(Vibiznews – Economy & Business) – Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi topik menarik dan banyak dibicarakan orang saat ini. Mengingat perubahan iklim dunia mempengaruhi seluruh negara di dunia maka setiap negara pasti berupaya untuk melakukan transisi energi. Kebutuhan energi di masa depan terus berlanjut dan sangat besar dan tentu saja tidak memadai jika hanya bergantung dari fosil energi. Lagipula fosil energi memiliki efek CO2 yang tidak baik bagi kita dalam jangka menengah panjang. Sehingga perlu dicari sumber-sumber energi lain yang dapat menggantikan penggunaan fosil energi.
Jadi Energi Baru Terbarukan (EBT) bukan merupakan suatu pilihan bagi Indonesia, namun itu adalah hal yang harus dilakukan di masa depan. Hal ini ditegaskan oleh Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara saat menyampaikan keynote speech pada acara Kompas Talk dengan tema ‘Energi Terbarukan: Sudut Pandang Supply-Demand, Keterjangkauan Tarif, Reliability, dan Akses’, yang diselenggarakan secara daring pada Kamis (21/10).
Wamenkeu mengingatkan bahwa dalam proses menuju ke arah penggunaan EBT secara penuh tersebut, Indonesia tidak berangkat dari titik nol. Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dimana memiliki komitmen untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 41% dengan bantuan dari dunia internasional dan 29% dengan usaha sendiri.
“Cara menjalankannya adalah dengan melihat sektor-sektor apa sih di perekonomian kita yang memiliki emisi. Dari hampir semua publikasi yang diupayakan, kajian yang dirumuskan, desain yang dihitung, ada sekitar 38% (sepertiga lebih dari emisi yang harus kita turunkan itu) pada sektor energi. Nah disini termasuk di sektor penyediaan listrik,” lanjut Wamenkeu.
Hal ini tidak terlepas dikarenakan pada masa lalu Indonesia memang membangun pembangkit-pembangkit listrik yang berbasiskan energi atau input berasal dari fosil, diantaranya pembangkit-pembangkit listrik batubara dan pembangkit listrik bahan bakar solar.
“Saat ini kita punya PLTU batubara, kita punya PLTD diesel. Tapi seperti saya sampaikan tadi bahwa komitmen adalah menuju energi terbarukan bukan pilihan. Ini jalan kita ke depan yang harus kita pikirkan,” terangnya.
Wamenkeu menyingung mengenai penggunaan bauran energi sebagai suatu langkah bertahap untuk menurunkan komposisi PLTU batubara dan PLTD serta menggantikannya dengan EBT. Hal ini berkenaan dengan target net zero emission pada tahun 2060 yang dirancang oleh pemerintah Indonesia sehingga perlu didesain dan dicari cara menjalankannya.
Namun, Wamenkeu juga mengingatkan mengenai berbagai macam skema kontrak antara PLN dengan para operator PLTU yang tidak boleh dikesampingkan. Dalam kontrak tersebut ada hak dan kewajiban, dan kontrak penyediaan ketenagalistrikan adalah kontrak jangka panjang yang memiliki sejumlah konsekuensi apabila kemudian dilakukan penyesuian.
“Kontrak-kontrak pembangkit itu juga berkaitan dengan iklim investasi di Indonesia karena kontrak-kontrak itu juga sangat dilihat oleh berbagai macam institusi internasional. PLN sendiri juga sangat diperhatikan oleh institusi internasional. PLN mengeluarkan obligasi, menjual obligasinya kepada internasional, dan PLN berhubungan dengan multilateral banks,” tambah Wamenkeu.
Oleh sebab itu, Wamenkeu mengatakan bahwa sekarang Indonesia sedang mengembangkan mekanisme transisi energi, sehingga dalam mekanisme transisi energi ini akan ada desain kebijakan yang pas untuk menyesuikan antara komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi karbon dengan kewajiban PLN pada kontrak-kontrak yang sudah ada, sekaligus kemudian membangun pembangkit-pembangkit listrik EBT yang baru.
Dalam kaitannya dengan pendanaan program tersebut, pemerintah mengembangkan skema blended financing (bauran pendanaan) dimana memberikan kesempatan untuk menghimpun dana publik (APBN), dana dari filantropis, serta sumber pendanaan dari lembaga multilateral internasional. Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan juga PLN saat ini berada dalam satu pemikiran untuk mendesain ini.
Terakhir, Wamenkeu juga menekankan bahwa adanya aturan pajak karbon dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan adalah satu lagi stepping stone dalam menuju penggunaan EBT.
Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting