(Vibiznews – Banking & Insurance) – Nilai tukar rupiah diperkirakan akan terus menguat di tengah tekanan pelemahan dollar dalam skala global. Berdasarkan informasi yang diterima dari Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah pelemahan dollar dipicu oleh dua hal. Pertama, bank sentral negara maju lainnya seperti bank sentral Norwegia dan Bank Nasional Swis mulai menaikkan suku bunga. Serta bank sentral Australia dan Swedia yang mulai memberikan sinyal akan menaikkan suku bunga.
Hal ini, menurut Bp. Nanang, merupakan awal sebuah proses arah kebijakan moneter negara maju akan mulai konvergensi sehingga AS bukan satu satunya negara di kelompok negara maju dengan suku bunga yang tengah meningkat
“Bahkan dengan kemungkinan naiknya suku bunga The Fed pada pertemuan komite kebijakan moneter The Fed (FOMC) pekan depan, kalangan analis mulai meragukan akan menjadi penopang penguatan dollar,” demikian penjelasan Bp Nanang. Indeks dollar atau DXY yang pada Mei 2018 mencapai 95,6 bahkan terus melemah menembus 94,0 dan pada sesi perdagangan New York mencapai 93,8. Ini juga mendorong kurs NDF rupiah di pasar internasional terus turun dalam sepekan ke Rp 14.840. Dan turunnya kurs NDF ini juga dipengaruhi oleh kurs spot rupiah di dalam negeri yang tidak berlanjut melemah, namun terjaga relatif stabil.
Kedua, pulihnya risk apetite atau minat penempatan dana investor global ke instrumen finansial di emerging market yang sebelumnya dihempaskan karena berisiko tinggi sehingga menjadi terlalu undervalued.
“Kita lihat, yield obligasi pemerintah Indonesia sempat menyentuh 8,7% sudah cukup menarik, di tengah suku bunga implied swap rupiah yang tetap tetap stabil (meskipun kurs NDF naik). Suku bunga implied swap yaitu suku bunga dollar plus premi swap, dapat diartikan biaya meminjam rupiah (cost of funding),” jelasnya.
Pada hari Kamis 20 September 2018, tercatat arus masuk modal asing ke Obligasi Negara mencapai Rp 2,8 triliun. Nanang mengatakan, ini mencerminkan minat penempatan dana asing di obligasi negara kembali meningkat. Masuknya kembali dana investasi dari para fund manager global ke emerging market, hal ini tentunya memicu penjualan obligasi AS sehingga yield obligasi pemerintah AS naik mencapai 3%. Akibatnya akan terjadi rebalancing portfolio global yang akan mengakibatkan hubungan antara yield obligasi AS dan dollar kembali ke teritori negatif.
Belinda Kosasih/Coordinating Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting Group
Editor: Asido Situmorang