Pemerataan Pembangunan Ekonomi Indonesia Membaik, Betulkah?

1924

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan baru-baru ini rasio gini Indonesia per September 2015 adalah 0,40, atau turun 0,01 poin dibandingkan realisasi Maret 2015 yang sebesar 0,41. Ini menandakan ketimpangan orang kaya dan miskin di Indonesia semakin rendah (BPS, 18 April 2016). Dari sisi ekonomi demografi, ini merupakan indikasi perbaikan dalam pemerataan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sementara itu, belum lama lalu, Bank Dunia menyampaikan review peringatan tentang bertambah meluasnya ketimpangan di Indonesia.

Bagaimana sebenarnya situasi ketimpangan pendapatan di Indonesia? Betulkah membaik kondisinya?

Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Koefisien Gini dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada.

Dalam teorinya, ukuran yang dipergunakan adalah 0 sampai dengan 1. Artinya secara sederhana, kalau pendapatan semua orang di Indonesia sama, maka rasio gini adalah 0, dan semakin tinggi rasio tersebut, maka ketimpangan semakin tinggi. Untuk ukuran, banyak juga literatur yang kemudian memasang skala sampai dengan 100, di mana 0,3 menjadi 30, dan seterusnya. World Bank, misalnya, memasang skala puluhan ini.

Kepala BPS Suryamin menjelaskan dalam rilis di atas (18 April 2016) bahwa rasio gini dibagi atas tiga level. Level pertama adalah 0-0,3 yang disebut dengan ketimpangan rendah. Level kedua 0,3-0,5 yang disebut sebagai ketimpangan menengah, dan level ketiga yaitu 0,5 ke atas yang berarti ketimpangan tinggi.

 

gini ratio-1

Sumber : BPS

 

Peringatan Bank Dunia

Bank Dunia pada Desember 2015 yang lalu telah menyampaikan peringatan tentang meluasnya ketimpangan di Indonesia (Indonesia’s Rising Divide). Disebutkan bahwa tingkat ketimpangan di Indonesia relatif tinggi dan naik lebih pesat dibanding banyak negara Asia Timur lain (World Bank, Meluasnya Ketimpangan di Indonesia, 8 Desember 2015).

Antara tahun 2003 hingga 2010, bagian 10 persen terkaya di Indonesia mempertambah konsumsi mereka sebesar 6% per tahun, setelah disesuaikan dengan inflasi. Bagi 40% masyarakat termiskin, tingkat konsumsi mereka tumbuh kurang dari 2% per tahun.

Hal ini mengakibatkan koefisien Gini naik pesat dalam 15 tahun – naik dari 30 pada tahun 2000 menjadi 41 pada tahun 2013.

Bank Dunia menyebutkan banyak warga Indonesia mulai khawatir. Sebuah survei persepsi masyarakat pada tahun 2014 mengenai ketimpangan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menilai distribusi pendapatan di Indonesia “sangat tidak setara” atau “tidak setara sama sekali”. Para responden juga menuntut pemerintah untuk bertindak. Demikian, di antaranya disampaikan Bank Dunia.

 

Perbandingan Negara Tetangga

Kalau melihat akan kondisi ketimpangan hasil pembangunan ekonomi di kawasan, maka posisi Indonesia sebenarnya masih cukup moderat. Di kawasan Asia Timur, sebagai contoh kawasan yang relevan, boleh dibilang semua negara dalam posisi tingkat ketimpangan menengah. Data dari Quandl.com, walaupun tidak semuanya sama posisi tahunnya namun cukup memadai sebagai suatu gambaran perbandingan, terlihat yang agak lumayan lebih merata pendapatan penduduknya adalah Jepang dan Korea Selatan. Dalam hal ini, kemajuan ekonomi dan tingkat pendidikan yang merata agaknya cukup berpengaruh terhadap pengurangan ketimpangan.

gini ratio-2

Negara-negara ASEAN tetangga dekat kita, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, praktis lebih parah dari Indonesia untuk masalah ketimpangan pendapatan masyarakat ini. Malaysia malah sudah lebih mendekati ke arah level index 50 yang menunjukkan tingkat ketimpangan yang tinggi. Di sana, menurut data The World Bank, 10% penduduk teratas terkayanya menikmati 34,6% dari total pendapatan (income), sementara 20% penduduk terkaya lapis berikutnya menguasai sampai 51,4% kekayaan. Dengan perkataan lain, 30% penduduk kaya Malaysia menguasai sampai 86% total pendapatan masyarakat.

Dari potret ketimpangan regional ini, posisi Indonesia kurang lebih masih moderat, atau berada di baris tengah dari sejumlah negara tetangga. Bagaimanapun, tulisan ini bukan bermaksud untuk menyebutkan bahwa ketimpangan di Indonesia sebagai dapat ditoleransi dan bukan persoalan besar karena di luar sana masih ada yang lebih buruk dari kita.

 

Pengereman Ketimpangan

Peringatan dari Bank Dunia juga sangat patut dipelajari karena isyunya adalah pertambahan tingkat ketimpangan yang relatif cepat, dari level 30 di tahun 2000 menjadi 41 di tahun 2013. Di mata Bank Dunia, mungkin ini terlalu cepat dan menguatirkan. Namun, syukurlah, data terkini dari BPS di atas menunjukkan adanya “pengereman” laju pertambahan ketimpangan pendapatan di Indonesia.

Bank Dunia sempat menyinggung upaya Brazil sebagai contoh yang dapat ditiru, di mana koefisien Gini-nya turun 14 poin setelah upaya bersama untuk menurunkan ketimpangan melalui kebijakan fiskal. Penulis menilai ini dapat saja dipelajari, tetapi ada di mana ekonomi Brazil itu sekarang? Negara anggota BRICS ini sedang mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar -4% di tahun 2015. Apakah ini yang dapat disebut sebagai contoh sukses? Tentunya pemerataan yang diharapkan bukanlah pemerataan dalam kemiskinan.

 

Mengatasi Ketimpangan

Bank Dunia telah menyampaikan rekomendasi pilihan untuk mengatasi ketimpangan pendapatan masyarakat, sebagai berikut:

  • Memperbaiki layanan umum. Kunci bagi generasi berikut terletak pada peningkatan pelayanan umum di tingkat desa, camat, dan kabupaten, karena hal ini dapat memperbaiki kesehatan, pendidikan dan peluang keluarga berencana bagi semua masyarakat.
  • Memperkuat program perlindungan sosial seperti bantuan tunai bersyarat dan beasiswa
  • Menambah peluang pelatihan keterampilan bagi tenaga kerja.
  • Menyediakan lapangan kerja yang lebih baik.
  • Menggunakan pajak dan belanja pemerintah untuk mengurangi ketimpangan.
  • Meningkatkan ketaatan dalam pengumpulan pajak perorangan.

Rekomendasi di atas tentunya patut mendapat perhatian dari Pemerintah dan semua pihak terkait. Walaupun demikian, banyak di antaranya yang telah atau sedang dijalankan oleh Pemerintah dewasa ini. Bahkan Pemerintah telah berupaya meningkatkan dana desa menjadi dua kali lipat, dari sekitar Rp 20 triliun di tahun 2015 menjadi Rp 40-an triliun di tahun 2016. Peningkatan alokasi dana desa tersebut diharapkan dapat menggerakkan perekonomian di daerah pedesaan. Sebab, jumlah orang miskin paling banyak saat ini berada di desa.

Adalah Presiden Jokowi yang telah secara serius menginstruksikan agar semua kebijakan terkait program  penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan dijalankan secara terpadu dan terintegrasi, baik lintas kementerian maupun sinergi dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bulog. Presiden juga telah menekankan bahwa program perlindungan sosial seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) harus terdistribusi dan tepat sasaran.

Penurunan data Indeks Gini terakhir ini menunjukkan bahwa upaya Pemerintah dan pihak terkait mengatasi kesenjangan pendapatan ekonomi masyarakat sebenarnya sudah mulai menunjukkan hasil. Laju pertambahan ketimpangan berhasil ditahan. Kita harapkan pada rilis data Gini berikutnya akan terjadi lagi penurunan indeks, yang artinya perbaikan lanjutan dalam hal kesenjangan pendapatan masyarakat. Semuanya, tentunya berjalan secara bertahap. Semoga demikian, dan mari kita usahakan bersama.

 

bernhard1Bernhard Sumbayak

Founder and Chairman of Vibiz Consulting
Vibiz Consulting Group

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here