(Vibiznews – Economy and Banking) – Mencermati kondisi perekonomian Indonesia khususnya sebagai dampak penyebaran COVID-19, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, pada Jumat (17/4) menyampaikan 4 (empat) hal terkait perkembangan terkini dan kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia, sebagai berikut :
- Nilai tukar rupiah bergerak stabil dan cenderung menguat.
Rupiah hari ini (17/4) diperdagangkan secara aktif di pasar, bergerak sekitar Rp15.480 – Rp15.515. Bank Indonesia memandang level nilai tukar Rupiah secara fundamental “undervalued”, dan diprakirakan bergerak stabil dan cenderung menguat ke arah Rp15.000 per dolar AS pada akhir tahun 2020. Pergerakan nilai tukar rupiah yang bergerak stabil dan menguat menunjukan keyakinan pasar yang terus membaik. Terdapat 4 faktor yang mendukung stabilitas nilai tukar :
a) Pelaku pasar dalam dan luar negeri memiliki confidencekarena Bank Indonesia selalu berada di pasar dan menempuh langkah-langkah yang diperlukan dalam menjaga stabilitas nilai tukar.
b) Mekanisme pasar berlangsung dengan baik, sehingga mengurangi kebutuhan Bank Indonesia untuk melakukan stabilisasi. Hal ini berdampak pada posisi cadangan devisa yang meningkat.
c) Selama 1 minggu terakhir khususnya pada periode 14-16 April 2020, terjadi aliran masuk modal asing (inflow) masing-masing sebesar Rp0,7 triliun (14/4), Rp0,2 triliun (15/4), Rp2 triliun (16/4), inflowsebagian sebesar ke SBN. Secara historis periode 2011 – 2019 di Indonesia, outflow relatif kecil dalam periode yang pendek dan diikuti dengan inflow yang besar dalam peiode yang panjang.
Data menunjukkan rata-rata outflow SBN sebesar Rp29,2 triliun dalam waktu 4 (empat) bulan dan diikuti inflow SBN sebesar Rp229,1 triliun dalam waktu 21 bulan. Hal tersebut mendasari keyakinan bahwa meskipun saat ini terjadi outflow sebagai dampak dari COVID-19, Bank Indonesia meyakini pasca penyebaran COVID-19 akan terjadi inflow yang lebih besar dalam periode waktu yang lebih lama.
d) Confidence yang membaik didukung langkah-langkah yang ditempuh dari berbagai negara di dunia, baik dalam penanganan COVID-19 maupun stimulus fiskal dan moneter yang besar, termasuk di Indonesia. Hal itu terlihat pada stimulus fiskal (kenaikan defisit fiskal) Pemerintah, quantitative easingdari Bank Indonesia dan kebijakan relaksasi kredit dari OJK.
- Defisit transaksi berjalan triwulan-I 2020 lebih rendah dari 1,5% PDB. Hal itu didukung 3 faktor, yaitu :
a) Neraca perdagangan yang membaik. COVID-19 berdampak pada penurunan ekspor akibat melambatnya permintaan dunia, terganggunya rantai penawaran global, serta rendahnya harga komoditas global. Namun penurunan impor juga besar karena aktivas produksi dalam negeri juga menurun. Neraca perdagangan Indonesia Maret 2020 surplus 743,4 juta dolar AS. Dengan perkembangan tersebut, neraca perdagangan Indonesia pada triwulan I 2020 surplus 2,62 miliar dolar AS.
b) Defisit neraca jasa juga diprakirakan lebih rendah, didorong oleh penurunan devisa untuk biaya transportasi impor. Sekitar 8% dari nilai impor dipergunakan untuk freightand insurance. Impor yang menurun cukup tajam berdampak pada kebutuhan untuk freight and insurance juga menurun.
c) Penerimaan devisa pariwisata jauh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Perhitungan yang dilakukan sebelumnya hanya memperhitungkan penurunan devisa pariwisata dari sisi jumlah wisatawan asing yang masuk. Namun, dalam perkembangannya terdapat pembatasan bepergian ke luar negeri termasuk pelaksanaan umroh, sehingga mengurangi penggunaan devisa dari wisatawan nusantara yang tidak jadi ke luar negeri. Penurunan devisa untuk wisatawan asing yang masuk sekitar 2 miliar dolar AS. Sementara itu, penurunan devisa yang keluar dari wisatawan nusantara yang tidak jadi ke luarnegeri sekitar 1,6 miliar dolar AS.
Defisit transaksi berjalan di Triwulan II dan III 2020 diprakirakan akan rendah seiring dampak penyebaran COVID-19 terhadap kegiatan ekonomi, dan diprakirakan dalam keseluruhan tahun 2020, defisit transaksi berjalan akan rendah.
- Stance Kebijakan Bank Indonesia adalah longgar.
Pada RDG bulan April 2020 lalu, Bank Indonesia tetap mempertahankan suku bunga bunga acuan (BI-7DRRR) dengan pertimbangan BI-7DRRR telah diturunkan sebanyak 2 kali serta prioritas untuk tetap menjaga stabilitas nilai tukar. Namun, Bank Indonesia tetap melihat adanya ruang penurunan suku bunga dengan rendahnya tekanan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi. Bentuk pelonggaran kebijakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia berupa quantitative easing, relaksasi kebijakan makroprudensial, dan akselerasi digital sistem pembayaran.
Efektif mulai 1 Mei 2020, GWM Rupiah untuk Bank Umum Konvensional (BUK) turun 200 bps atau 2%, hal tersebut akan menambah likuiditas sebesar Rp102 triliun. Selain itu, Bank Indonesia juga tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) baik terhadap BUK dan Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah (BUS/UUS) untuk periode 1 (satu) tahun, hal tersebut menambah likuiditas Rp15,8 triliun. Secara total, quantitative easing Bank Indonesia hampir sebesar Rp420 triliun.
Pada saat yang sama, Bank Indonesia memperkuat manajemen likuiditas perbankan dengan menaikkan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps untuk BUK yang wajib dipenuhi melalui pembelian SUN/SBSN yang akan diterbitkan oleh Pemerintah di pasar perdana. Hal tersebut akan menambah likuiditas Bank, sekaligus mendukung kebutuhan pembiayaan fiskal dan sejalan dengan langkah quantitative easing Bank Indonesia. Apabila Bank membutuhkan likuiditas, dapat menjual SBN dengan repo ke Bank Indonesia.
- Mekanisme pembelian SBN di pasar perdana oleh BI sebagai last resort akan mengacu pada prinsipdimana Pemerintah akan memaksimalkan terlebih dahulu sumber-sumber dana yang ada seperti silpa, endowment fund, loan ADB dan World Bank. Selanjutnya Pemerintah akan menerbitkan SBN. Bank Indonesia akan membeli SBN dimaksud apabila tidak terserap oleh pasar.
Terkait inflasi, Bank Indonesia memprakirakan inflasi pada periode April-Mei 2020 yang bertepatan dengan bulan Ramadhan dan Idul Fitri akan lebih rendah dari pola historisnya. Ada 4 faktor yang mendasari hal tersebut, yaitu :
- Permintaan konsumsi akan lebih rendah terkait berbagai Pembatasan Sosial Berskala Besar di berbagai daerah. Hal itu mengurangi mobilitas sosial yang berdampak pada berkurangnya aktivitas fisik sehingga mengurangi pola konsumsi.
- Pemerintah akan memastikan pasokan barang kebutuhan pokok, termasuk melalui peran TPI/TPID.
- Kondisi ekonomi secara keseluruhan menurun sehingga berdampak pada ekspektasi inflasi yang rendah.
- Nilai tukar stabil dengan harga komoditas rendah sehingga exchange rate pass through dan imported inflation rendah.
“Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi ini dengan Pemerintah dan OJK untuk memonitor secara cermat dinamika penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu, serta langkah-langkah koordinasi kebijakan lanjutan yang perlu ditempuh untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik dan berdaya tahan,” pungkas Gubernur BI, Perry Warjiyo, melalui live streaming kepada media, Jumat ini (17/4).
Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting
Editor: Asido