(Vibiznews – Economy & Business) – Pajak sebagai tulang punggung independensi perekonomian negara dapat dilihat dari postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Postur APBN 2022
Dalam infografis Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2021 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022 terdapat tiga variabel utama, yakni Pendapatan Negara, Belanja Negara, dan Defisit dan Pembiayaan Anggaran. Secara sederhana, Pendapatan Negara adalah pemasukan bagi Indonesia; Belanja Negara adalah pengeluaran bagi Indonesia; dan Defisit dan Pembiayaan Anggaran adalah ‘tambalan’ yang dilakukan di Indonesia untuk mengatasi ketidakseimbangan yang terjadi antara Pendapatan Negara dengan Belanja Negara.
Pendapatan Negara memiliki nilai yang cukup besar, yakni Rp1.846,1 triliun. Dalam variabel Pendapatan Negara terdapat tiga variabel utama dengan Penerimaan Perpajakan menempati porsi paling besar, yakni sebesar Rp1.510 triliun. Penerimaan Perpajakan itu sendiri –secara sederhana– adalah penerimaan negara yang terdiri atas pendapatan pajak dalam negeri dan perdagangan internasional.
Terlihat secara gamblang, bahwa Penerimaan Perpajakan menempati 81,79% Pendapatan Negara. Sesuai dengan yang telah dituliskan dalam paragraf sebelumnya, bahwa dalam 81,79% memiliki faktor penyusun berupa pendapatan pajak dalam negeri. Pemerintah pun dalam mengambil pajak dari aktivitas ekonomi, mengedepankan asas kenyamanan (convenience of payment) agar tidak mengganggu keberlanjutan (sustainability) aktivitas ekonomi yang ada.
Artinya, hanya ketika kondisi perekonomian dalam negeri suatu negara bagus, pemerintahnya baru dapat mengoptimalkan potensi perpajakan dalam negerinya. Apabila kondisi perekonomian dalam negeri suatu negara carut marut dan ‘berdarah-darah’, maka implikasi logisnya adalah pemerintah tidak dapat memaksimalkan eksternalitas perekonomian dengan optimal.
Seorang kepala rumah tangga akan bingung untuk mengambil keputusan jika anggota keluarganya mengalami gejolak rumah tangga. Hal yang sama juga berlaku bagi pemerintah yang akan kesulitan dalam mengambil keputusan bilamana dihadapkan pada gejolak perekonomian. Oleh karenanya, pemerintah dalam merancang APBN membuat asumsi dasar ekonomi makro untuk menjadi standar acuan yang paling mungkin dihadapi oleh Indonesia selama berlangsungnya APBN nantinya.
Bayangkan juga apabila pemerintah dalam menyusun Pendapatan Negara mengedepankan porsi hasil perdagangan internasional, maka struktur Pendapatan Negara tidak akan jauh-jauh dari dinamisnya perekonomian internasional. Tapering Federal Reserve (The Fed), Debt limit/ceiling, konflik Timur Tengah, Brexit, hingga perang ideologi Blok Barat dan Blok Timur adalah beberapa contoh faktor-faktor yang akan menyebabkan naik turunnya ekonomi Indonesia apabila menjadikan perdagangan internasional sebagai tiang utama Pendapatan Negara.
UU HPP
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menjadi salah satu omnibus law yang diharapkan dapat menjaga risiko APBN agar tetap rendah dan rasio utang senantiasa terjaga.
Guna mencapai penerimaan perpajakan yang sehat dan berkelanjutan, terdapat empat pilar, antara lain: adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Pilar yang berkaitan erat dengan keterlibatan pendapatan pajak dalam negeri adalah pilar sehat. Dalam pilar tersebut, pemerintah mengusahakan agar sumber penerimaan perpajakan optimal, adaptif terhadap perubahan, dan sesuai dengan best practice.
Tujuan dari adanya pilar sehat adalah agar independesi pemerintah Indonesia senantiasa terjaga. Bukankah lebih baik menjadi seseorang yang dapat berdiri di atas kaki sendiri daripada berdiri dengan bergantung kepada pihak lain?
Dan sebagai catatan penting adalah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melaporkan bahwa penerimaan pajak hingga Maret 2022 atau kuartal I tahun ini mencapai Rp 322,46 triliun. Dimana nilai tersebut setara dengan 25,49 persen dari target APBN sebesar Rp 1.256 triliun, dan tumbuh sangat tinggi sekitar 41,36 persen secara year on year (yoy) jika dibandingkan pada tahun lalu.
Jika dirinci, penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas mencapai Rp 172,09 triliun (27,16 persen dari target), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tercapai Rp 130,15 triliun (23,48 persen dari target), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya tercapai Rp 2,29 triliun (7,69 persen dari target), dan PPh migas tercapai Rp 17,94 triliun (37,91 persen dari target).
“Jika dilihat jenis pajaknya, yang nonmigas juga pertumbuhannya sangat tinggi. Jadi, pajak yang tinggi ini tidak hanya berhubungan dengan windfall atau adanya kenaikan komoditas, namun juga ada berasal dari pemulihan ekonomi yang menjadi basisnya,” ungkap Menkeu dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (20/04) yang lalu.
Ia menambahkan, pertumbuhan yang tinggi tersebut dikarenakan tahun lalu sampai Maret, basis atau penerimaan pajak masih rendah. Apalagi tahun lalu pemerintah masih memberikan fasilitas perpajakan kepada dunia usaha yang menghadapi tekanan pandemi COVID-19 yang berimbas pada penerimaan pajak tumbuh negatif sebesar -1,7 persen.
Selain itu, ada pergeseran sebagian penerimaan dari Februari 2022 ke Maret 2022 akibat 3 hari terakhir Februari 2022 jatuh pada hari libur. Menurutnya, tanpa pergeseran ini, penerimaan Februari diperkirakan tumbuh 22,3 persen dan Maret tumbuh sekitar 45,4 persen.
“Jadi, sekarang tumbuh 41,56 persen ini adalah karena yang pertama low base effect, yang kedua pemulihan ekonomi memang berjalan. Dan ketiga karena kita lihat komparasinya ada pergeseran penerimaan dari pajak kita seperti impor,” tambahnya. Tidak hanya itu saja, peningkatan penerimaan pajak juga disokong oleh peningkatan impor dan Program Pengungkapan Sukarela atau PPS.
Lebih lanjut, Sri Mulyani memprediksi bahwa normalisasi akan terjadi pada bulan-bulan berikutnya.
“Karena basis penerimaan tahun 2021 terus meningkat hingga akhir tahun mendekati level pra pandemi atau pertumbuhan tahun 2021 sejak April selalu positif, dimana tingkat pertumbuhan selama bulan Mei-Agustus lebih dari 20 persen dan growth September-Desember lebih dari 30 persen,” imbuhnya.
Ia pun menjelaskan bahwa basis penerimaan kuartal I 2021 yang rendah akibat pemberian insentif menjadi penyebab utama tingginya pertumbuhan PPh 22 Impor dan PPh Badan dalam tiga bulan terakhir.
Pada saat yang sama, kinerja korporasi yang membaik salah satunya diakibatkan oleh meningkatnya harga komoditas, juga mendorong kinerja PPh Badan.
“Hal ini membuat perusahaan mampu membayar bonus kepada karyawan yang menopang penerimaan dari PPh 21 tumbuh double digit ,” jelas dia.
Sedangkan pada PPh Orang Pribadi (OP) meningkat sejalan dengan jatuh tempo SPT Tahunan (pertumbuhan tinggi di 2021 karena basis yang rendah di tahun 2020 akibat perpanjangan jatuh tempo ke bulan April).
“Aktivitas ekonomi yang terus tumbuh tecermin dari baiknya kinerja pajak-pajak transaksional terlihat dari PPN Dalam Negeri (DN) dan PPh 26. Kemudian kuatnya perdagangan internasional diindikasikan dari kinerja PPh 22 impor dan PPN Impor,” pungkasnya.
Selasti Panjaitan/Vibiznews