(Vibiznews – Banking) – Memasuki akhir tahun 2018 yang diwarnai sejumlah gejolak di pasar keuangan global, para pelaku pasar finansial dan industri perbankan bertanya-tanya apa yang akan dihadapi di tahun 2019. Khususnya sektor perbankan, yang pada tahun 2018 mengalami pertumbuhan kredit yang cukup kencang tetapi di sisi lain pertumbuhan pendanaan bergerak lebih lambat, serta suku bunga yang terus menanjak naik.
Sejumlah tantangan menanti industri perbankan di tahun depan. Itu beranjak dari beberapa isyu dan dinamika yang berjalan di tahun 2018 ini. Pengetatan kebijakan moneter di tataran global dan domestik merupakan satu isyu yang mengemuka. The Fed, telah tiga kali menaikkan suku bunganya pada tahun ini, dan diperkirakan akan menaikkannya lagi, satu kali, untuk tahun ini di bulan Desember, menjadi 2,5%.
Pengetatan Moneter Global
Pengetatan kebijakan moneter di AS diprediksi secara luas akan berlanjut lagi, setidaknya sampai tahun 2020. Kenaikan bunga diperkirakan terjadi antara 3 sampai 5 kali lagi. Perkiraannya untuk tahun 2019 akan mencapai level 3,25% dan pada tahun 2020 menjadi 3,5%.
Sebagai catatan, laju pengetatan moneter ada kemungkinan akan menemui hambatannya. Presiden AS Trump terus melontarkan kritiknya atas tren kenaikan bunga ini karena dipandang akan menahan laju pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan Amerika yang saat ini sedang prima. Tingkat pertumbuhan ekonomi AS dewasa ini tercatat di laju tercepatnya, beserta tingkat pengangguran yang di level terendahnya, terhitung sejak tahun 2000.
Kenaikan bunga the Fed diperkirakan akan menjadi motor dari kenaikan –atau dapat disebut sebagai “normalisasi”- suku bunga secara global. European Central Bank (ECB) yang selama ini bertahan di “ultra low interest zone”, pada level 0%, diperkirakan pada tahun depan akan menaikkan suku bunganya ke 0,15%. Dan itu akan berlanjut di tahun 2020 ke level 0,75%, prediksinya.
Demikian juga di Jepang. Bank of Japan (BOJ) kemungkinan akan keluar dari “negative interest rate”-nya di level -0,1% di tahun ini, menuju level –masih rendah- 0% di tahun depan sampai 2020. Jepang memang masih terjebak dalam ekonomi stagnan selama dua decade terakhir, yang membuat suku bunganya tidak bisa di posisi normal.
BI Menaikkan Bunga 6 Kali
Bank Indonesia (BI) sendiri di tahun 2018 ini tercatat telah menaikkan suku bunganya, BI 7 Day Repo Rate, tidak kurang dari enam kali, dari 4,25% menjadi 6,00%. Baru setelah itu pula, maka depresiasi tajam rupiah terhadap dollar dapat diredam. Bahkan rupiah sempat beberapa kali disebut sebagai mata uang terkuat di kawasan Asia, bangkit total dari julukan sebagai yang terlemah.
Lalu akan ke mana BI 7 Day Repo Rate ini ke depannya? Melihat dari agresifnya BI di tahun 2018 ini, dimana kebijakan itu dapat dipahami menghadapi tekanan besar atas rupiah, terutama ketika pada bulan September dan Oktober rupiah terjerembab di level terendah sejak era “krismon” 20 tahun yang lalu, menembus level Rp15.200’an terhadap dollar, dapat diduga kenaikan bunga BI bakal berlanjut. Kemungkinan di tahun depan BI 7 Day Repo Rate akan menyentuh setidaknya level 6,50% atau lebih. Meskipun, tantangan datang juga sebagian dari dunia usaha yang mulai keberatan menghadapi naiknya tingkat suku bunga kredit oleh pengetatan moneter ini.
CAD dan Risiko Likuiditas
Untuk Indonesia, tantangan 2019 bukan hanya datang dari kebijakan moneter. Rendahnya harga komoditas sebagai dampak dari turunnya harga minyak bumi belakangan ini, terutama sepanjang Oktober dan November ini, akan dapat menekan kinerja ekspor kita. Dampaknya adalah berlanjutnya tekanan atas defisit transaksi berjalan. Pada kuartal ketiga lalu, CAD (Current Account Deficit) kita tercetak sebesar USD8,8 miliar atau sekitar 3,37% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sementara itu, tren kenaikan bunga di Amerika, dan kemungkinan nanti di Eropa dan Jepang, bisa mendorong terjadinya capital outflow berupa kembalinya dana-dana asing ke negaranya. Ini dengan sendirinya dapat memperlebar nilai defisit transaksi berjalan kita.
Demikianpun, tantangan dunia usaha dan juga perbankan di tahun depan bisa jadi datang bukan hanya dari arena gejolak perekonomian. Tahun 2019 adalah tahun politik. Tahun pemilihan presiden dengan segala hingar bingar politik yang mungkin saja menghambat roda laju ekonomi dan bisnis, terutama bila terjadi memanasnya tensi dinamika politik.
Di tempat lain, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkini mencatat pertumbuhan kredit perbankan hingga kuartal ketiga 2018 telah tumbuh 12,99% yoy menjadi Rp5.175,05 triliun. Figur itu berarti telah memenuhi, bahkan melebihi, target awal tahun banyak bank yang memasang pertumbuhan kredit antara 10 – 12% untuk tahun 2018.
Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada kuartal ketiga, September 2018, tercatat mengalami penurunan menjadi 6,6% (yoy), sedikit menurun dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 6,9% (yoy).
Gap yang ada antara pertumbuhan kredit vs kenaikan DPK membuat perbankan menghadapi tantangan risiko likuiditas, saat ini dan pastinya berlanjut lagi di tahun depan. Sejumlah bankir ternama menyikapi tantangan ini ke depannya, sebagaimana tercermin dalam interview terhadap sejumlah media.
Direktur Utama Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo, sempat menyampaikan kepada media untuk antisipasi risiko likuiditas harus ada opsi pendanaan non-DPK atau wholesale funding, baik dalam bentuk penerbitan surat berharga atau pinjaman bilateral. Di samping itu, perbankan dipandangnya harus memperdalam pasar dalam negeri dan meningkatkan dana murah melalui digital banking.
Sementara itu, salah satu direksi Bank BNI menyebutkan indikasi masalah likuiditas perbankan dari naiknya rasio LDR dibanding periode sama tahun lalu. Disebutkan bahwa BNI terus fokus pada ekspansi dana murah, peningkatan layanan dan fitur produk dana, serta optimalisasi digital banking. Sumber dana non konvensional juga merupakan alternatif dikebangkan BNI.
Hal yang kurang lebih sama, diterapkan di Bank BTPN, dimana untuk meningkatkan likuiditasnya bank harus memikirkan opsi non DPK.
Digital Banking dan Non DPK
Secara khusus, Presdir Bank Mandiri, yang akrab disapa Tiko, dalam satu paparannya belum lama ini di FEB UI, menyebutkan perbankan perlu mengupayakan peningkatan transaksi bisnis digital banking sebagai bentuk diversifikasi sumber pendanaan, menarik dana murah dan stabil, serta untuk menyikapi terhadap disrupsi dari fintech.
Dalam hal pendanaan non DPK, sejumlah alternatif pembiayaan perlu dikembangkan, baik yang berbasiskan utang, ekuitas, maupun yang hybrid. Utang bisa dikejar perbankan dalam bentuk instrumen, di antaranya: Medium Term Notes yang lokal maupun global, atau penerbitan Obligasi baik domestik maupun global.
Untuk pencarian dana lewat ekuitas, dapat dikembangkan lewat strategic investors, atau juga right issue. Sementara hybrid financing dapat digalang lewat Mezzanine Loan dan Convertible Bonds (CB). Instrumen RDPT lewat pasar modal atau sekuritisasi dan REITS juga dapat dipertimbangkan.
Portfolio Kombinasi Optimum
Perbankan juga kiranya dapat mengembangkan strategi portfolio kombinasi, yaitu campuran berbagai instrumen di atas, dan dicari kombinasi yang memberikan result paling optimum, baik dari sisi kuantitas, periode tenor, maupun cost of fund-nya.
Nampaknya bank yang lincah, dinamis, gesit, dan kreatif dalam pencarian dana di tahun depan itulah yang akan memenangkan kompetisi dalam mengatasi risiko likuiditas.
Penulis masih punya keyakinan, sekalipun tren kenaikan suku bunga terjadi di advanced economies tahun depan, industri perbankan Indonesia masih sangat menarik sebagai target investasi global. Di satu sisi karena selisih bunga atau yield yang masih menarik pada instrumen keuangan dari issuer bank-bank di Indonesia, di sisi lain karena rating dan outlook investasi Indonesia yang masih sangat dapat diandalkan.
Satu hal, kita harapkan pemilihan presiden tahun depan akan berjalan aman, lancar, kondusif, dan demokratis.
Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting Group
Editor: Asido