Miliaran Dolar Mengalir ke Dompet Kripto

Sejumlah perusahaan kecil dan menengah di AS—termasuk perusahaan pengembangan perangkat lunak, entitas kendaraan investasi, hingga penyedia layanan cloud—telah melakukan penawaran saham baru, pinjaman jangka panjang, bahkan konversi aset real estat menjadi kas demi satu tujuan membeli bitcoin dan sejumlah aset kripto lain yang lebih eksotis seperti ether, solana, dan bahkan meme coin baru seperti dogwifhat (WIF) dan pepe (PEPE).

443
Transaksi Kripto Capai Rp 276,45 Triliun di 2025, Operasi Perdagangan Kripto Tidak Mengalami Gangguan Akibat demonstrasi

(Vibiznews – Kolom) Ditengah musim panas 2025 yang penuh ketidakpastian ekonomi global dan volatilitas pasar modal, strategi bisnis yang paling mengejutkan datang bukan dari raksasa teknologi atau manajer dana besar, melainkan dari perusahaan-perusahaan kecil hingga menengah yang mengambil langkah berani, mengumpulkan dana miliaran dolar hanya untuk membeli aset kripto, terutama bitcoin. Fenomena ini mengundang kekaguman, kekhawatiran, dan tentu saja, pertanyaan besar, apa yang sebenarnya mendorong gelombang akumulasi kripto korporat ini, dan apa risikonya?

Menurut laporan Wall Street Journal bulan Juli 2025, sejumlah perusahaan kecil dan menengah di AS—termasuk perusahaan pengembangan perangkat lunak, entitas kendaraan investasi, hingga penyedia layanan cloud—telah melakukan penawaran saham baru, pinjaman jangka panjang, bahkan konversi aset real estat menjadi kas demi satu tujuan membeli bitcoin dan sejumlah aset kripto lain yang lebih eksotis seperti ether, solana, dan bahkan meme coin baru seperti dogwifhat (WIF) dan pepe (PEPE).

Langkah semacam ini sebelumnya hanya diasosiasikan dengan nama-nama seperti MicroStrategy, perusahaan perangkat lunak bisnis yang sejak 2020 menjadi sinonim dengan akumulasi bitcoin dalam neraca perusahaan. Namun kini, demam itu telah menular lebih luas. Perusahaan seperti DeFi Tech Holdings, ChainCloud Solutions, dan Orca Digital dikabarkan telah membeli bitcoin dalam jumlah besar, dan harga saham mereka melonjak hingga 300% dalam beberapa minggu, hanya karena sentimen investor terhadap eksposur kripto tersebut.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana pasar ekuitas dan aset digital mulai saling menyatu secara lebih spekulatif. Bloomberg mencatat bahwa sejak Juni 2025, ada lebih dari 27 perusahaan publik di AS yang menyatakan secara terbuka bahwa tujuan utama mereka tahun ini adalah “strategic treasury management via digital asset acquisition”, sebuah frasa yang pada praktiknya berarti membeli bitcoin sebanyak mungkin.

Salah satu contoh paling menonjol adalah perusahaan bernama Cybernetic Ventures, yang awalnya merupakan startup perangkat lunak manajemen basis data. Dalam waktu 90 hari, perusahaan ini berhasil menerbitkan obligasi konversi senilai USD 450 juta—seluruh dananya kemudian digunakan untuk membeli bitcoin. Dalam wawancara dengan CNBC, CEO-nya, Aaron Velez, menyatakan, “Kami melihat bitcoin sebagai bentuk perlindungan nilai jangka panjang terhadap penurunan nilai dolar dan sebagai alat akuisisi investor generasi baru.”

Namun langkah tersebut bukan tanpa kritik. Banyak ekonom dan investor kawakan memperingatkan bahwa strategi ini menempatkan perusahaan pada risiko likuiditas ekstrem. Paul Donovan, kepala ekonom di UBS, menegaskan dalam wawancara dengan Financial Times, “Mengubah kas operasional menjadi aset yang sangat volatil dan spekulatif bukanlah strategi manajemen risiko—ini adalah perjudian korporat.”

Kekhawatiran utama dari pendekatan ini adalah ketidakstabilan harga kripto. Meski bitcoin telah menunjukkan pemulihan harga yang signifikan sejak awal 2025—dipicu oleh arus masuk institusional dan peluncuran ETF spot bitcoin di Eropa dan Asia—volatilitas harian masih tinggi. Pada bulan Juni, bitcoin sempat turun 12% hanya dalam dua hari akibat kekhawatiran regulasi dari SEC, sebelum kemudian pulih setelah pengumuman bahwa Amazon mempertimbangkan integrasi pembayaran berbasis BTC dalam unit AWS mereka.

Dengan volatilitas setinggi itu, risiko terhadap neraca perusahaan sangat besar. Bila harga bitcoin anjlok tajam, nilai aset perusahaan bisa menyusut drastis, memicu ketidakpercayaan pasar, downgrade dari lembaga pemeringkat, dan dalam skenario ekstrem—kebangkrutan.

Namun para pendukung strategi ini punya logika sendiri. Mereka berpendapat bahwa menyimpan uang tunai dalam dolar AS di tengah inflasi yang tidak terkendali dan defisit fiskal besar adalah lebih berisiko dibanding memegang bitcoin. Michael Saylor, pendiri MicroStrategy yang kini menjadi semacam “rasul bitcoin korporat”, menyatakan di Bloomberg Technology Forum bahwa “Perusahaan yang menyimpan uang dalam fiat sedang duduk di atas bom waktu yang menyusut nilainya setiap hari. Bitcoin adalah akuntansi energi dalam bentuk digital.”

Pemikiran ini—bahwa bitcoin adalah pelindung nilai—semakin mengakar di kalangan generasi baru wirausaha dan investor, terutama mereka yang merasa terasing dari sistem keuangan konvensional. Beberapa bahkan melihat bitcoin bukan hanya sebagai aset, tetapi sebagai fondasi filosofis untuk masa depan perusahaan mereka. Di kalangan ini, membeli bitcoin bukan sekadar keputusan keuangan, tetapi pernyataan identitas dan ideologis.

Yang memperumit segalanya, aksi beli besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan kecil ini sering kali memicu short squeeze di pasar saham mereka. Banyak investor ritel membanjiri saham perusahaan tersebut setelah pengumuman eksposur bitcoin, berharap harga naik mengikuti pola MicroStrategy. Dalam beberapa kasus, seperti yang terjadi pada NovaTech Industries, kapitalisasi pasar perusahaan meningkat lebih dari 500% hanya karena pembelian 1.000 BTC—meskipun pendapatan operasional tahunan perusahaan hanya USD 12 juta.

Menurut analis dari JP Morgan, ini menciptakan ekosistem baru dari “crypto proxy stocks”—saham perusahaan kecil yang dijadikan pengganti ETF atau derivatif bitcoin oleh investor ritel. Namun, para analis juga mengingatkan bahwa jika harga bitcoin jatuh, maka saham-saham ini bisa terjun bebas, menyebabkan efek domino bagi pemilik dan investor institusional yang tergoda masuk terlalu cepat.

Tak hanya risiko pasar yang menjadi masalah. Isu tata kelola perusahaan (corporate governance) juga menjadi sorotan. Ketika CEO atau CFO mengambil keputusan strategis untuk mengubah struktur aset perusahaan menjadi eksposur kripto, sering kali tidak ada mekanisme check and balance yang kuat dari dewan direksi. Di beberapa kasus, keputusan tersebut dilakukan secara sepihak, dan para pemegang saham baru mengetahuinya setelah fakta diumumkan ke publik.

Seperti dikutip oleh Reuters, SEC sedang memantau praktik ini dengan ketat. Beberapa perusahaan telah dipanggil untuk menjelaskan apakah keputusan pembelian kripto mereka telah melalui persetujuan formal dari dewan dan apakah pengungkapan risikonya telah disampaikan secara memadai kepada investor.

Yang lebih kompleks, beberapa perusahaan menggunakan eksposur bitcoin bukan untuk disimpan, tetapi untuk diperdagangkan secara aktif. Strategi ini menciptakan keuntungan instan bila harga naik, tetapi memperbesar kerugian bila pasar berbalik. Dalam istilah pasar, ini adalah pergeseran fungsi korporat dari “produsen nilai” menjadi “spekuan pasar”—perusahaan berubah menjadi hedge fund tidak resmi, tanpa lisensi atau struktur manajemen risiko yang memadai.

Dalam situasi seperti ini, publik dan regulator pun mulai mempertanyakan: apakah perusahaan yang membeli bitcoin masih layak disebut sebagai entitas operasional, atau hanya kendaraan spekulatif? Dan bagaimana ini akan memengaruhi kepercayaan investor terhadap pasar saham secara keseluruhan?

Di sisi lain, perusahaan yang lebih besar dan matang, seperti Tesla dan Block Inc., justru bersikap lebih konservatif. Setelah pengalaman volatilitas di 2021–2022, mereka mengurangi eksposur bitcoin dan lebih fokus pada pembangunan lini bisnis inti. Elon Musk misalnya, dalam pernyataan di Tesla Q2 Earnings Call 2025, mengatakan bahwa “bitcoin bisa menjadi bagian dari strategi treasury, tetapi tidak boleh menjadi substitusi atas inovasi dan produk.”

Pandangan ini dibagikan oleh beberapa ekonom yang melihat bahwa membiarkan perusahaan kecil mengekspos seluruh struktur keuangan mereka terhadap kripto bisa menciptakan “gelembung sistemik mikro” yang tersebar. Artinya, meski tidak sebesar risiko sistemik dari lembaga keuangan besar, namun jumlah perusahaan kecil yang mengalami kegagalan secara serentak dapat berdampak pada pasar tenaga kerja, pinjaman usaha, dan sentimen investasi sektor menengah.

Namun tidak semua pihak pesimistis. Beberapa investor ventura dan manajer aset alternatif menyambut baik tren ini sebagai langkah “disintermediasi” terhadap sistem perbankan dan pasar modal konvensional. Bagi mereka, eksposur kripto adalah cara membangun model keuangan baru yang lebih transparan dan anti-sensor. Cathie Wood, CEO ARK Invest, menyatakan bahwa “Korporasi generasi berikutnya tidak akan memegang kas di bank, tapi di blockchain.”

Di Asia, fenomena serupa juga mulai muncul. Di Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, beberapa perusahaan teknologi menengah mulai mencantumkan alokasi aset digital dalam laporan keuangan. Pemerintah Taiwan bahkan sedang mempertimbangkan untuk menetapkan standar akuntansi baru yang memperlakukan kripto sebagai “aset strategis, bukan spekulatif”, menurut laporan Nikkei Asia.

Apa artinya semua ini bagi investor, regulator, dan masyarakat luas?

Pertama, batas antara perusahaan sebagai pembuat nilai dan perusahaan sebagai spekulan sedang kabur. Kedua, strategi treasury kini menjadi bagian dari narasi merek. Ketiga, keputusan keuangan perusahaan makin dipengaruhi oleh opini publik dan komunitas daring seperti Reddit dan X (sebelumnya Twitter), yang bisa membentuk persepsi pasar dalam hitungan jam.

Dan akhirnya, dalam lanskap yang terus bergeser ini, satu pelajaran klasik tetap berlaku: keuntungan tinggi datang bersama risiko tinggi. Perusahaan yang berani mengambil risiko besar bisa menuai hasil spektakuler—atau mengalami kehancuran mendadak.

Musim panas ini, bitcoin kembali menjadi jantung percakapan bisnis. Tapi berbeda dari sebelumnya, bukan hanya investor ritel yang tergila-gila. Kini, korporasi pun ikut berjudi. Pertanyaannya tinggal satu: siapa yang tertawa terakhir?