volatilitas nilai. Beberapa universitas besar di AS sudah mulai mengurangi eksposur ke dana-dana alternatif karena kecewa dengan hasil dan kurangnya transparansi.

Relevansi untuk Investor Global dan Indonesia

Meski isu ini terjadi di AS, implikasinya global. Di banyak negara, termasuk Indonesia, minat terhadap investasi alternatif seperti private equity, venture capital, dan reksa dana tertutup meningkat pesat. Lembaga keuangan, dana pensiun, bahkan beberapa institusi pendidikan mulai memasukkan instrumen ini ke portofolio.

Namun, dengan regulasi dan transparansi yang lemah, banyak risiko tersembunyi. NAV bisa menjadi angka yang “dipoles”, dan investor lokal tidak selalu punya kemampuan untuk melakukan due diligence mandiri.

Jika regulator seperti OJK tidak segera mengembangkan aturan transparansi yang setara, potensi ledakan “nilai semu” juga bisa terjadi di pasar lokal. Bahkan saat ini, beberapa dana kelolaan di Indonesia memakai istilah “nilai pasar wajar” tanpa menjelaskan metode valuasinya secara rinci—dan investor ritel hanya bisa percaya begitu saja.

Kini, lewat koreksi terhadap keuangan Harvard, Elise Stefanik mungkin secara tidak sengaja membuka kotak Pandora dari sektor investasi yang sangat tertutup. Dan terlepas dari motif politiknya, tindakan itu bisa berdampak positif jika mendorong reformasi sistemik.

Karena selama ini, investor dibiarkan mempercayai angka-angka yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. NAV yang stagnan di tengah pasar yang jatuh, nilai yang tidak bergerak padahal kondisi ekonomi berubah drastis, dan laporan keuntungan yang hanya ada di atas kertas.

Jika surat Stefanik membuat SEC bergerak, maka bukan hanya Harvard yang harus mengoreksi diri—seluruh industri private equity mungkin harus belajar untuk lebih jujur, lebih terbuka, dan lebih akuntabel.