(Vibiznews – IDX Stock) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus tertekan, searah dengan bursa kawasan, hingga Selasa (25/2) dan mencatat pelemahan dalam 3 hari terakhir. IHSG juga terpantau berada di sekitar level 9 bulan terendahnya. Dengan kondisi demikian, banyak investor yang mulai melirik pilihan saham-saham dengan diskon besar yang layak dikoleksi.
Sejumlah analis pasar terpantau merekomendasikan investor untuk mulai membeli kelompok saham sektor energi. Pertimbangannya adalah saham-saham dengan fundamental yang baik dan hampir menyentuh harga terendahnya perlu diperhatikan saat ini. Diyakini, potensi kenaikan harga saham-saham sektor energi cukup terbuka untuk beberapa pekan ke depan.
Salah satu emiten potensial pada sektor ini disebutkan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS). Kenaikan harga gas industri ke depan akan menjadi katalis positif untuk kinerja keuangan PGAS. Didukung juga dengan rencana PGAS membangun 500.000 jaringan gas untuk sambungan rumah tangga yang didukung dengan APBN.
Penulis melihat secara teknikal, harga saham PGAS dari sepanjang tahun ini saja telah melemah sekitar 30%, dari Rp2.140 (2/1) ke Rp1.500 pada Selasa (25/2). Dan khususnya selama 3 minggu terakhir pergerakannya sudah terbatas di sekitar support-nya, di Rp1.445, mengindikasikan harga saham sudah di low level. Karenanya layak untuk dikoleksi.
Lebih lanjut lagi, barangkali investor layak juga untuk mengoleksi saham-saham berbasis energi terbarukan (renewable energy). Mengapa? Secara fundamental, Indonesia adalah negeri dengan potensi yang sangat luar biasa untuk pembangunan dan pengembangan energy terbarukan.
Potensi besar ini didukung juga oleh komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo pada pengembangan energi terbarukan. Sinyal positif ditunjukkan misalnya saat memperkenalkan Menteri ESDM yang baru pada Oktober 2019 lalu. Di situ Jokowi memerintahkannya untuk mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan yang dimiliki Indonesia.
Selain itu, pada saat menghadiri Indonesia Mining Award pada November tahun lalu, Presiden juga menyatakan bahwa dunia sudah bergerak menuju pada pemanfaatan energi yang ramah lingkungan ketimbang menggunakan batubara.
Presiden Joko Widodo nampaknya terpanggil untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dari 8% menjadi 23% pada tahun 2025 seperti yang ditargetkan dalam Perpres No. 22/2017. Ini merupakan tantangan, bagaimana dapat membangun pembangkit energi terbarukan dari 8 GW menjadi 30-35 GW dan pemanfaatan BBN untuk mengganti BBM.
Salah satu emiten energi terbarukan yang harga sahamnya terpantau sudah berada di tahapan low level adalah PT. Terregra Asia Energy Tbk. (TGRA). Harga sahamnya terlihat menurun dari sekitar Rp900 (21/10) menjadi Rp97 Selasa ini (25/2), atau suatu koreksi sekitar 90%. Selama 10 minggu terakhir praktis pergerakannya sudah terbatas, sekitar rentang harga Rp80 – Rp140. Ini juga mengindikasikan posisi bottom dan karenanya berpotensi untuk rebound ke depannya.
Potensi kenaikan harga saham TGRA tetap terbuka, mengingat potensi pendapatannya yang konkrit di tahun ini. Perseroan dikabarkan, di antaranya, memiliki kontrak kerja sama pemeliharaan dan penyediaan suku cadang (spare part) untuk fasilitas milik PLN di Kalimantan Selatan sebesar Rp 45 miliar. Kemudian, TGRA juga telah mendapat kontrak kerja sama dengan PLN di bidang yang sama pada September lalu, juga di Kalimantan Selatan dengan nilai kontrak sebesar Rp 14 miliar.
Selain itu, TGRA memiliki sejumlah pipeline proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTM). Di antaranya, 5 proyek PLTA di Aceh dan Sumatra Utara. Dua proyek PLTA yang berada di Aceh sedang dalam fase studi kelayakan, sedangkan 3 proyek PLTA di Sumatra Utara sedang di tahap perjanjian jual beli listrik atau purchasing power agreement (PPA).
Kondisi operasional bisnis tersebut memberikan peluang untuk Terregra terus melanjutkan pengembangan bisnisnya, dan karenanya memberikan potensi rebound harga sahamnya.
Prinsip strategi investasi saham, sebagaimana diketahui, adalah “buy low, sell high”. Bila sekarang kita menemukan sejumlah saham bottom price dengan prospek baik, mengapa tidak dikoleksi?
Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting
Editor: Asido