(Vibiznews – Economy & Business) – Persepsi risiko investasi di sejumlah negara emerging market secara serempak menguat di tengah ketidakpastian ekonomi global yang kembali mencuat. Hal ini ditandai dengan naiknya angka credit default swap (CDS) untuk tenor lima tahun di beberapa negara berkembang ke level tertingginya, termasuk Indonesia.
Berdasarkan informasi dari Bloomberg, CDS Indonesia tenor lima tahun, pada hari Rabu (20/6) berada di level 136,404. Sedangkan kemarin, CDS Indonesia melonjak 8,54% ke level 140,666 yang merupakan level tertinggi sejak April 2017.
Begitu pula dengan angka CDS tenor lima tahun di Vietnam yang kemarin naik 4,34% ke posisi 165,450, level tertingginya sejak Mei tahun lalu. CDS Filipina juga menyentuh level tertinggi sejak Februari 2017 ke posisi 95,708 atau lompat 8,58% dari hari sebelumnya. Faktor utama yang mendorong kenaikan CDS di negara emerging marketini ialah Federal Reserve menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada 13 Juni lalu. Selain itu, The Fed juga mencetuskan keyakinannya terhadap tingkat pengangguran yang lebih rendah serta indikator inflasi yang diperkirakan lebih tinggi ketimbang proyeksi pada pertemuan FOMC pada Maret lalu.
“Kepercayaan diri The Fed dalam memandang perekonomian AS ini kian membuat aset negara emerging market menjadi kurang atraktif karena kenaikan angka CDS ini pun, akan diikuti dengan yield surat utang negara-negara berkembang yang ikut naik. Hingga hari ini, yield SUN Indonesia bertenor 10 tahun masih bertengger di atas 7,2%. Menurut para analis, naiknya imbal hasil obligasi ini dalam jangka pendek berpotensi membuat nilai tukar melemah dan memancing capital outflow terus terjadi. Selain itu, kenaikan CDS dan yield SUN dikhawatirkan akan mengubah aliran modal asing kembali ke AS. Tak hanya pasar obligasi, dampak negatif pun akan berimbas pula pada pasar saham domestik.
Dalam jangka menengah panjang, kenaikan yield juga dapat membuat cost of borrowing pemerintah kian bengkak. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi pun berpotensi melambatBegitu pun pada investasi asing secara riil atau foreign direct investment (FDI), juga berpotensi menurun jika kondisi ini berpengaruh pada volatilitas rupiah. Persepsi risiko ini memang lebih ke arah portofolio, tapi FDI juga jadi terhambat jika rupiah tidak stabil sehingga biaya ekspansi dan impor bahan baku terpukul kondisi nilai tukar
Selain itu, risiko investasi di Indonesia juga kian meningkat seiring dengan kembali mencuatnya konflik perang dagang antara AS dan China saat ini. Hal ini tentunya membuat ketidakpastian perekonomian global bertambah dan persepsi investor terhadap negara berkembang yang masih mengandalkan ekspor menjadi lebih buruk.Jadi pemerintah harus menunjukkan respon yang cepat untuk mengantisipasi hal ini. Dengan demikian, persepsi investor dapat berubah jadi lebih positif, karena kenaikan risiko investasi Indonesia saat ini lebih karena factor eksternal karena secara fundamental keadaan masih cukup kuat.
Belinda Kosasih/Coordinating Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting Group
Editor : Asido Situmorang