(Vibiznews-Kolom) Pada bulan April 2025, firma private equity New Mountain Capital membuat keputusan yang tampaknya aneh di permukaan, mereka menjual perusahaan portofolio mereka, Real Chemistry, dengan nilai mencapai $3 miliar. Namun yang membeli bukan pihak ketiga, melainkan New Mountain Capital sendiri. Manuver ini bukan sebuah kejanggalan administratif, melainkan representasi dari tren baru di industri private equity yang kian berkembang—penjualan ke continuation fund.
Strategi ini memungkinkan firma private equity untuk tetap memegang kendali atas perusahaan yang dianggap sangat potensial, sembari memberikan jalan keluar bagi investor lama yang ingin mencairkan dananya. Dalam kasus Real Chemistry, sekitar 80% investor awal memilih untuk mencairkan keuntungan mereka—menghasilkan pengembalian empat kali lipat dari modal awal—sementara New Mountain Capital tetap melanjutkan kepemilikan melalui kendaraan investasi baru dengan masa hidup lima tahun. Sisa dana yang dikumpulkan, senilai $3,05 miliar yang dipimpin oleh secondary investor besar seperti Coller Capital, digunakan sebagian untuk membayar investor yang keluar dan sebagian lagi untuk mendanai ekspansi Real Chemistry, termasuk potensi akuisisi di masa depan.
Dalam kondisi normal, perusahaan seperti Real Chemistry mungkin akan dijual ke pembeli strategis atau dilepas ke pasar publik setelah masa kepemilikan selama lima tahun. Namun dalam iklim pasar yang penuh ketidakpastian akibat suku bunga tinggi dan ketegangan perdagangan global seperti tarif impor, banyak firma private equity ragu untuk menjual aset-aset terbaik mereka. Hal ini membuat investor awal yang kekurangan likuiditas mencari jalan alternatif, seperti pasar secondary, untuk mencairkan posisi mereka—meski kerap dengan diskon harga.
Sebagai tanggapan, banyak firma private equity justru mengambil inisiatif dengan menciptakan continuation fund untuk aset-aset unggulan mereka. Menurut data dari Jefferies, continuation fund kini menyumbang 13% dari seluruh aktivitas exit private equity secara global pada 2024—melonjak dari hanya 5% pada 2021. Angka ini mencerminkan perubahan struktural dalam cara industri private equity menyikapi tekanan pasar dan kebutuhan likuiditas investor.
Continuation fund biasanya difokuskan pada satu perusahaan unggulan—bukan portofolio luas—yang berarti kualitas aset dalam dana ini cenderung tinggi. Investor lama diberi pilihan, tetap ikut dalam kendaraan investasi baru dengan syarat yang setara atau mencairkan dananya. Dalam praktiknya, harga pembelian aset tersebut oleh continuation fund ditentukan berdasarkan valuasi internal atau dengan sedikit premi. Seperti yang terjadi pada Real Chemistry, valuasi ini disepakati karena selama kepemilikan enam tahun, pendapatan kas perusahaan tumbuh enam kali lipat hingga lebih dari $250 juta. New Mountain memperkirakan akan memperoleh empat kali pengembalian investasi lanjutan—suatu penggandaan yang sangat jarang dicapai dalam waktu singkat di sektor ini.
Martha Heitmann dari LGT Capital Partners menyatakan bahwa dalam lingkungan pasar saat ini, “firm harus menciptakan likuiditas dan rute termudah adalah melalui continuation fund.” Strategi ini menguntungkan semua pihak, firma bisa tetap mengelola aset yang menjanjikan, investor yang ingin keluar mendapatkan kepastian likuiditas, dan investor baru mendapat akses ke perusahaan berkinerja tinggi yang tidak tersedia di pasar terbuka.
Data dari Morgan Stanley menunjukkan bahwa continuation fund memberikan pengembalian median sebesar 1,4 kali dari modal awal setelah dipotong biaya—sedikit lebih tinggi dari pengembalian rata-rata buyout fund. Selain itu, continuation fund juga mencatat kerugian yang lebih rendah dibandingkan buyout fund secara keseluruhan, menambah daya tariknya di mata investor institusional yang semakin waspada terhadap risiko.
Asal muasal tren ini dapat ditelusuri kembali ke krisis keuangan global 2008–2009. Saat itu, banyak firma private equity yang tidak dapat menjual portofolio mereka dan kekurangan pendapatan biaya untuk menjalankan operasional. Akibatnya, lahirlah apa yang disebut sebagai “zombie fund,” yaitu dana yang bertahan hidup hanya dengan merestrukturisasi aset ke dalam kendaraan investasi baru. Namun, satu dekade kemudian, praktik ini berevolusi menjadi strategi proaktif untuk mempertahankan aset unggulan alih-alih sekadar menyelamatkan aset bermasalah.
Saat ini, strategi tersebut telah menjadi arus utama. Nigel Dawn dari Evercore mengungkapkan bahwa dari 100 firma private equity terbesar di dunia, 70% hingga 80% telah menggunakan kendaraan continuation fund untuk aset tunggal. Namun, perkembangan pesat ini juga menimbulkan kekhawatiran, terutama soal potensi konflik kepentingan. Apakah firma menilai aset secara objektif? Apakah prosesnya transparan bagi investor awal?
Sebagai tanggapan, Institutional Limited Partners Association (ILPA) pada 2023 mengeluarkan pedoman khusus untuk continuation fund. Beberapa poin penting dalam pedoman tersebut mencakup pemberian rasional yang jelas dari transaksi, waktu minimal 20 hari kerja bagi investor untuk memutuskan ikut atau keluar, serta syarat rollover yang adil dan setara dengan kendaraan investasi sebelumnya. Langkah ini penting untuk menjaga integritas industri dan melindungi hak investor minoritas.
Perusahaan besar seperti Blackstone melalui Strategic Partners dan Carlyle melalui AlpInvest telah mengalokasikan dana besar untuk berpartisipasi dalam continuation fund. Namun demikian, menurut beberapa penasihat dan investor, jumlah modal yang tersedia masih belum sebanding dengan tingginya permintaan dari firma private equity. Karena itulah, sejauh ini continuation fund hanya digunakan untuk aset unggulan, bukan sebagai cara untuk membuang portofolio lemah.
Katrina Liao dari Coller Capital mengonfirmasi bahwa “kapital yang terbatas memungkinkan investor sangat selektif dalam memilih aset yang akan dibiayai melalui continuation vehicle.” Namun ia juga mencatat adanya perubahan. Kini semakin banyak firma besar seperti TPG, Leonard Green, dan New Mountain yang mulai menciptakan strategi khusus untuk mengelola dan memperluas penggunaan continuation vehicle. Tujuannya bukan lagi sekadar memberi jalan keluar, tetapi juga untuk menjadikan continuation fund sebagai pilar utama strategi investasi.
Transformasi ini mengindikasikan bahwa pasar private equity tengah bergerak menuju era baru, di mana batas antara exit dan hold menjadi lebih fleksibel. Dalam kondisi pasar yang penuh tekanan, strategi tradisional seperti IPO atau penjualan ke pihak ketiga mungkin tidak optimal. Continuation fund menjadi solusi tengah: menjaga aset berkualitas, mencairkan investor lama, dan membuka peluang baru bagi modal segar.
Dengan meningkatnya transparansi, partisipasi investor institusional besar, serta perbaikan tata kelola, continuation fund kini dipandang bukan sekadar alat darurat, melainkan bagian integral dari siklus hidup investasi private equity modern. Ke depan, struktur seperti ini bisa menjadi standar baru dalam mengelola likuiditas dan mempertahankan kepemilikan aset yang menjanjikan di tengah gejolak global.
Dalam konteks investasi jangka panjang dan pengelolaan portofolio yang dinamis, strategi ini menunjukkan bahwa dunia private equity tidak hanya adaptif, tetapi juga inovatif. Alih-alih terbebani oleh kondisi pasar yang stagnan, mereka menciptakan jalur baru—bukan hanya untuk bertahan, tapi juga untuk tumbuh. Dan dengan terus berkembangnya praktik ini, continuation fund berpotensi menjadi salah satu instrumen paling penting dalam lanskap investasi alternatif global di tahun-tahun mendatang.



