Presiden Brazil saat ini harus berjuang keras terkait skandal korupsi yang melanda, rendahnya survey masyarakat yang mendukung, inflasi dan pengangguran yang melonjak, serta peringkat kredit yang dipangkas oleh perusahaan rating agency. Bank investasi asal Inggris, Barclays, proyeksikan bahwa ekonomi Brazil akan mengalami kontraksi 4 persen pada tahun ini, dilanjutkan dengan 3,3 persen di tahun depan.
Sementara Presiden Brazil, Dilma Rousseff, berjuang mengatasi ekonomi yang merosot dan tudingan korupsi, inflasi negeri itu telah melejit di atas 10 persen, sedangkan pengangguran menanjak ke 7,9 persen. Gejolak politik dan ekonomi belakangan ini juga telah menjatuhkan mata uang Brazil, real, ke level terendah dalam beberapa tahun terakhir, menekan juga bursa sahamnya, demikian rilis dari CNBC, Senin (23/11).
Menurut Carlos Primo Braga, seorang profesor dari IMD Business School di Swiss, menerangkan kepada CNBC, bahwa anjloknya mata uang real dapat memberikan berkah tersembunyi untuk wisatawan dan investor asing. Diperkirakan harga makan siang dengan steak di sebuah restoran top di Brazil harganya sekarang terpangkas separuh saja dalam mata uang asing. Sementara itu, harga dari properti yang terjungkal di Brazil dapat mendorong para investor asing ambil kesempatan pada harga rendah tersebut.
Mata uang real Brazil “telah mengalami depresiasi yang paling dramatis di antara kelompok negara-negara emerging dalam 12 bulan terakhir ini,” jelas Braga. Namun demikian, sisi atasnya, penyesuaian tersebut akan “menolong sektor perdagangan akan terangkat daya saing internasionalnya,” katanya, sehubungan dengan harga ekspor Brazil yang menjadi lebih murah di pasar dunia.
Negara, yang masuk peringkat tujuh terbesar dalam peringkat perekonomian dunia ini, terus mengalami perontokan ekonomi, disebabkan menurunnya harga komoditas dan lesunya pertumbuhan ekonomi global.
Tingkat suku bunga yang tinggi yang saat ini mencapi 14,25%, telah mempengaruhi daya beli konsumen. Padahal belanja merupakan elemen terpenting dalam perekonomian Brasil. Langkah penghematan yang dirancang untuk mengatasi tingginya tingkat utang pemerintah Brazil gagal menahan keterpurukan perekonomian.
Sementara itu, krisis ekonomi Brazil juga semakin dihantam dengan aksi politik dalam negeri. Popularitas Rousseff dilaporkan telah ikut terpukul lebih parah bahkan dari anjloknya harga komoditas –salah satu penyebab utama krisis Brazil.
Negara yang pernah dibanggakan sebagai bagian dari “BRICS”, kelompok negara dengan prospek besar sebagai ekonomi maju di dunia, kali ini harus terpuruk, di antaranya oleh anjloknya harga komoditas dunia. Analisis Vibiz Research melihat negeri dengan PDB terbesar se Amerika Latin ini akan mungkin mengalami resesi yang cukup panjang, selama tidak ada perubahan struktural fundamental ekonominya yang terlalu bergantung kepada komoditas, ditambah lagi dengan gunjang-ganjing politik yang menjadikan prospek ekonomi makin tidak stabil.
Belajar dari kasus Brazil ini, pilihan pemerintah Jokowi untuk mengubah basis ekonomi agar lebih bernilai tambah dari ketergantungan terhadap komoditas alam, merupakan suatu strategi yang tepat di tengah tekanan harga komoditas global. Peningkatan ekonomi produksi dari ketersediaan sumber daya alam harus terus ditingkatkan dan digenjot. Ini memang memerlukan proses dan butuh waktu yang tidak pendek untuk melihat hasilnya. Untuk mempercepat dampaknya, kestabilan ekonomi tentunya harus didukung oleh kestabilan politik juga.
John P/VMN/VBN/ Senior Analyst-Vibiz Research Center
Editor: Asido Situmorang