Jurus Jitu Memberangus Korupsi

1107

(Vibiznews – Banking & Insurance) – Saat ini Pemerintah sedang menggodok Rancangan Undang-Undang tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (RUU PTUK). RUU  Pembatasan Transaksi Uang Kartal tersebut memiliki peranan yang sangat penting untuk membantu upaya pencegahan maupun penindakan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, demikian penjelasan Kiagus Ahmad Badaruddin, Ketua PPATK  (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan.

Pemerintah memang berencana membatasi transaksi dengan menggunakan uang tunai. RUU PTUK menyebutkan, setiap orang dilarang melakukan transaksi uang kartal di atas Rp 100 juta atau yang nilainya setara, baik satu kali maupun beberapa kali transaksi, dalam satu hari. Setiap orang maksudnya di sini adalah orang perorangan maupun korporasi.
Menurut Kiagus, ada sejumlah faktor yang mendorong dibentuknya undang-undang tersebut:

Pertama, hasil riset analisis PPATK menemukan, ada peningkatan tren transaksi uang kartal. Tren ini disinyalir untuk mempersulit upaya pelacakan asal-usul uang yang berasal dari tindak pidana. Pelaku berusaha memutus pelacakan aliran dana ke pihak penerima dana dengan melakukan transaksi tunai. Ini berbeda dengan transaksi nontunai dalam jumlah besar yang bisa dilacak PPATK.

Kedua, pembatasan transaksi tunai berguna untuk mengeliminasi sarana yang bisa digunakan untuk melakukan gratifikasi, suap, dan pemerasan. Karena selama ini PPATK seringkali mengalami kesulitan dalam melacak aliran dana kasus korupsi dalam bentuk tunai karena tidak tercatat dalam sistem keuangan.

Itulah sebabnya, besaran transaksi tunai di suatu negara memiliki korelasi dengan indeks korupsi mereka. Contoh, Bulgaria, Rusia, India, dan Indonesia memiliki transaksi tunai di atas 60%, sehingga mempunyai persepsi tingkat korupsi buruk. Sudah jadi rahasia umum, banyak pihak yang menggunakan uang tunai untuk melakukan gratifikasi dan suap. KPK berulang kali menangkap tangan pejabat publik yang menerima gratifikasi atau suap, dengan nilai mencapai miliaran rupiah dalam satu kasus.

Beliau mengungkapkan, beberapa negara sudah menerapkan kebijakan pembatasan transaksi tunai, seperti Italia, Belgia, Armenia, Meksiko, dan Brasil. Mereka memberlakukan aturan itu untuk menekan pidana suap, pendanaan terorisme, dan pencucian uang. “Karena itu, sudah saatnya pemerintah melakukan pembatasan transaksi tunai untuk meminimalisasi korupsi,” imbuhnya.

Selain kebutuhan penegakan hukum, Kiagus menambahkan, pembatasan transaksi uang kartal juga mengurangi biaya pencetakan uang oleh Bank Indonesia (BI). Lalu, pembatasan akan mendidik masyarakat untuk mengoptimalkan penggunaan jasa perbankan dan penyedia jasa keuangan lainnya.

Tidak semua transaksi, ada pengecualiannya
Tentu, tidak semua nilai transaksi tunai harus maksimal Rp 100 juta. Ada 12 jenis transaksi tunai yang nilainya boleh di atas Rp 100 juta.  Hal ini diatur dalam pasal 9 ayat 1 RUU PTUK tersebut, bunyinya:

  1. Transaksi uang kartal yang dilakukan oleh penyelenggara jasa keuangan (PJK) dengan pemerintah dan bank sentral.
  2. Transaksi uang kartal antar-PJK dalam rangka kegiatan usaha masing-masing.
  3. Transaksi uang kartal untuk penarikan tunai dari bank dalam rangka pembayaran gaji atau pensiun.
  4. Transaksi uang kartal untuk pembayaran pajak dan kewajiban lain kepada negara.
  5. Transaksi uang kartal untuk melaksanakan putusan pengadilan.
  6. Transaksi uang kartal untuk kegiatan pengolahan uang.
  7. Transaksi uang kartal untuk biaya pengobatan.
  8. Transaksi uang kartal untuk penanggulangan bencana alam.
  9. Transaksi uang kartal untuk pelaksanaan penegakan hukum.
  10. Transaksi uang kartal untuk penempatan atau penyetoran ke PJK.
  11. Transaksi uang kartal untuk penjualan dan pembelian mata uang asing.
  12. Transaksi uang kartal yang dilakukan di daerah yang belum tersedia PJK atau sudah tersedia PJK namun belum memiliki infrastruktur sistem pembayaran yang memadai.

Di luar itu, setiap pihak, baik perorangan maupun korporasi, wajib hukumnya menolak transaksi tunai di atas Rp 100 juta. Kalau nekad, ada sanksi administrasi yang sudah menunggu. Yakni, denda dan perjanjian yang memuat transaksi itu batal demi hukum.

Yunus Husein, Ketua Tim Penyusun RUU PTUK, mengatakan,” tidak ada sanksi pidana bagi siapapun yang melanggar aturan main pembatasan transaksi tunai. Ini juga sesuai ketentuan yang berlaku di berbagai negara yang menerapkan pembatasan transaksi tunai. Untuk sanksi denda bagi yang melakukan transaksi tunai di atas Rp 100 juta, pemerintah masih menggodok besarannya. “Kalau di Italia, nominal sanksi administrasi (denda) tidak lebih dari 40% dari nilai transaksi tunai yang dilanggar. Sementara di Slovakia, tidak lebih dari € 150.000,” sebut Yunus.

Sanksi itu kelak berlaku juga bagi pejabat umum, seperti notaris dan pejabat lelang. Karena itu, pejabat umum wajib menolak pembuatan akta yang memuat transaksi uang kartal lebih dari Rp 100 juta.

Untuk membantu pencegahan transaksi tunai melebihi Rp 100 juta, RUU PTUK memerintahkan setiap orang yang mengetahui ada transaksi tunai yang melanggar ketentuan, wajib melaporkan pelanggaran itu kepada  PPATK, baik secara lisan maupun tertulis. PPATK yang menjalankan fungsi pengawasan akan menetapkan dan membuat daftar orang tercela. Mereka juga akan memberikan penghargaan atau insentif kepada setiap orang untuk mendorong kepatuhan transaksi nontunai.

Meski membolehkan transaksi tunai di atas Rp 100 juta untuk pembayaran tertentu, tetap ada syaratnya. Penyedia jasa keuangan (PJK) wajib meminta informasi mengenai identitas diri, sumber dana, tujuan transaksi, dan dokumen pendukung dari setiap orang yang bertransaksi di atas Rp 100 juta.

PJK wajib mengetahui setiap orang yang melakukan transaksi tunai tersebut, apakah bertindak untuk diri sendiri atau nama orang lain. Yang masuk dalam lingkup PJK adalah, bank serta penyelenggara pos, alat pembayaran dengan menggunakan kartu, dan transfer dana, juga yang menyelenggarakan jasa pembayaran lainnya.

Jika setiap orang tidak memenuhi kewajiban untuk memberikan informasi yang benar yang diminta, PJK berhak menolak transaksi tersebut. Begitu juga kalau PJK meragukan kebenaran informasi yang diberikan setiap orang. Selanjutnya, PJK melaporkan transaksi itu ke PPATK sebagai transaksi keuangan mencurigakan.

BI dalam hal ini yang akan mengawasi PJK yang menyelenggarakan jasa sistem pembayaran. Bank sentral bisa menjatuhkan sanksi administratif atas PJK yang melanggar ketentuan itu. “Dalam melakukan pengawasan, BI maupun PPATK wajib berkoordinasi, bersinergi, dan bekerjasama,” ucap Yunus.

Apalagi, PPATK juga punya wewenang melakukan audit kepatuhan dan audit khusus terhadap PJK yang menyelenggarakan jasa sistem pembayaran untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.

Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menuturkan, bank dan PJK lain perlu mengetahui profil nasabahnya yang melakukan transaksi. “Misalnya, si nasabah selama ini transaksi hanya Rp 10 juta, tiba-tiba dia bertransaksi Rp 100 juta, hal ini bisa ditanyakan ke nasabah tersebut. Atau, nasabah melakukan transaksi sebesar Rp 20 juta tapi lima kali sehari, ini juga bisa ditanya,” tutur Erwin.

 

Sumber : PPATK

Belinda Kosasih/Coordinating Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting Group

Editor : Asido Situmorang

 

z

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here